[ KISAH INI TERDAPAT UNSUR KEKERASAN DAN PEMBUNUHAN. DILARANG KERAS UNTUK DITIRU ]
"Lepasin!" pintaku, namun ia tak mau melepaskan pegangannya.
"Lepasin, Ray!" Aku mengatakan kata yang sama sekali lagi. Ray masih memegang kakiku sambil menunduk.
"LEPASIN, RAY!" bentakku membuat dia terkejut. Ray menengadahkan wajahnya menatapku. Ku lihat matanya berkaca-kaca menahan air mata yang ingin turun. la pun melepas pegangannya itu dengan lemas.
"Bangun!" suruhku. Dia malah menatapku dengan tatapan seperti itu lagi. Aku mendengkus kesal.
"BANGUN!!!" bentakku untuk kedua kalinya. Ia bangun dan menatapku, aku juga menatapnya datar. Sangat datar. Tak lama, air mata Ray turun perlahan, ia segera menyekanya dan menunduk. Air mata itu terus menerus keluar hingga ia sedikit sesenggukan. Apakah ia merasa menyesal?
"Mau ngapain lu ke sini?" tanyaku. Dia menatapku terkejut. Mungkin dia tak menyangka aku akan membalas ungkapan permintan maafnya dengan pertanyaan seperti itu.
"Gu-gua bil–"
"To the point!" potongku. Aku melipat kedua tanganku di dada.
"Gua tau gua salah. Gua mohon,Yo! Maafin gua! Gua gak tau lu ada di sana, gua gak tau kalau orang itu lu. Gua kira orang itu bukan lu. Ka–"
"Dan lu bakalan ngelakuin hal itu walaupun orang itu bukan gua, iya? Atau gua salah?" tanyaku. Dia tampak gelagapan. "Bahkan lu bakalan ngelakuin hal itu sampai orang tersebut mati dan hanya disisakan tulang aja. Gitu? Atau ... mungkin sebentar lagi lu bakalan makan gua, makan ayah dan bunda, makan semua orang yang ada di dunia ini? Iya?"
Dengan cepat anak ini menggelengkan kepalanya. "Gak, Yo. Sedikitpun gua gak pernah berpikir buat memakan kalian. Gua sayang sama kalian. Gua ngelakuin ini karena gua ngerasa kalau manusia di bumi ini begitu jahat sama gua. Mereka membully gua di manapun gua berada dan gua bakalan makan mereka kalau mereka mengganggu hidup gua," jawabnya panjang lebar. Hh! Mana bisa aku mempercayainya begitu saja setelah apa yang ia lakukan kepadaku tanpa berpikir panjang terjebih dahulu.
"Apa gua bisa percaya sama lu setelah apa yang gua lihat malam itu? Apa gua bisa percaya setelah apa yang lu lakuin sama gua? APA GUA BISA PERCAYA OMONGAN LU, KANIBAL?" bentakku sekeras mungkin, dia sedikit tersentak. Aku pun membalikkan tubuhku membelakanginya. Aku tidak mau merasa kasihan karena tatapan matanya itu, Aku ingin ia menyadari apa yang selama ini ia lakukan di luar sana, aku ingin ia menyadari bahwa semua itu salah. Dia manusia, normal pula, kenapa dia malah menikmati daging manusia dan menikmati setiap tetesan darah itu? Bukankah sebagai manusia kami hanya memakan apa yang diberikan alam untuk kami? Namun Ray berbeda. Aku sama sekali tak menyangka kalau ada manusia yang memakan daging manusia. Apakah dia tidak puas apa yang diberikan alam untuknya?
"Kenapa lu ngelakuin hal itu?"
"Gua udah jelasin sama lu, Yo. Gua dibul–"
"GUA GAK PERLU JAWABAN ITU! GUA PERLUNYA JAWABAN KENAPA LU MAKAN DAGING MANUSIA?" bentakku.
"Lu mau tau jawabannya? Yakin?" tanyanya. Hah? Kenapa dia malah bertanya balik? Apa dia ingin memberi tahu sesuatu yang tidak bisa ia beritahukan padaku? Aku pun membalikkan tubuhku menatapnya. Dia tampak menundukkan kepala.
