Seorang Anak Lelaki

"Kakek! Tunggu aku! Bisakah kau berjalan sedikit lebih lambat? Kakek tahu kalau aku masih kecil dan tidak bisa mengikuti langkah orang dewasa."

"Haha! Maafkan kakek, aku tidak memperhatikan  keberadaanmu. Ini adalah pertama kalinya kau ikut ke dalam hutan menebang kayu bukan? Aku sudah terbiasa sendiri dan jalanku memang lebih cepat. Aku tidak sabar menyantap hidangan buatan bibimu di rumah nanti."

"Kakek benar! Mengingat makanan bibi membuatku sangat lapar sekarang, tapi sayangnya jarak dari sini ke rumah masih lumayan jauh. Terlebih aku harus membawa rusa berat ini dengan tanganku yang masih kecil ini. Huhhh..."

"Siapa juga yang memintamu memburu rusa itu? Niat kita bukan berburu di dalam hutan ini, melainkan hanya mencari ranting yang berjatuhan untuk dijadikan bahan bakar. Kau sendiri yang menyulitkan dirimu."

Pria kecil yang berdiri di belakang sosok pria paruh baya menatap 'kakek' itui dengan tatapan benci. Tapi kemudian dia berkata, "Kapan lagi akan ada Rusa Tanduk Emas yang bisa ditemukan? Mungkin karena aku sering memburunya, Rusa Tanduk Emas ini keberadaanya semakin sulit saja untuk dicari."

Seekor rusa bertanduk emas yang sudah mati dia pangku dipunggungnya. Melihat kakeknya yang hanya membawa sebongkah kayu kering membuatnya iri, haruskah dia menjadi tua terlebih dahulu untuk mendapatkan sedikit keringanan dalam hidupnya.

Namun ketika dia memikirkan seorang wanita yang menunggu mereka di dalam rumah membuatnya bersemangat kembali. Membayangkan bibinya akan membuatkan hidangan daging rusa membuat perutnya keroncongan.

Sepasang pria kecil dan kakek tua itu akhirnya sampai di depan rumah sederhana yang terbuat dari kayu. Meski begitu rumah itu terlihat masih kokoh dan bisa bertahan di tengah cuaca ekstrim.

Seorang wanita cantik menjentikkan tangannya dan tempat pembakaran yang semula padam kini kembali menyala. Dia mengalihkan tatapannya ke arah dua orang yang datang di waktu bersamaan, "Ayah, Hao Li! Kebetulan aku akan memasak. Oh? Apakah kau mendapatkan buruan Rusa Tanduk Emas di dalam hutan? Ukurannya lumayan besar, aku rasa daging rusa akan menjadi santapan yang sempurna hari ini."

"Bibi, kau memang hebat! Aku sangat ingin memakan sup daging rusa dan rusa panggang buatanmu. Aku sudah lupa kapan terakhir kali makan daging rusa setelah sekian lama," Hao Li menempatkan mayat Rusa Tanduk Emas dibawah. Dia mengelap keringatnya yang sudah bercucuran deras sedari tadi.

Wanita yang dipanggil 'bibi' oleh Hao Li memeriksa mayat rusa, dia mengambil pisau yang berada tepat di sisinya dan membelah dada rusa itu. Sebuah mutiara berwarna emas cerah terlihat, lalu dia memberikannya kepada Hao Li seraya berkata, "Bukankah baru minggu kemarin kau terakhir makan daging rusa? Apakah kau sudah pikun? Berlagak seperti tidak menemukan daging rusa selama bertahun-tahun."

Hao Li menerima mutiara emas dari bibinya lalu ia memakannya layaknya sebuah permen gula, "Emm... manis sekali. Mengapa gula ini terasa lebih mani dibandingkan dengan gula yang pernah aku makan? Bibi, aku akan kembali ke dalam hutan dan memburu beberapa hewan untuk dijadikan persediaan nanti."

Si kakek yang sedari tadi memperhatikan keduanya langsung melarang Hao Li, "Kemana kau akan pergi sendirian? Hutan ini dipenuhi dengan bahaya dan kau tidak bisa berkeliaran sendirian. Tunggu bibimu selesai memasak dan kalian bisa pergi berburu!"

Walaupun Hao Li sering berpergian jauh ke dalam hutan, itu semua dia lakukan bersama bibinya. Pernah sekali Hao Li meminta izin kepada kakeknya untuk berburu sendirian, tapi kakeknya langsung melarangnya dan menceramahinya sehari semalam sampai membuat telinga Hao Li merah karena ocehannya yang amat panjang.

Hao Li merenggut tidak setuju, umurnya sekarang menginjak usia 10 tapi kakeknya masih saja sering melarangnya melakukan banyak hal. Padahal dia yakin dengan kekuatannya sendiri, setidaknya dia bisa menghadapi Harimau Beracun sendirian.

"Kakek, sampai kapan kau akan terus melarang melakukan ini dan itu. Aku juga ingin menjelajahi hutan sendirian!" ucap Hao Li sedikit menyentak kakeknya. Dia selalu membayangkan dunia yang begitu luas menunggunya diluaran sana, dia juga ingin menjadi seorang pengembara seperti isi dari dongeng yang selalu bibinya bacakan sebelum tidur.

