Siapa laki-laki itu? Jawab!
Kanaya tak bisa menjawabnya. Hanya menelan salivanya agar ia bisa menetralkan detak jantungnya.
"Aku peringatkan sekali lagi padamu, jangan macam-macam di rumah ini," peringat Barra kemudian pria itu pergi beranjak dari kasur.
Tubuh Kanaya yang semula menegang kini menjadi lemas dan tak kuat untuk menahan berat tubuhnya.
Dengan pelan, dia mulai turun dari ranjangnya dan mengikuti jejak langkah Barra. Ternyata Barra pergi lagi dan dia hanya memarahinya. Apakah seemosi itu jika Kanaya berani berbuat kesalahan lagi?
Kanaya mengirim pesan pada Aiden untuk tidak perlu ke rumahnya lagi karena Barra tidak suka. Lalu dia juga mengirimkan pesan pada Barra agar tepat waktu pulangnya.
Barra: Nggak usah ngatur-ngatur!
Kanaya hanya menghela napasnya panjang. Barra akan tetap seperti itu jika pun Kanaya mampu membuatnya jatuh cinta.
Tetapi yang Kanaya sakit hati ketika Barra akan selalu memprioritaskan seseorang yang bernama Selina dibandingkan dia sebagai nyonya di rumah ini.
Memangnya siapa Selina itu? Apa dia adalah gadis yang membuat Barra jatuh cinta padanya?
Tak ingin berpikir macam-macam, gadis itupun kini beralih membersihkan rumah dan kamar yang sedikit berantakan akibat insiden itu.
Barra ternyata seemosi itu ketika melihat kelakuan Kanaya yang dia saja bingung kenapa hanya sebuah sahabat cowok dan cewek akan dicurigai oleh pasangan.
"Nak, kamu baik kan di sana?"
"Nak, kamu kapan ke rumah ibu?"
"Nak, kalau mau apa-apa jangan sungkan ya sama Mama."
Beruntung sekali jika mendengar kata-kata perhatian dari seorang ibu dan mertua yang baik seperti mereka. Namun celaka baginya jika harus berhadapan dengan suami arogan, cool dan tak punya hati seperti Barra.
Bunyi panggilan telfon dari ponselnya berbunyi membuat gadis yang baru saja duduk di kursi kamarnya menoleh lalu melihat siapa orang yang menelfonnya jam seperti ini.
Syafa.
Ada apa dengan gadis itu?
Syafa tipe orang yang jarang telfon jika tak penting selama mereka masih bisa chat dan tak ada kendala apapun.
"Kenapa Fa?"
'...'
"APA?!"
***
Dengan buru-buru Kanaya langsung pergi ke rumah sakit tempat di mana Aiden di rawat. Katanya Syafa dia sudah ada di sini namun Kanaya melupakan sesuatu jika dia tidak mengabari Barra jika mau ke sini.
Masa bodo dengan itu semua, Kanaya mencari tempat di mana Aiden di rawat dan bertanya pada suster yang ada di resepsionis.
"Pasien atas nama Aiden? Apa dia ada di sini dan di mana tempatnya?"
Setelah suster itu mengatakan tempat, Kanaya cepat-cepat langsung masuk ke dalam kamar yang ditunjuk oleh Suster tadi.
"Aiden? Lo nggak apa-apa?!"
Kanaya menepuk pipi Aiden membuat cowok itu meringis kesakitan. Syafa menepuk pipi Kanaya sebagai pembalasan.
"Aw sakit, Fa!"
"Sakit? Terus kenapa? Aiden juga sakit kenapa lo tepuk-tepuk?"
"Refleks."
"Alasan klasik."
"Ya kan gue nggak tahu yang mana sakitnya."
"Digebuk."
Kanaya terkejut. Matanya melotot dan menanyakan kebenarannya dari mulut Aiden sendiri.
"Bener?" tanya Kanaya.
Aiden mengangguk.
"Siapa yang gebukin?" tanya Kanaya penasaran.
"Nggak tahu. Tiba-tiba aja ada orang terus mukulin gue. Udah, kelar."
Kanaya masih tak habis pikir dengan ini. Bagaimana bisa ceritanya ada orang yang tak di kenal langsung menghadang Aiden padahal Kanaya yakin Aiden tak pernah melakukan apalagi berbuat kesalahan pada orang yang tak ia kenal.
