Kanaya tak langsung pulang. Ia langsung pergi ke rumah Syafa untuk ambil beberapa perlengkapan untuk besok. Namun sebelumnya, ia mengantar Aiden lebih dulu ke rumahnya untuk lebih istirahat karena besok adalah hari pertama mereka masuk kuliah.
Mendengar marahnya Barra ketiga kalinya hari ini, Kanaya tak langsung mengiyakan suruhan suaminya itu. Baginya, sahabat lebih penting.
Ia terbiasa hidup bersama ayahnya dan mendengar penuturan kasar.
"Lo nggak pulang? Kasihan diri lo kalau nggak pulang. Takutnya suami lo bakal marah-marah kayak gini. Besok juga kita harus ospek kan? Butuh tenaga lebih."
"Iya, nanti gue pulang. Lo tenang aja."
Kanaya masih duduk di sofa kamar Syafa. Tak berbuat apa-apa, hanya diam dan menatap ke arah Syafa.
Ponsel Kanaya sengaja dia silent karena takut jika Barra menelfon dan mengganggu acaranya. Meskipun dia tahu, dia bukan orang yang senang dengan kebohongan, tapi setidaknya dia juga bisa merasakan bebas meski dia harus menikah di usia muda. Dia juga butuh sosialisasi apalagi main dengan teman seusianya kan?
"Kalau kak Barra marah?" tanya Syafa pada Kanaya. "Nanti Aiden lagi yang kena."
"Tunggu! Kenapa jadi Aiden?" tanya Kanaya yang bingung dan dia juga tidak tahu apa yang terjadi sebenarnya.
"Aiden kan yang buat kayak gitu kak Barra karena lo nggak bisa dibilangin. Makanya gue daritadi nyuruh lo pulang biar lo nggak kena marah lagi."
Oh, jadi Barra yang membuat temannya seperti ini?
Kesal. Tentu saja. Siapa yang tidak kesal kalau temannya dibuat babak belur seperti ini sampai masuk rumah sakit karena dikeroyok orang-orang suruhan Barra yang sama sekali tidak tahu apa masalahnya.
Jika menurut kalian hal ini wajar, lebih wajar lagi mana jika Barra dimarahi Kanaya karena Barra bersikap kekanak-kanakan?
"Lo mau ke mana?" tanya Syafa mulai resah. "Jangan bilang lo mau marahin kak Barra?! Jangan deh. Urusannya sama preman, gue takut."
"lo tenang aja. Gue bisa jaga diri gue."
"Lo sih nggak apa-apa, tapi Aiden gimana?!" ketus Syafa pada Kanaya memalingkan wajahnya dengan kesal. "Aiden bisa kena lagi. Lo kayak gak tahu suami lo aja."
"Dan karena dia suami gue, justru gue yang lebih tahu dia."
"Soal itu? Emangnya lo sedekat apa sama dia? Kamar aja pisah apalagi kepribadian dia di dalam kamar ngapain aja."
Benar juga. Dia kan beda kamar. Kalau mau marahin Barra juga pasti Barra bakal marah balik padanya. Karena tahu sendiri kan bagaimana rasanya marah-marah pada orang yang sosoknya saja dia tahu hanya sosok yang dingin dan tidak memiliki teman.
"Lebih baik, lo kasih nasehat sama kak Barra buat jangan bersikap semena-mena sama orang."
"Terus lo pikir gue bakal berhasil dengan membujuk dia?" tanyanya pada Syafa. "Gue sama sekali nggak tahu berhasil apa enggaknya."
"Ya, makanya lo nyoba. Kalau nggak nyoba sama sekali gimana mau tahu."
"Gue aja baru tahu password pintu kamar dia bekas ngarang."
"Wih pinter..." Syafa tersenyum senang. "Sahabat gue kayak cenayang."
"Biasa aja kali. Dan lo tahu kenapa gue bisa tahu?" tanya Kanaya pada Syafa menggebu-gebu.
"Kenapa?"
"Karena itu tanggal pernikahan kita."
"Wih, secara nggak langsung lo diterima sama Barra?" tanya Syafa memastikan.
