Pelindung Kanaya

Malam sudah tiba. Suara gemuruh hujan di luar sana terdengar begitu keras disertai suara gemuruh petir yang bersahutan membuat Kanaya yang berdiam diri di ruangan ini sendirian hanya meringkuk ketakutan.

Dia benar-benar tidak bisa sendirian.

Dia membenci petir dan dia takut akan suara kerasnya.

Baginya, suara itu hanya pengganggu waktunya. Mengingatkannya pada luka dan beberapa hal yang terjadi dalam hidupnya beberapa tahun yang lalu.

Terlihat kilatan yang begitu terang di jendela ruangan ini membuatnya cepat-cepat berlari ke dalam kamarnya lalu bersembunyi di dalam selimutnya yang tebal itu tanpa penerangan apapun.

Dia tidak masalah dengan gelap dan mati lampu. Asal dia tidak sendirian disaat petir seperti ini. Menurutnya ini begitu menakutkan dan dia tidak bisa sendirian.

'Barra, kamu di mana? Aku takut.'

Kanaya bertanya pada dirinya sendiri. Berharap Barra akan segera ke kamarnya dan memeluknya. Setidaknya untuk mengusir ketakutannya saja.

Gadis itu benar-benar tidak bisa jika harus menjalaninya sendiri ditengah hujan yang semakin kencang terdengar.

"Barra..."

Suara lirihan dari mulut Kanaya serta isakan kecil dari gadis itu terdengar miris.

Gadis kecil itu benar-benar ketakutan.

Dia benar-benar harus menelfon salah satu dari beberapa orang yang mampu membuatnya lebih aman dan tenang.

"Kenapa?" tanya Syafa ketika panggilan mereka sudah terhubung.

"Lo kenapa?"

Tak ada jawaban.

Kanaya hanya menangis terisak.

"Nay! Lo nggak kenapa-kenapa kan? Lo nggak sendirian kan? Apa perlu gue ke sana? Barra di mana?!"

Pertanyaan runtut dari Syafa mampu membuat tangisan Kanaya semakin kencang dan keras.

"Gu-gue sendirian."

"Astaga! Barra kemana memangnya?!" tanya Syafa di seberang sana. Tentu saja dengan nada yang sangat khawatir.

"Di-"

"Pasti belum pulang kan? Kok bisa dia tidak tahu kalau lo takut petir?" tanyanya lagi. "Lo di situ. Kita berangkat ke sana sekarang."

"Tapi, Sya—"

Belum sempat gadis itu mengatakan pada gadis itu untuk jangan ke sini, telfon mereka sudah terputus membuat Kanaya merasa serba salah.

Dia takut jika Barra akan marah lagi padanya dengan alasan dia melanggar aturan.

Ah, sudahlah. Biarkan saja semua terjadi. Kali ini, dia benar-benar tidak tahu harus apa lagi.

Beberapa menit kemudian, Syafa datang bersama Aiden.

Dia tidak tahu jika Aiden akan ikut bersama Syafa. Dia pikir Syafa akan datang sendirian.

"Bi, udah ya! Mereka teman-teman saya. Nanti saya yang akan bicara pada Barra tentang ini. Saya yang bertanggungjawab."

Setelah itu, seorang wanita paruh baya itu akhirnya tersenyum ke arah Kanaya lalu melenggang pergi dari sana.

"Kalian kenapa nekat sih?!" tegurnya pada Syafa serta Aiden.

"Kita khawatir sama lo. Takut petir, sendirian, lo mau kalau lo kenapa-kenapa karena sebuah kejadian takut petir doang?" omel Syafa tak kalah ketus.

"Ya, tapi kan pasti petirnya juga nggak akan lama kok. Gue cuma minta lo temenin lewat telpon aja tadi. Tapi, lo keburu putusin sambungan."

"Ya, gue khawatir. Gue buru-buru ke sini."

"Terus—kenapa Aiden ada di sini juga?" tanya Kanaya tak habis pikir.

"Aiden lagi sama gue. Sebagai teman yang baik, gue harus ajak Aiden juga buat pastiin temennya itu baik-baik aja dalam keadaan hujan sekaligus petir kayak tadi."

