Barra Marah

"Siapa yang mengizinkanmu keluar rumah?"

Kanaya yang baru saja berbalik badan kini berhenti dan mematung sembari menelan salivanya.

Barra belum beranjak dari tidurnya. Matanya masih tertutup namun suara seraknya saja mampu membuat Kanaya kembali tidak bisa berbuat apa-apa.

"Cuma ke pasar sama ke—"

"Nggak boleh."

"Tapi, besok kita makan apa?" tanya Kanaya lagi masih tetap kekeuh. "Besok aku sudah mulai masuk kuliah."

"Ya terus?" tanya Barra membuka matanya lalu beranjak dari tidurnya menjadi duduk.

"Aku harus persiapkan barang-barang untuk ospek nanti."

"Jadi? Siapa pemimpin di rumah ini?" tanya Barra menatap ke arah Kanaya yang kini menundukkan kepalanya.

"Sekarang, kau siapkan aku makan."

"Tapi soal kuliahku—"

"Kita bisa mencarinya nanti sore."

Kanaya mengangguk. Dia langsung pergi ke luar kamar menyiapkan makan untuk Barra dan untuknya.

Kontak bernama Aiden membuat Kanaya melirik ponselnya. Laki-laki itu ternyata benar-benar menelfonnya. Jangan-jangan Aiden ke rumah ini dan mengajaknya mencari barang-barang untuk besok.

Bagaimana ini?

Barra tidak boleh tahu kalau dia memiliki teman dekat laki-laki.

"Telfon dari siapa itu?" tanya Barra dari belakang.

Pria itu kini sudah mengenakan jas kantor dan menatap dingin Kanaya.

"Bu-bukan dari siapa-siapa."

Ponsel Kanaya ia masukkan ke dalam sakunya kemudian mulai sibuk mengambilkan nasi ke piring Barra yang tengah merapikan jasnya kemudian duduk di kursi ruang makan ini.

"Ingat ya Kanaya! Selama aku tidak di rumah, kau tidak diperbolehkan ke mana-mana dan kau tak diperbolehkan untuk pergi tanpa aku!"

•••

"Aiden?"

Benar dugaannya. Baru saja ia membuang sampah di depan gerbang, Aiden sudah ada di sana. Duduk di motornya dengan senyuman manisnya.

"Gue udah tahu suami lo udah berangkat. Tenang aja. Gue juga nggak lagi mau berantem sama suami lo."

"Bagus."

"Tapi, tetap. Mau sampai kapan pun, gue masih nunggu lo. Gue tetap sama pendirian gue."

"Jangan gila! Gue udah ada suami. Lo mau kalau Barra tahu soal ini?" sarkas Kanaya.

Gadis itu ingin masuk namun dengan cepat Aiden menahan lengan Kanaya membuat gadis itu langsung menepisnya.

"Jangan pegang-pegang gue."

"Kenapa sih?" tanya Aiden. "Kita temenan kan?"

Kanaya mengangguk. "Kita berteman. Sama kayak gue, lo sama Syafa. Kita temenan dengan sehat. Dan gue harap kita masih bisa berteman tanpa melibatkan perasaan."

"Cuma itu?" tanya Aiden meremehkan.

"Kalaupun kita ketahuan, kita cukup bilang 'berteman'."

"Nggak waras lo ya?" ketus Kanaya.

"Kenapa sih?!" tanya Aiden. "Kita temenan udah sejak SMP. Dan lo nikah sama Barra juga baru-baru ini. Lo nggak bisa dong mutusin hubungan pertemanan ini karena Barra."

Aneh. Kanaya hampir tak bisa memahami maksud laki-laki ini. Aiden tetap saja terlihat seolah mereka masih berteman seperti dulu. Padahal posisinya sekarang Kanaya sudah menjadi seorang istri dari suami tampan dan dinginnya.

"Sekarang mau lo apa?" tanya Kanaya to the point.

"Kita keluar yuk beli barang-barang yang dibutuhkan buat besok."

"Nggak."

"Kenapa?"

Aiden mengernyit.

"Lo pasti tahu kan jawabannya?" tanya Kanaya. Lalu gadis itu langsung berbalik menutup pintu pagarnya dan meninggalkan pria itu di balik pagar besi menjulang tinggi ini.

•••

Kanaya mengecek ponselnya. Terlihat di sana Barra menelponnya berkali-kali namun tak ia angkat karena dia kelamaan di luar rumah dan meladeni Aiden.

Kanaya akhirnya menelfon balik pria itu dengan rasa penasaran namun sedikit was-was.

