Takdir

Keyna tertawa miris, ia tak mengerti kenapa dunianya jadi sempit seperti ini. Laura adalah kekasih Ken. Sahabatnya selama ia kuliah di Universitas yang sama dengan gadis itu.

"Wah, dunia memang se-sempit ini." katanya tak percaya. Ken menggaruk kepalanya, berjalan menuju sofa dan melihat nama Laura muncul di layar ponselnya. Ia cukup terkejut, Keyna dan Laura saling mengenal. Kenapa hidupnya jadi serumit ini.

"Jawab saja, dia akan bunuh diri jika kau tak ada. Dia sangat mencintaimu." kata Keyna tertawa kecil, ia tidak menyangka lelaki yang diceritakan Laura padanya itu ternyata Kennard. Dan sekarang menjadi suaminya. Takdirnya memang seaneh ini.

Ken menggulir layar jawab dan menempelkan benda munggil itu di telinga kirinya, sambil melirik pada Keyna yang masih tertawa tak jelas, menertawakan takdirnya.

"Ken, jika kau tak kesini aku akan bunuh diri. Aku tak sudi kau disana bersamanya." katanya kesal dan Ken kini memijit kepalanya yang mendadak terasa sakit.

"Aku mencintaimu." Suara Laura terdengar berat diseberang sana. Membuat Ken merasa sangat kesal. Ia merasa tak bisa tenang. Padahal dirinya hanya ingin tidur dan beristirahat sebentar saja. Memenangkan kepalanya yang terasa hendak meledak sejak kemarin.

"Baiklah." Hanya itu yang mampu Ken ucapkan. Ia mematikan sambungan teleponnya pada Laura. Melihat Keyna kini mengangguk tidak jelas. Ia sekarang tahu lebih banyak soal Ken.

"Pergilah, dia akan benar bunuh diri jika kau tak datang." jelas Keyna berdiri dari tempat tidurnya, berjalan menuju meja riasnya dan duduk di sana. Ia akan membersihkan sisa make up yang masih menempel di wajahnya sebelum tidur. Ritual yang selalu ia lakulan memang. Walaupun tadi sudah dibersihkan.

"Kau, mengenalnya?" tanya Ken memastikan. Keyna sontak tertawa kecil, merasa lucu dengan pertanyaan Ken kali ini.

"Lebih dari itu," jawabnya santai mengambil kapas pembersih dari dalam kotak kecil diatas meja. Lalu membasahinya dengan pembersih muka.

"Ah, sialan!" Ken menggaruk kepalanya lagi. Ia binggung harus berbuat apa. Keyna kembali mengangguk sedikit. Ia sekarang mengerti.

"Jadi kau lelaki yang selalu dia ceritakan padaku, yang ia cintai setengah mati itu. Yang selalu ia puja puji,"

"Wah ini sungguh tak bisa ditebak, duniaku memang sangat sempit. Aku ingin tertawa keras menertawakan takdir ini." jelasnya tertawa dan Ken kembali menatap Keyna jengkel. Ia benci Keyna yang malah tertawa diatas penderitaannya.

"Ini sungguh tak bisa ditebak," ulang Keyna tersenyum miris, ia sungguh tak menyangka.

"Pergilah, aku tak bisa mengantikanmu disana. Aku lelah dan biarkan aku istirahat dengan tenang disini." jelas Keyna lagi. Sedangkan Ken semakin kesal dibuatnya.

"Kau, mengusir ku?" tanya Ken dongkol. Keyna mengangguk tanpa ragu. Mulai mengusapkan kapas itu pada wajahnya.

"Yah, tentu saja, kau harus kesana menemui kekasih mu. Aku mau tidur nyenyak di sini. Aku lelah," Keyna memijit bahunya lagi, beberapa kali, membuat Ken menoleh serius. Ia merasa ada yang tidak beres dengan gadis itu.

"Tidur lah di sana dengannya, dia sangat frustasi mengetahui kau dijodohkan, aku tak tahu ternyata kau dan aku orangnya. Takdir memang lucu sekali yah." lanjutnya tersenyum, kini ia fokus membersihkan wajahnya. Ken menatapnya tajam, ia merasa kesal sendiri. Bagaimana bisa Keyna mengusirnya seperti ini dan mengulang lagi ucapan yang tadi.

"Aku juga lelah, dan aku butuh istirahat. Tapi kau malah mengusir ku." katanya kecewa, mengambil setelan jasnya kembali di sandaran sofa milik Keyna.

"Yah, kau bisa tidur di sana. Aku tak punya tempat untukmu di sini, dan aku juga tak sudi satu ruangan dengan mu di sini." jujur Keyna tersenyum samar. Ia tak ingin Ken berada di sini walaupun ia juga merasa kasian pada lelaki ini. Ken lantas tertawa kecil mendengarnya.

"Kau sungguh sangat membenci ku?" kata Ken memastikan.

"Yah, itu sudah jelas, aku sangat membenci mu melebihi apapun di dunia ini." balasnya mantap. "Sialan." gerutu Ken kesal.

