Sepasang manik hitam dikelilingi warna biru terlihat saat kelopak mulai terangkat. Senyum terurai di parasnya melihat wajah cantik yang masih terlelap. West tak pernah menyangka akan melewati malam yang menggairahkan dengan Leona.
Jari-jari West perlahan bergerak menyingkirkan rambut yang menutupi sebagian kening Leona. Dia membelai lembut pinggir pipi yang mulai mengecil, tidak lagi se-chubby dulu. Ah, wanita itu mulai memperlihatkan seperempat dari kecantikan yang ia miliki.
Kilat bayangan pertemuan West dengan perempuan yang berhasil mencuri hatinya tiga belas tahun silam, kembali melintas di pikiran. Perasaannya kembali meluap ketika mengingat pertemuan pertama dengan gadis itu.
Perasaan itu muncul lagi, bisik West dalam hati.
Kepala pria itu bergerak maju mendekati wajah Leona. Sebuah kecupan diberikan di kening beberapa detik. Ketika ingin melabuhkan ciuman di bibirnya, Leona mulai bergerak pelan. Tubuhnya menggeliat di bawah selimut yang menutupi.
Leona mengubah posisi menjadi telentang sebelum membuka mata. Tangannya bergerak pelan merabah tubuh sendiri. Sontak kedua matanya terbuka lebar saat menyadari ia tidur tanpa sehelai benang pun.
Tak lama kemudian ingatannya kembali dengan rentetan kejadian tadi malam. Mulai dari cerita tentang betapa bejatnya Mark, perhatian West yang menenangkan, sampai ia meminta pria itu menciumnya.
Astaga! Apa kami tadi malam bercinta? batinnya terkejut.
Mata Leona kembali tertutup rapat. Rasa malu mulai hinggap di hatinya sekarang. Bagaimana ia bisa menatap West lagi setelah apa yang terjadi tadi malam? Bahkan hubungan yang terjalin di antara mereka, tidak lebih dari teman.
Apa yang harus aku katakan kepadanya? Aku tidak ingin dia menganggapku perempuan murahan. Lagi pula, kenapa West tidak menolakku tadi malam? Apakah karena kami sama-sama kesepian, sehingga hal itu terjadi? racaunya dalam hati.
“Good morning, Leona,” sapa suara bariton milik West.
Mampus. Apa yang harus kukatakan? Setidaknya harus ada penjelasan tentang kejadian tadi malam. Itu sebuah kesalahan, karena aku terbawa suasana, gumamnya panik hanya di dalam hati.
Leona mendesah sebelum membuka mata. Dia bergeser sedikit ke kanan, agar tubuhnya berjarak dengan West. Pandangannya perlahan berpindah ragu melihat wajah pria itu.
“Mo-morning, West,” sahutnya gagap.
“Bagaimana tidurmu?” Mata biru West kembali mengitari wajahnya.
Wanita itu terus menaikkan penglihatan ke wajah West. Dia melihat bibir tipis yang tadi malam melakukan aktivitas panas dengan bibirnya.
Aku pasti sudah gila saat memintanya menciumku. Kalimat itu hanya mampu diucapkan Leona di dalam hati.
“Nye-nyenyak. Ah tidak. Pegal,” gagapnya lagi.
Astaga. Apa yang baru saja kau ucapkan Leona? protes batinnya.
West tergelak melihat ekspresi salah tingkah wanita itu sekarang.
Leona langsung mendongak sehingga bisa mengetahui bagaimana raut wajah West sekarang.
Kenapa dia terlihat santai? Apa dia tidak terganggu dengan kejadian tadi malam? Bukankah West mencintai wanita itu?
Pertanyaan-pertanyaan itu hanya bisa diucapkan di dalam hati saja oleh Leona.
“West.” Leona mulai bicara. Dia menarik napas panjang ketika merapatkan selimut yang menutupi tubuh putihnya.
“Apa yang terjadi tadi malam, tidak seperti yang kau pikirkan,” sambungnya lagi menurunkan pandangan.
“Aku tahu kau terbawa suasana tadi malam, Leona,” tanggap West sebelum Leona benar-benar menyelesaikan kalimatnya. Pria itu seolah tahu apa yang ingin diucapkannya.
“I am sorry,” ucap Leona merasa bersalah, “aku tidak bermaksud untuk main-main. Hanya saja ….”
“It’s okay, Leona. Anggap saja tidak pernah terjadi apa-apa tadi malam. Kau tidak perlu merasa bersalah seperti itu.” West tersenyum penuh pengertian.
Bibir Leona bergetar ketika tahu West sangat memahami dirinya. Andai saja Mark seperti ini, tentu ia akan sangat bahagia.
“Terima kasih telah memahamiku, West.” Leona memandang sendu pria itu. “Kau tahu bagaimana aku, seakan sudah lama mengenalku.”