"Lo tumben bisa keluar rumah. Nikah baru beberapa hari udah kayak orang sibuk aja."
Ah, iya. Hampir dia melupakan itu. Kanaya belum izin pada Barra. Apakah nanti Barra akan marah seperti ini padanya? Kalaupun dia izin di rumah pun, Kanaya tak akan diberikan izin pada Kanya untuk pergi. Di mata Barra, apa yang Kanaya lakukan memang selalu salah kan?
Kanaya Akhirnya dengan sengaja mematikan ponselnya agar dia tidak di telfon oleh orang-orang rumah yang sangat menyebalkan itu. Tetapi, ya mungkin bagi Kanaya menyebalkan karena dia pada awalnya hidup bebas dan tak pernah di atur sampai segitunya namun sekarang baik Barra maupun mertuanya selalu menelfonnya. Barra yang bertanya hanya sebatas 'ada di mana? Jangan selingkuh' atau hal lain. Bahkan Barra sampai memata-matai setiap kegiatannya. Seolah dia adalah seorang tahanan yang tak bisa bergerak dengan bebas dan memiliki privasi sendiri.
Mertuanya lebih ke arah menanyakan keadaannya, baik atau buruk. Bagaimana harinya di rumah itu atau hanya sekadar masak apa untuk makan malam nanti.
Mereka begitu baik dan tidak bisa Kanaya pungkiri dia adalah orang terbaik yang beberapa hari ini menanyakan tentangnya bukan tentang yang lain. Kelihatan sekali mereka mencintai dan menyayanginya. Walaupun kelihatan juga jika anaknya tidak mencintai Kanaya.
"Besok ospek, lo nggak ada niat mau bolos kan?" tanya Syafa pada Aiden dan di balas dengan kernyitan oleh lelaki itu.
"Gue cuma digebukin bukan sakit panas atau demam!"
"Ya kan siapa tahu aja lo mau bolos lagi dan lagi."
"Gue mau lulus dengan predikat cumlaude ya! Enak aja ospek di awali dengan bolos," cibir Aiden membuat Syafa yang ada di sampingnya mendelikkan mata.
Kanaya diam. Dia duduk di kursi ruang rawat ini. Ponselnya ia letakkan di tasnya dengan keadaan nonaktif. Mungkin habis ini, Barra akan marah lagi untuk kedua kalinya hari ini karena kejadian ini.
"Kay? Lo nggak pulang?" tanya Syafa. "Udah sore. Bentar lagi suami lo pasti pulang."
"Pulangnya dia tuh nggak nentu. Gue sekali masuk ke rumah mana bisa keluar rumah tanpa sembunyi-sembunyi."
"Jadi lo gak izin ke suami lo?" tanya Syafa lagi.
"Dan lo pikir kalau gue izin, suami gue bakal izinin? Yang ada nambah beban masalah gue."
"Terus? Kalau suami lo tahu lo nggak ada di rumah, gimana?"
"Jawab aja lagi jenguk temen."
"Diinterogasi?" tanya Syafa lagi. Dia benar-benar kepo dengan masalah rumah tangga sahabatnya ini.
"Kayaknya sih."
"Lo gak takut?" tanya Syafa sedikit ngeri.
"Nangis. Senjata gue kan nangis."
Jengah. Baik Syafa maupun Aiden melirik tajam ke arah temannya ini.
"Sarap lo ya!"
"Ya harus gimana lagi? Gue kalau gak kabur, mana bisa keluar rumah?!" ujar Kanaya membuat kedua temannya ini mengangguk-anggukkan kepalanya.
Sepuluh menit kemudian, dia merasa tidak enak juga mematikan ponsel berusaha hilang kabar seperti ini di belakang Barra. Bisa-bisa hal terjadi akan berdampak pada kedua sahabatnya ini.
Setelah Kanaya mengaktifkan kembali ponselnya, ternyata benar. Dia banyak mendapat panggilan dari asisten Barra serta suaminya itu.
Dering ponselnya kembali berbunyi dan menampakkan nama Barra di sana.
"Gue mau angkat telfon dulu."
Keduanya mengangguk. Kemudian Kanaya pergi agak jauh dari mereka. Mencoba untuk tidak memperlihatkan masalah keluarganya.
"Kenapa?"
'PULANG!"
•••
TBC!