"Jadi, pergi lah temui kekasih mu itu dan jangan pernah kembali lagi ke sini." tambahnya lagi, ia tak ingin sesuatu buruk terjadi pada Laura, ia tahu gadis itu sangat mencintai Ken melebihi apapun. Ken menoleh serius, ia merasa Keyna sangat membencinya.

"Kau tak apa?" Ken melihat Keyna tampak beberapa kali memegang kepalanya. Ia merasa Keyna tak baik-baik saja.

"Ya, sangat baik. Pergilah. Aku hanya lelah, nanti juga sembuh setelah aku tidur." Keyna berdiri sambil membuang kapasnya ke dalam tong sampah di samping meja riasnya.

"Benarkah?"

"Tak ada orang lain di sini kecuali kita berdua." jelas Ken membuat Keyna menoleh sebentar padanya, lalu mengangguk pasrah.

"Tak apa, aku baik-baik saja. Pergilah temui dia. Dia pasti khawatir kau di sini bersamaku. Aku yakin dia sekarang sudah hampir gila, tolong sembunyikan fakta ini darinya, aku mohon, aku takut nanti dia bisa membunuhku, dia sedikit aneh, aku yakin dia akan marah padaku, karena dia sangat menyukaimu." balas Keyna serius. Ken kini mengangguk sedikit,

"Aku tak sebodoh itu, aku tak mungkin memberitahunya." balas Ken cepat.

"Syukurlah." balas Keyna lambat. Ken mengangguk lagi, sebenarnya ia ragu untuk meninggalkan gadis ini.

"Oke, aku pergi. Jika sesuatu terjadi padamu, kabari aku secepatnya, kau terlihat tak baik-baik saja." sahutnya beranjak menuju pintu kamar Keyna dan keluar dari sana. Keyna menarik napas berat dan menghembuskan perlahan. Ia berjalan menuju tempat tidurnya dan merebahkan tubuhnya di sana. Keyna merasa sangat lelah. Ditambah lagi tubuhnya merasa tak baik, ia kini meraih selimutnya dan mencoba tidur. Agar ia kembali pulih, tapi ia malah semakin merasa tidak baik.

Ken menghentikan langkahnya, ia menoleh kembali pada pintu kamar Keyna yang sudah tertutup rapat. Ia merasa kesal sekali, ia merasa tak bisa meninggalkan Keyna sendiri di sini.

Detik berikutnya ia kembali berjalan menuju pintu kamar Keyna. Membuka pintu itu kembali, melihat Keyna sudah berbaring di atas kasur.

"Key, kau serius, kau tak apa?" tanyanya ragu. Keyna mendengarnya kesal. Ia kesal kenapa Ken kembali padanya.

"Aku tak apa, pergilah. Aku baik-baik saja." balasnya dongkol. Ken kini memukulkan kepalanya di pintu kamar melihat Keyna sambil mengepal tangannya kuat. Ia merasa kesal sendiri dengan hidupnya. Ia harus kemana sekarang, menemui Laura atau tetap di sini. Ia juga takut gadis kacau itu berbuat aneh di apartemennya. Dan ia juga takut Keyna mati sendiri di sini karena sakit.

"Sialan. Kenapa kalian membuat aku seperti ini." katanya dongkol. Keyna menggaruk kepalanya. Menyibak selimutnya dan duduk, melihat Ken masih berdiri di pintu kamarnya. Ia melihatnya kesal.

"Ayo, kita kerumah sakit dulu, aku tak ingin kau mati di sini sendiri. Jangan membuatku khawatir." ucapnya serius membuat Keyna mengacak rambutnya frustasi.

"Astaga, aku tak apa. Jangan membuat ku tambah sakit kepala. Pergilah, sebelum aku membunuh mu sungguhan, aku membenci mu. Pergi temui kekasih mu." balasnya dengan nada tinggi membuat Ken semakin dongkol. Keyna kembali menjatuhkan tubuhnya di atas kasur, lalu menarik selimutnya tinggi-tinggi hingga menutupi seluruh tubuhnya hingga kepala.

"Astaga. Kenapa aku jadi seperti ini. Sialan." Ken kembali berjalan keluar sambil menutup pintu kamar Keyna kasar. Membuat Keyna sontak kaget. Ken menuruni anak tangga dan tiba di bawa rumah yang berukuran cukup besar itu. Ken merasa khawatir meninggalkan Keyna sendiri di sini. Ia kini berjalan cepat menuju mobilnya.

Keyna mencoba memejamkan matanya kembali, wajahnya terlihat semakin pucat dan seluruh tubuhnya panas, kepalanya terasa berat. Keyna meraih ponselnya, hendak menelpon Ibunya, tapi ponsel itu mati, baterai ponsel itu habis dan Keyna lupa mengisinya.

Keyna kesal kenapa semua orang malah meninggalkannya di rumah, hanya berdua dengan Ken dan mereka malah tidur di hotel tempat resepsi pernikahan mereka tadi. Bukannya Keyna yang di suruh di sana, tapi malah sebaliknya. Ia merasa aneh sendiri dengan keluarganya. Keyna meletakkan kembali ponselnya. Ia semakin tak kuat dan berharap nanti ia bisa sembuh jika sudah tidur.