Pernikahan Seperti Mimpi Buruk

"Selamat ya kalian sudah sah menjadi pasangan suami istri."

Kalimat itu menjadi awal dari semua kisah hidup Kanaya saat ini dan mungkin selamanya.

Usianya masih 19 tahun dan dia harus menikah dengan orang yang sama sekali tidak ia kenal sebelumnya—bahkan impian indahnya tentang menikah seolah sirna begitu saja. Ya, semenjak kenyataan menamparnya dengan keras.

But, tidak apa. Semua akan baik-baik saja kan setelah ini?

Angin bulan Oktober meniup rambut indah milik gadis yang baru saja menyelesaikan semua pekerjaan rumahnya hari ini.

Dua hari lalu, ia baru saja melangsungkan pernikahan dengan seorang pria. Kanaya tidak mengenal orang itu siapa. Dia juga tidak tahu kenapa bisa dia harus menjadi suaminya, pendampingnya, tempat keluh kesahnya dan menjadi tempat kepalanya bersandar di bahu pria itu—nanti.

Baru saja mereka menikah dua hari, kelakuan laki-laki itu layaknya seorang majikan yang kejam memperlakukan babunya seenaknya saja.

Mereka memang tinggal di rumah yang sama. Satu atap dan mereka bertemu di rumah ini setiap hari. Tapi mereka—ah bukan mereka tapi Barra Kenzo Smith memilih untuk memisahkan tempat tidur mereka.

Barra di kamar utama sedangkan Kanaya tidur di kamar tamu dekat dengan kamar utama rumah berlantai tiga ini.

Dengan segala fasilitas yang ada, harusnya Kanaya senang dan merasa dirinya sudah beruntung menjadi seorang istri dari seorang Billionaire muda.

Tapi tidak pada kenyataannya. Semua hal manis yang dilakukan oleh Barra padanya hanya sebuah kepalsuan.

Pernikahan ini bagi Kanaya mimpi buruknya.

Katakan saja kalau saat ini Kanaya sedang bermimpi dan jika ia bangun, dia terbangun dengan kenyataan yang tak sama sekali sama dengan mimpi buruknya.

"Apa yang kau lakukan di sini?" tanya Barra pada Kanaya yang duduk terdiam di sini beberapa jam terakhir.

Kanaya terperanjat kaget. "Kamu sudah pulang? Sini jasnya. Akan aku siapkan air panas untukmu sebentar lagi."

Jas yang dikenakan oleh Barra dilempar begitu saja tepat di depan wajah Kanaya tanpa berprikemanusiaan sama sekali.

Tega.

Kanaya menghela napasnya panjang ketika Barra sudah berlalu dari hadapannya.

Dengan cepat ia pergi ke belakang untuk menaruh jas Barra ke keranjang sebelum pada akhirnya ia cuci besok.

Kanaya terdiam. Bau parfum khas pria itu masih menempel di jas ini. Perlahan, Kanaya mencium jas Barra sembari terisak.

Mau sampai kapan Barra bersikap seperti ini?

Dua hari menikah, rasanya Kanaya sudah tidak kuat. Bagaimana dengan hari-hari selanjutnya? Akankah dia bisa tegar?

"KANAYA! JANGAN LAMA! AKU GERAH, PANAS!"

Teriakan dari Barra membuat Kanaya menghapus air matanya cepat dan meletakkan jas itu ke dalam keranjang cucian lalu ia bergegas menyiapkan air panas untuk Barra.

Setelah Barra mandi, pria itu langsung ke ruang makan untuk makan malam. Kanaya dan beberapa asisten rumah tangga di sini sudah menyiapkan semuanya di atas meja.

Ketika baru saja ia akan menemani Barra makan malam, gadis itu dihentikan oleh suara hp milik Barra yang menampilkan nama 'Selina'.

Kanaya tidak tahu dia siapa. Yang pasti, dua hari terakhir dia tinggal di sini, Kanaya sering melihat nama itu setiap saat menghubungi pria itu.

"Halo?"

'...'

"Oke. Kita makan di sana saja ya hari ini."

Setelah menutup telfon itu, Barra beranjak dari duduknya dan meninggalkan ruang makan.

"Mau ke mana? Kamu belum makan loh!"

"Aku sibuk ada kerjaan. Kamu makan saja sendirian."

