Leona mendongakkan kepala sehingga tatapannya bertemu dengan mata biru milik West. Dia tersenyum kecut.
“Jangan bercanda, West. Tidak lucu,” katanya melonggarkan pelukan.
West meraih kedua tangan Leona, kemudian mengusap punggungnya dengan ibu jari. Kepalanya menggeleng pelan ketika dia menatap lurus wanita itu.
“Apa aku terlihat sedang bercanda?”
Wanita itu menelan ludah mendengar perkataan West. Matanya berkedip cepat, lalu bergerak ke tempat lain.
“Aku ini wanita yang masih berstatus sebagai istri orang lain,” desisnya memutar balik tubuh menghadap meja dapur.
“Aku bisa menunggu sampai kau resmi bercerai.”
Leona mendesah pelan. “Aku tidak ingin dijadikan pelarian dan tidak ingin menjadikanmu sebagai pelarian,” tanggapnya mengulangi lagi perkataan sebelumnya.
West maju selangkah, sehingga berada tepat di belakang Leona. Dia menumpu kedua tangan di pinggir meja, kemudian mendekatkan bibir di telinganya.
“Tidak sekarang. Mungkin nanti setelah kau benar-benar bisa membuka hatimu lagi,” bisik pria tersebut.
Darah Leona berdesir lagi ketika merasakan hangat tubuh West di punggung, ditambah lagi dengan embusan napas yang menggelitik telinga. Dia memejamkan mata membuat rekaman yang telah mereka lewati tadi malam kembali berputar.
“Bisakah kau menyingkir dari belakangku? Aku ingin memasak, West,” ujarnya berusaha mengendalikan diri. Dia benar-benar tidak ingin mengulangi lagi kesalahan tadi malam.
“Oke.” Pria itu menyingkir dari balik punggung Leona, kemudian berpindah ke sebelah kiri.
West memperhatikan Leona yang mulai asyik dengan adonan untuk membuat sarapan.
“Tidak bisakah kau duduk di sana?” Leona mengerling sekilas kepada pria itu.
Kepala West menggeleng cepat.
“Kau membuatku tidak konsentrasi, West,” protesnya berkacak pinggang.
West masih bergeming, tidak beranjak sedikitpun dari posisinya.
“West?! Apa kau mau aku lumuri wajahmu dengan ini?” ancam Leona dengan mata melebar.
“Coba saja.” Pria bertubuh tinggi itu mendekatkan wajah, sehingga membuat tubuhnya sedikit menunduk.
Leona berdecak, lantas mencolek ujung hidung mancung West dengan jari telunjuk. Setelahnya ia mengembangkan seluruh jari dan mengusapnya ke wajah pria itu. Dia tertawa lepas melihat wajah West yang berlumuran tepung basah.
Mata biru West mendelik seiringan dengan gigi merapat. “Leona!” serunya membuat wanita itu berlari menjauh darinya.
Leona semakin tertawa lebar ketika West berusaha menangkap dirinya. Kesedihan yang terasa tadi malam seakan menguap dengan kebahagiaan yang kini menyelimuti. Pria itu berhasil menghadirkan pelangi di dalam kehidupannya yang mendung.
Hap!
Beberapa saat kemudian West berhasil menangkapnya. Dia menautkan kedua tangan tepat di depan perut Leona yang mulai mengecil. Perlahan pria itu menarik tubuhnya merapat.
“Puas kau? Sekarang bersihkan,” titahnya.
Leona menggeleng di tengah napas yang terasa sesak akibat berlari hampir mengelilingi rumah. “Bersihkan sendiri.”
Wanita itu melepaskan tautan tangan West, lalu memutar balik tubuh menghadapnya. “Mau aku tambah lagi?” godanya mengembangkan kedua belah tangan.
“Silakan, jika itu bisa membuatmu tertawa seperti tadi,” tanggap West pasrah seraya memejamkan mata.
Leona terdiam ketika menyadari untuk pertama kalinya bisa sebahagia ini setelah perselingkuhan Mark terungkap. Senyum samar tergambar di parasnya.
“Baru sekarang aku bisa melihat kau tertawa seperti ini, Leona.” West menarik tangan kanan Leona mendekat ke arahnya. Mata biru itu kembali mengitari wajah cantik tersebut.
“Teruslah seperti itu,” sambungnya lagi, “aku suka melihatmu tertawa seperti tadi. Semakin membuatku menginginkanmu.”
Mata abu-abu Leona semakin melebar mendengar perkataan West barusan. Di sela dada yang bergemuruh, terselip kebingungan akan pria ini. Bagaimana seorang pria yang belum move on dari perempuan yang dicintai bisa berbicara seperti tadi? Apakah ia benar-benar mampu menyita perhatian West dari perempuan itu?