"Karena itu mau lu, gua bakalan jawab pertanyaan lu itu. Asal lu tau, gua emang manusia normal, tapi gua juga butuh sesuatu yang ngebuat hati gua senang dan gua melampiaskan rasa senang gua ini dengan makan daging manusia. Mungkin lu gak akan ngerti kenapa gua bilang itu senang. Gua juga gak bisa ngejelasin gimana gua bisa makan daging itu, tapi, jujur , gua ngerasa ada sensasi berbeda saat makan itu. Entah kenapa rasanya gua ketagihan. Ketagihan dan ketagihan. Itu yang gua rasain, Yo. Gua gak bisa berhenti. Sama halnya saat gua nusukin sebuah pisau ke tubuh seseorang dan itu menyenangkan," jawabnya. Sama halnya dengan menusukkan sebilah pisau ke tubuh seseorang? Sensasinya sama seperti itu? Apa benar?
"Gimana rasanya?" tanyaku.
"Hah? Maksud lu?"
"Gimana rasanya daging manusia itu?" tanyaku sekali lagi.
"Hm, kayak daging sapi. Ya, itu, daging sapi," jawabnya. Hm, ya, aku cukup penasaran bagaimana rasa asli daging manusia itu dan Ray bilang seperti daging sapi biasa. Hanya saja, mungkin tekstur dan rasanya berbeda. Aku membayangkan bagaimana rasa kenyal daging mentah itu masuk ke tubuhku. Aku pun bergidik ngeri. Aku tak akan sanggup memakan daging itu kecuali daging hewan, yang pasti yang sudah dimasak terlebih dahulu.
"Gua mohon Yo sama lu, jangan kasih tau hal ini sama ayah dan bunda! Gua takut mereka malah memenjarakan gua. Gua takut, Yo," pinta Ray. Hh, bagaimana bisa aku melakukan itu?
"Maafin gua juga udah makan sedikit tubuh lu. Gua janji! Gua gak akan ngelakuin hal itu lagi sama lu, tapi, lu bisa kan ngertiin perasaan gua kalau gua masih pengen makan daging manusia? Gua gak bisa berhenti gitu aja, gue juga gak tau alasannya," katanya. Aku menghela nafas. Jika aku, bilang berhenti, apakah dia akan menghentikan aksinya itu? Apakah dia akan menuruti perintahku? Sepertinya tidak. Aku yakin, Ray tidak akan mudah untuk berhenti. Sama halnya denganku di mana saat diriku ingin berhenti melakukan hal itu, aku tak bisa dan malah semakin ingin melakukannya. Ya, aku mencoba untuk berhenti membunuh, sayangnya aku tak bisa. Mungkin aku bisa mengerti bagaimana perasaan adikku saat dia semakin lama semakin ketagihan bersamaan dengan keinginan untuk berhenti. Sayangnya, keinginan untuk terus melakukan hal naïf itu lebih besar daripada keinginan lainnya. Aku pun mengangguk.
"Itu sih terserah lu. Asal lu jangan sampai ketauan polisi sama keluarga lu," pesanku. Dia pun menghampiriku dan memelukku. Aku hanya membalas pelukannya.
"Lu maafin gua kan?" tanyanya. Aku kembali menghela nafas. Apapun yang Ray lakukan adalah kesalahan dan itu tidak mudah untuk dimaafkan. Namun, jika terus menerus marah seperti ini, semuanya tidak akan baik. Lagi pula aku juga agak merasa bersalah karena tak memberi tahu dia sebenarnya siapa aku ini. Mungkin rasa ingin memaafkan bisa menggantikan rasa bersalahku ini kepadanya.
"Ya sedikit," jawabku. Dia melepaskan pelukannya dan menatapku.
"Ayolah, Yo! Gua serius."
Aku pun mengangguk untuk membalas ucapannya. "Gua juga serius Ray, gua udah maafin lu tapi gak sepenuhnya."
"Walaupun gak sepenuhnya, seenggaknya lu udah mau maafin gua Yo," katanya. Aku pun mengangguk. Aku berjalan pelan menuju ranjang dan duduk di sana.
"Kasih tau gua alasan lu ngebunuh!" pintaku. Ray duduk di kursi belajarku yang tak jauh dari ranjang.
Bersambung …