"Mbak di rumah bilangnya bukan. Karena papa mama Barra tahu kalau kita tidak tidur bersama karena keinginan Barra, setidaknya gue tahu kalau kamarnya Barra masih terlihat normal. Tidak berantakan dan menutup diri dari gue."
Setelah menjelaskan semuanya, Kanaya pamit pada Syafa untuk pulang karena memang hari sudah malam. Entah apa yang akan terjadi di rumah jika dia baru pulang jam segini. Setidaknya Kanaya pulang ke rumah bukan ke rumah orang tuanya yang tidak tahu apa-apa soal masalah ini kan?
Kanaya ternyata sudah dipesankan taksi online oleh Syafa secara diam-diam. Ya, setidaknya dia tidak terlalu lama di depan untuk cari taksi lagi. Sahabatnya itu benar-benar baik dan peka bukan?
"Kenapa lihat-lihat?!" tanya Barra ketika Kanaya sudah sampai di rumah dan mendapati Barra ada di ruang tamu. Sepertinya laki-laki itu memang sengaja menunggunya di sini.
Kanaya menundukkan kepalanya. Percayalah, dia akan kembali takut ketika laki-laki itu menatap tajam ke arahnya.
"Ingat ada rumah juga ternyata. Kupikir masih tetap mau di rumah sakit ketemu selingkuhan."
"Selingkuhan siapa?" tanya Kanaya mencoba biasa saja.
Aiden memang sahabatnya sejak lama. Meskipun begitu, seorang laki-laki memangnya akan selalu percaya begitu saja meski sudah dijelaskan dan benar adanya.
"Selingkuhan yang ada di rumah sakit."
"Yang kamu suruh orang buat celakain dia?" tanya Kanaya balik.
Mengangguk. Sudah dia duga jika Aiden akan memberitahukan ini pada Kanaya bahkan pada temannya yang lain itu.
"Pelajaran agar dia tidak macam-macam padaku."
"Dia bahkan tidak tahu kau itu siapa."
"Dan dia berani menemuimu di sini. Kau tahu aku siapa?" tanyanya lagi. "Di rumah ini tidak ada seorang pun yang boleh menginjakkan kakinya ke sini tanpa sepengetahuan aku bahkan aku kenal orang itu sekaligus."
Barra setelah mengatakan ini langsung pergi meninggalkan Kanaya sendirian. Ya, seperti inilah kurang lebih ketika Barra marah ataupun bersikap dingin padanya.
Kanaya sebenarnya tidak ingin mengambil pusing dengan semua ini. Tapi berhubung dia adalah Kanaya yang selalu berpikir berlebihan sampai kemana-mana, jelas saja dia penasaran kenapa Barra bersikap seperti ini padanya.
Dia ingin mengistirahatkan otaknya malam ini. Daripada ribut kembali dengan Barra, lebih baik dia siap-siap untuk besok karena mata kuliah pertama akan berlangsung sejak besok.
Ia naik ke tangga lalu pergi ke dalam kamar. Menutup pintunya rapat-rapat kemudian mulai berjalan ke arah ranjang beranjak tidur.
Baru saja dia menutup matanya, ponselnya berdering lagi membuat si gadis yang sudah mengenakan baju piyama itu mendesis tajam.
"Kenapa selalu saja ada yang mengganggu waktu tidurku," umpat Kanaya lalu meraih ponselnya.
Di sana terdapat nama 'Aiden' yang tertera membuat Kanaya mendesah.
"Kenapa lagi?" tanya Kanaya masih dengan nada suara malas-malasan.
'Besok lo gue jemput ya!'
"Nggak kapok dikeroyok?!" tanya Kanaya. "Jangan aneh-aneh deh. Gue capek debat sama Barra."
'Buat lo mah, tak akan mempan.'
"Nggak usah sok pahlawan deh, lo! Mending lebih baik lo tunggu gue di—"
Kring... Kring...
Telepon rumah yang ada di kamar ini berbunyi membuat Kanaya mendesah lalu mengangkat telfon itu.
'Berani telfonan di jam segini? Masih kurang hukumannya?'
Sial. Ternyata dia melupakan sesuatu jika di kamar ini ada CCTV yang langsung terhubung dengan Barra.
Ah, bodoh sekali. Kenapa dia tidak kepikiran ke arah sana?
•••
To Be Continued