Setelah mengatakan itu, Barra berlalu meninggalkan gadis dengan beberapa luka yang tergores di hatinya yang tanpa sengaja di buka lebar oleh pria itu tanpa sadar.

•••

Tertidur di sofa. Kanaya terbangun ketika waktu menunjukkan pukul 3 pagi dan dia masih berada di sofa karena menunggu seseorang yang sampai tengah malam belum menampakkan batang hidungnya sama sekali.

Kanaya bangun dari sofa dan menyadari sesuatu menyelimutinya. Sebuah jaket denim yang terakhir dipakai oleh Barra keluar rumah saat makan malam.

"Barra pulang?" tanya Kanaya pada dirinya sendiri.

Dengan cepat dia bergegas naik ke lantai tiga untuk mengecek keberadaan pria itu. Pria yang semalaman dia tunggu dan berakhir dia tertidur di sofa panjang ruang tengah.

Ketika ingin membuka pintu kamar Barra, dia lupa kalau kamar di rumah ini menggunakan smart lock untuk membukanya.

Lantas, Kanaya berpikir. Yang paling mungkin dijadikan kode untuk membuka pintu ini mungkin saja ulang tahun Barra kan?

Kanaya mencobanya memencet beberapa digit nomor dengan menggunakan tanggal lahir Barra tapi kenyataannya, tidak bisa.

Kode salah.

Berpikir ulang. Apa mungkin menggunakan tanggal pernikahan mereka? Karena kalau ulang tahun Kanaya pun, Barra mana tahu? Mereka saja menikah secara mendadak dan tak pernah disangka-sangka.

Tapi ... Ah, bagaimana kalau kita mencobanya?

0110 dan... Benar.

Pintunya terbuka membuat Kanaya bergegas masuk dan mengecek keadaan Barra di dalam. Terlihat, Barra tengah tertidur dengan selimut yang sudah ada di mana-mana. Sepatu berceceran di bawah, tv pun masih terlihat menyala. Apakah Barra setiap hari bersikap seperti ini sebelum menikah? Atau ini sebuah triknya agar Kanaya memilih mundur dari pernikahan ini?

Setelah mengecek keberadaan Barra, Kanaya akhirnya keluar dari kamar menuju kamarnya sendiri.

Melanjutkan tidurnya hingga pagi menyingsing dan matahari menyapanya lewat celah gorden yang terbuka sedikit.

Kanaya membuka matanya. Badannya rasanya seakan ingin patah karena semalam dia sempat tertidur di sofa dengan posisi yang tidak mengenakkan.

Membuka gorden dan menyiapkan pakaian miliknya sebelum ia turun untuk makan pagi dan membangunkan Barra.

"Barra? Bangun!"

Kanaya membangunkan pria itu namun pria yang masih setia bergelayut di balik selimutnya hanya mendengus lalu menutup matanya lagi untuk melanjutkan tidurnya.

"Kamu harus kerja."

"Berisik."

Barra berujar dengan dinginnya. Ah, ayolah. Barra baru sampai di kamar ini jam satu dini hari. Apakah tidak ada waktu yang paling menyenangkan untuknya hari ini?

"Barra?"

"Kamu bisa diam tidak? Aku capek, ngantuk, mau tidur!"

"Tapi..."

"Diam atau kamu aku usir!"

Kanaya tercekat. Mencoba menetralkan degup jantungnya namun terasa begitu susah dan sulit menelan salivanya sendiri.

Setelah mengucapkan itu, Barra tidur lagi dan membuat Kanaya terdiam di sana.

"Baiklah. Aku sudah menyiapkan semua perlengkapan mandi sampai sarapanmu. Hari ini aku mau ke luar sebentar."

"Hm." Sahutan dari Barra membuat Kanaya berpikir jika lelaki ini menyetujui apa yang dia ucapkan.

Kanaya menghela napasnya dengan pelan. Baru beberapa hari di sini, kenapa rasanya dia sudah tidak betah? Apa yang sebenarnya membuat Barra selalu melarangnya segala macam?

Kanaya berbalik badan namun bariton suara khas milik Barra mampu menginterupsinya dan membuatnya berhenti seketika.

"Siapa yang mengizinkanmu keluar rumah?"

•••

TBC!