“Ssttt … jangan menangis lagi, Leona. Aku sudah katakan, jangan sampai kau menumpahkan air mata karena laki-laki itu lagi.”
Leona menggeleng cepat. “Aku tidak menangis karena pria brengsek itu, tapi karena pria baik sepertimu.”
“Andai saja aku mengenalmu lebih dulu, mungkin ….” Leona kembali terisak saat kalimatnya belum selesai.
“Apakah sekarang terlambat untukku masuk ke hatimu?” tanya West to the point.
Kening Leona berkerut bingung mendengar pertanyaan West barusan.
“Kita bisa memulainya sekarang, Leona.”
Kedua alis Leona semakin beradu. “Bukankah kau mencintai wanita itu?”
“Wanita itu?” Tawa pelan keluar dari sela bibir West. “Cassie sudah menceritakannya kepadamu?”
Kepala Leona bergerak ke atas dan bawah. “Dia menceritakan kalau kau masih mencintainya sampai sekarang.”
West menelan ludah seketika. Sampai detik ini ia masih mencintai wanita yang telah mengisi relung hatinya selama tiga belas tahun.
“Cassie benar. Aku masih mencintainya.” Pria itu membenarkannya.
“Aku tidak ingin menjadi pelarian bagimu. Begitu juga sebaliknya,” tanggap Leona kemudian. Wanita itu mengubah posisi menjadi duduk dengan satu tangan memegang selimut, sementara satunya lagi meraih pakaian yang dilucuti West tadi malam.
“Aku tidak ingin terluka lagi dan tidak ingin juga melukaimu.” Leona kembali menoleh kepada pria itu setelah mengenakan semua pakaiannya. Dia tersenyum samar kepada West.
“Kejadian tadi malam tidak mengganggu pertemanan kita, ‘kan?” katanya lagi seraya memiringkan kepala.
West menggeleng tanpa ragu. “Tentu tidak, Leona. Seperti yang kukatakan tadi, kita berdua hanya terbawa suasana.”
“Kau benar. Aku menangis dan kau ada untukku. Kesedihanku membawa kita melangkah terlalu jauh.” Leona mengikat rambut sepenuhnya ke atas. “Kau ingin aku buatkan sarapan apa?”
“Terserah.” West meraih pakaian yang dikenakan tadi malam. “Sebaiknya kau memasak yang banyak pagi ini.”
“Kenapa?” Leona menatap bingung.
“Aku ingin membawamu ke suatu tempat.”
Mata abu-abu Leona melebar seiringan dengan senyum mengembang di wajah. “Ke mana?”
“Kau akan mengetahuinya nanti,” sahut West mengedipkan sebelah mata.
Leona merasa lega, karena West tidak mempermasalahkan kejadian tadi malam. Apa yang mereka lakukan, nyatanya tidak mampu merusak hubungan yang terjalin selama satu bulan lebih. Jika saja ia berjumpa dengan pria itu jauh sebelum mengenal Mark, mungkin dirinya sudah jatuh cinta dengan West.
“Baiklah, Tuan Misterius. Aku harus bersabar menati sampai kita tiba di tempat yang kau katakan,” lontar Leona tertawa lebar.
West berdecak, lantas berdiri. Dia melangkah menyusul Leona dari belakang.
“Boleh aku mengatakan satu hal?” ujar West ketika mereka tiba di dapur.
Leona membalikkan tubuh sepenuhnya menghadap kepada West. “Apa?”
“Ternyata kau sangat panas di ranjang. Aku sampai kewalahan,” goda pria itu membuat pipi Leona memerah.
Sebuah cubitan hinggap di pinggang, membuat West mengaduh.
“Apa kau perlu membahasnya?” cicit Leona mengambil adonan roti untuk sarapan.
“Kenapa tidak?” West duduk di pinggir meja dapur. “Berarti bukan itu alasan suamimu berselingkuh.”
Leona meletakkan tepung di atas meja, lantas berkacak pinggang. “Pria itu brengsek, West. Meski sudah puas di ranjang tetap saja ingin mencari kesenangan lain.”
Tangan Leona perlahan turun saat ingat kalau Mark sudah memiliki seorang anak. “Mungkin dia ingin mencari keturunan,” lirihnya tercekat.
Tubuh Leona kembali bergetar ketika ingat betapa teganya pria itu mengkhianati dirinya. Dia maju selangkah ke arah West, kemudian menumpahkan lagi tangis di dada bidangnya.
Pria itu membelai lembut belakang kepala hingga punggungnya. Dia tidak suka melihat Leona menangisi laki-laki pengkhianat seperti Mark.
“Jangan menangis lagi atau akan kubuat kau menjadi milikku selamanya,” bisik West kemudian.
Bersambung....