Di dering keempat, akhirnya pria itu mengangkat telfonnya. Dengan nafas yang memburu, pria itu menahan emosinya.

"Darimana saja kau?!"

Kanaya tak langsung menjawab. Ia masih berpikir jawaban apa yang cocok untuk ia jawab pada suaminya ini.

Tidak mungkin jika dia mengatakan ada Aiden di bawah dan mengajak ngobrol di sana.

"Bakar sampah di luar."

"Kamu pikir aku tak tahu apa yang kamu lakukan di sana?" suara serak dari Barra benar-benar mengintimidasinya.

Tiba-tiba saja tubuh Kanaya berubah menjadi menegang.

"Aku tahu semua."

Itu berarti dia juga akan tahu apa saja yang dia lakukan termasuk Aiden.

"Siapa laki-laki itu?" tanya Barra kemudian dengan nada dinginnya.

"Teman."

"Yah. Ketebak. Kamu memang tidak bisa mematuhi perintah suamimu sendiri."

Tut.

Sambungan telfon mereka akhirnya terputus. Dan bisa dipastikan Barra akan marah setelah ini. Tidak akan salah lagi.

Menurut beberapa orang di sini, termasuk satpam yang berjaga di sini sejak Barra membeli rumah ini, Barra memang orang yang tempramen. Dia tidak suka dibohongi namun dia juga labil.

Habislah riwayatnya. Kalau tahu seperti ini, pasti akan banyak hal yang menjadi permasalahan di hari-hari selanjutnya.

Kanaya menghela napasnya panjang. Si gadis labil ini begitu bingung harus apa lagi kalau sampai Barra marah. Mama mertuanya juga sempat bilang jika Barra orangnya tidak suka dikhianati apalagi dibohongi. Jika itu terjadi, kita tak bisa mengendalikan emosi Barra yang sudah meledak-ledak.

Kanaya yang mendengarnya merinding sendiri. Walaupun Barra termasuk begitu tampan dan sempurna, tetap saja kalau kena marah olehnya adalah kesialan.

Syafa: Barang-barang yang lo butuhkan besok udah gue beliin.

Kanaya tersenyum lalu membalas pesan dari Syafa—sahabatnya.

Kanaya: Aw, thank you teman baikku!

Untung saja Syafa punya inisiatif sendiri saat Kanaya curhat pada Syafa soal Barra yang melarang dirinya pergi ke mana-mana hari ini.

Beberapa hari di sini, yang dilakukan oleh Kanaya hanya berjalan sepanjang rumah ini sebagai bentuk bosannya karena memiliki rumah besar namun isinya hanya dia dan Barra.

Apakah tidak bisa Kanaya ajak temannya buat kost di sini sekalian?

Besok Kanaya sudah mau kuliah. Tempat kuliahnya serta rumahnya ini jaraknya itu cukup jauh dan memakan waktu lama. Bagaimana jika dia kena macet atau bahkan kesiangan? Bisa-bisa dia kena omel dosen.

Kanaya menyalakan televisi sebagai pelampiasan bosannya. Namun sialnya tidak bisa bosannya menghilang. Yang ada makin parah dan cukup membuat Kanaya stres harus memutar otaknya lagi.

Kanaya mematikan televisinya lalu beralih ke kamarnya untuk menyiapkan tas untuk besok. Buku catatan, alat tulis, alat make up dan dompet sudah dia masukkan ke dalam totebag warna hitam itu.

Setelahnya Kanaya kembali menatap ke arah ponselnya. Sudah hampir jam makan siang namun dia masih belum masak.

Apa Barra makan di rumah hari ini? Ah, kalau hanya dia yang makan hari ini bukankah tanggung? Dia bisa masak nanti sore kan untuk makan malam.

Siang ini dia bisa memesan makanan sendiri lewat online.

Setelah memesan makanan, Kanaya merebahkan dirinya di ranjang dan mulai menutup matanya.

Belum beberapa menit, tiba-tiba saja suara dobrakan pintu kamarnya membuat Kanaya terbangun dan terkejut.

Barra menendang pintu kamar Kanaya membuat gadis itu ketakutan.

Wajah Barra benar-benar memerah menahan emosinya. Ia menghampiri Kanaya yang terduduk di atas kasurnya.

Barra naik ke atas kasur bersamaan dengan tubuh Kanaya yang mulai mundur dengan perlahan dan mentok pada kepala ranjang itu. Tangan Barra menumpu ke kepala ranjang itu dan mulai menatap tajam ke arah Kanaya.

"Siapa laki-laki itu? Jawab!"

•••