***
Rasa penasaran masih menyelimuti diri Leona sejak meninggalkan rumah tiga jam yang lalu. Berkali-kali ditanyakan, West masih belum mau mengatakan ke mana tujuan mereka sekarang.
“Kita ke mana, West? Ini jauh sekali.” Leona kembali mengajukan pertanyaan yang sama untuk kesekian kalinya.
“Kau akan mengetahuinya nanti, Leona. Dua jam lagi kita sampai di tempat tujuan.”
“Paling tidak kau memberi sedikit clue, agar aku tidak penasaran.” Leona menoleh kepada West yang fokus melihat jalan.
Pria itu menggeleng tegas.
“West?” panggil Leona membuat West menoleh.
Dia mengedipkan mata pelan. “Katakan atau aku loncat dari sini,” ancamnya bersiap meraih tukas pintu mobil.
“Jangan bercanda, Leona!” cegah West meraih tangan wanita itu, sehingga membuat laju mobil tidak stabil.
“Katakan dulu padaku ke mana kita akan pergi sekarang,” desak Leona tak sabar.
West menarik napas singkat. Dia kalah dengan wanita keras kepala ini. “Singkirkan dulu tanganmu dari sana. Jangan buat aku gila dengan ancamanmu, Leona.”
“Kenapa?” selidik Leona. Dia mulai curiga dengan perubahan West sejak tadi malam. Ada keanehan dari perlakuan pria itu.
“Karena ….” West kembali melihat ke depan.
“Karena?”
“Aku tidak mau kehilanganmu lagi,” desis West.
“Apa maksudmu dengan lagi?”
West hening. Tangannya semakin erat memegang setir mobil. Tangan kirinya perlahan terangkat menggaruk pinggir kening yang sama sekali tidak gatal.
“Lupakan saja,” sahutnya tiga menit kemudian.
Mencurigakan. Kenapa dia sok misterius? gerutu Leona dalam hati.
“Bagaimana dia?”
“Sorry?”
“Wanita yang kau cintai selama tiga belas tahun.” Leona memangku tangan di depan dada seraya melihat West dengan ekor mata. “Ceritakan padaku pertemuanmu dengannya.”
West menoleh ke arah Leona sebentar. “Tidak ada yang bisa kuceritakan padamu. Itu sudah lama sekali.”
“Kenapa kau terlalu misterius?” Leona mendesah pelan. “Kau tahu semua tentangku, tapi tidak sebaliknya. Aku benar-benar tidak tahu apa-apa tentangmu. Bagaimana bisa memutuskan untuk jatuh cinta padamu?”
“Apa perlu tahu banyak tentangku, baru kau bisa jatuh cinta kepadaku?”
“Ya!” tegas wanita itu, “ini seperti tidak masuk di akal, West. Coba kau bayangkan.”
Leona memutar sedikit tubuh agar bisa melihat pria itu dengan benar. “Baru kemarin sore aku mendengar kisah cintamu yang … maaf … cukup tragis, meski tidak setragis kisah cintaku.”
“Bayangkan kau mencintai seorang wanita selama tiga belas tahun.” Leona menyelipkan rambut di balik telinga sebelum melanjutkan perkataannya. “Tiga belas tahun waktu yang cukup lama!”
“Lalu pada malam harinya hal itu terjadi. Kau tahu maksudku, ‘kan?” sambung Leona.
West mengangguk singkat.
“Pagi hari kau mengejutkanku dengan mengatakan akan menjadikanku milikmu selamanya dan menungguku sampai proses perceraian selesai. Bagaimana kau bisa berkata seolah telah melupakan cintamu kepada wanita itu, hanya karena kita telah melewati malam yang … menggairahkan?” papar Leona memelankan suara saat mengucapkan kata terakhir.
“Singkatnya.” Leona kembali berujar membuat pria itu menoleh lagi.
“Bagaimana bisa kau melupakan wanita yang kau cintai selama tiga belas tahun, setelah bercinta dengan wanita yang baru kau kenal satu bulan? Ini tidak masuk di akal bagiku.” Leona memberi tatapan menuntut kepada West.
Tilikan mata abu-abu miliknya beralih ke leher West yang melakukan gerakan menelan sesuatu. Sudah pasti itu saliva.
“Jangan buat aku bingung seperti ini, West.” Wanita itu tampak serius sekarang. “Jika kau berniat serius denganku, ceritakan semuanya kepadaku. Siapa kau sebenarnya? Dari mana kau berasal? Dan … bagaimana kau bertemu dengan wanita itu? Aku ingin tahu lebih banyak tentangmu.”
Bersambung....