Syafa menjelaskan alasannya secara rinci dan jelas. "Dan, gue mau tanggung jawab kalau lo kena omel Barra lagi."

"Nggak bisa. Ini masalah gue. Dan gue nggak mau kalian kena masalah. Apalagi kalau kejadiannya kayak yang pernah terjadi di kalian."

"Dan lo pikir Barra akan percaya sama jawaban lo? Alasan lo, mau kayak gimana pun juga, kalau Barra nggak percayaan sama orang, ya tetap aja lo salah."

Itu benar juga. Barra orangnya kuat pendirian dan batu.

Kanaya tidak tahu mau sampai kapan dia tahan dengan sikap keras Barra dan keegoisan lelaki itu. Baginya semua itu tetaplah hal yang tidak mudah untuk dicairkan.

Kutub es itu tidak akan semudah itu bisa dia taklukkan bukan?

"Oke, gini aja. Lo telfon Barra atau chat dan katakan saja kalau ada teman lo ke sini buat main."

"Kalau nggak dibalas atau dia ngusir lo?" tanya Kanaya.

"Kita tetap di sini."

"Jadi apa gunanya gue telfon kalau kalian tetap di sini?" tanya Kanaya lagi. Tak habis pikir.

"Setidaknya kita tahu gimana reaksi suami batu sekaligus es lo itu kalau tahu ada kita di sini."

"Gue tebak, dia bakal marah-marah karena gue ikut ke sini. Atau kemungkinan terburuknya juga, gue akan dihajar sama kayak yang terjadi kemarin."

Membayangkan apa yang Aiden katakan saja dia sudah meringis. Dia tidak tahu hal itu akan terjadi secepat itu.

Barra yang tadinya hanya diam, menganggap Kanaya tidak ada di sini atau lebih parah lagi, Barra tidak peduli apa yang Kanaya lakukan di sini, tapi saat ini dia tahu satu hal. Rumah ini adalah privasi penting bagi Barra.

"Kalau gitu, mending Aiden pulang aja."

"Nggak. Gue tetap di sini dan memastikan semua aman terkendali."

"Lo salah. Yang ada kita akan lebih parah kalau tahu ada lo di sini. Tadi lo kan bilang kemungkinan terburuknya adalah itu."

Aiden mengangguk. Tapi, sepertinya laki-laki itu juga tidak akan peduli.

"Iya, gue tahu. Tapi mau seburuk apapun, Kanaya lebih penting."

Kanaya merasa hal ini tidak baik untuknya. Bukan hatinya tapi tentang apa yang akan terjadi ke depan.

Memang benar dia tahu akan lebih baik daripada mereka terjebak ke dalam hubungan yang tidak jelas dan salah satunya akan tersakiti.

Dengan tahu Kanaya sudah memiliki suami, mungkin saja suatu saat nanti pasti pria itu akan pelan-pelan menghindarinya, melupakannya dan menganggapnya hanya sebatas sahabat kan?

Itu memang terdengar mudah. Tapi percayalah. Untuk tahu jika melupakan seseorang semudah atau sesulit itu, kita harus mengetahuinya alasan kenapa dia harus melupakan perasaannya.

"Oke, gue chat Barra dulu."

Kanaya:

P

Bar, temanku di sini. Di rumah. Kamu kapan pulang?

Barra:

Siapa saja?

Sebentar lagi sampai.

Kanaya melototkan matanya. Apa katanya? Sebentar lagi?

Kanaya:

Syafa.

Barra:

Aiden kan?

Kanaya:

Cuma nemenin aku doang sama Syafa.

Barra:

Hm.

"Gawat. Barra bentar lagi sampai. Kita harus apa?"

"Untuk kita pulang, udah terlambat. Lebih baik kita hadapi saja."

Aiden menjawabnya dengan nada tenang seolah ini akan baik-baik saja.

"Lo gila? Nanti yang ada Barra—"

"Shttt... Mau gimana? Udah telat kita di sini. Hadapi aja sudah. Jangan panik."

"Tapi, kondisi lo—"

Aiden memotong pembicaraan Syafa tiba-tiba.

"Lebih baik mana menemani teman yang ketakutan dengan kita yang lari dari masalah yang kita buka sendiri?"

***

TBC!