Pria paruh baya itu balas menatap Hao Li, kemudian dia menghela napasnya pelan, "Saat kau telah dewasa, saat itu aku tak akan melarangmu dan membiarkanmu berpergian ke mana saja kau mau. Aku sama sekali tak akan melarangnya."

Lagi. Kalimat itu selalu kakeknya lontarkan jika dia ingin berpergian sendirian. "Dewasa? Sekarang umurku sudah 10 tahun, setidaknya aku tahu mana yang benar dan mana yang salah. Aku tahu apa yang harus aku lakukan!"

"Kakek tahu kau akan menjadi orang hebat nantinya. Tapi apa kau tahu betapa kejamnya dunia luar sana? Hukum rimba berlaku di dunia ini, yang kuat akan selalu menjadi pemenang dan yang lemah hanya bisa menerima nasibnya untuk diinjak-injak oleh orang lain. Berhadapan dengan binatang buas mungkin hanyalah masalah sepele bagimu, tapi bagaimana jika kau bertemu dengan orang lain yang sama sepertimu da kekuatannya lebih tinggi darimu? Saat itu hanya ada dua pilihan, kau bisa bebas atau kau bisa mati jika bersinggungan dengannya."

Mendengarkan ceramah kakeknya membuatnya kesal. Dia berjalan menghentakkan kakinya lalu memasuki rumah. Wajahnya benar-benar tidak enak dipandang.

Wanita berparas cantik yang sedari tadi hanya memperhatikan mereka berdua menggelengkan kepalanya pelan, "Mulai lagi..."

***

Malam hari tiba, acara makan-makan yang seharusnya dinikmati malah dipenuhi kesuraman. Ming Wu masih enggan memulai pembicaraan dengan Hao Li, begitu juga sebaliknya. Ming Fei yang sudah terbiasa dengan sikap mereka hanya bisa membujuk mereka berbaikan, meski dia tahu semua usahanya itu tidak ada artinya.

Ming Fei menatap pintu kamar Hao Li lalu menghembuskan napasnya pelan, "Hao Li, aku membawakan daging panggang yang kau inginkan. Mengapa kau tidak membuka pintu kamar dan memakannya?"

Suara Hao Li terdengar dari dalam kamar, "Tidak perlu, kalian makan saja tanpaku. Aku tidak ingin."

"Baiklah, tapi bisakah kau membuka pintu untukku. Ada yang ingin aku katakan kepadamu, dan aku pikir kau harus tahu hal ini..."

Hao Li yang ada di dalam kamar langsung menyingkapkan selimut kain yang menutupi seluruh tubuhnya, ia menyahut, "Apa maksud bibi?"

"Buka pintu dan aku akan ceritakan semuanya."

Dengan enggan Hao Li membuka pintu kamarnya dan membiarkan Ming Fei memasuki kamarnya. Ming Fei mengambil posisi duduk di tepi ranjang, sedangkan Hao Li kembali menaiki ranjang, siap mendengarkan perkataan bibinya.

Ming Fei menyimpan daging panggang di meja Hao Li.

"Kau tahu mengapa kakekmu sangat melarang kau berpergian sendirian?"

Menghadapi pertanyaan yag cukup rancu itu membuat Hao Li menggelengkan kepalanya.

"10 tahun silam, kami berdua hidup dengan nyaman di dalam hutan ini, terkadang ayah akan menceritakan kisah asmaranya dengan ibu saat masih muda, terkadang kami juga saling marahan seperti kalian berdua sekarang. Tapi saat itu ada seorang wanita misterius membawa bayi digendongannya, dia hanya menyimpan bayi itu tepat di depan kami dan berkata, 'Jaga dia sampai dia sendiri mampu menjaga dirinya sendiri'. Saat itu baik aku dan ayah terkejut, melihat wanita misterius itu menghilang begitu saja tanpa membawa kembali bayi yang semula digendongnya. Saat itu kami kebingungan dan tidak tahu apa yang harus dilakukan."

Hao Li mendengarkan kata demi kata yang Ming Fei lontarkan. Baginya setiap kisah yang keluar dari mulut bibinya sama halnya seperti sebuah dongeng.

Ming Fei melanjutkan ceritanya, "Saat itu kami tidak ada pilihan lain selain membawa bayi itu ke dalam rumah dan mengurusnya."

Tiba-tiba pertanyaan muncul dibenak Hao Li, "Lalu dimana dia?"

Ming Fei tidak langsung menjawab, garis bibirnya membentuk senyuman, dia kemudian berkata, "Dia sekarang ada dihadapanku."

"Eh?"

Hao Li kebingungan, dia tertegun sejenak, tidak lama kemudian dia berkata, "Apakah maksud bibi bayi yang ada dalam gendongan wanita misterius itu adalah aku?"

Ming Fei membenarkan perkataan Hao Li dengan menganggukkan kepalanya ringan, "Benar. Kau adalah bayi itu. Nama Hao Li sendiri disematka di kalung yang kau pakai. Itu juga alasan mengapa nama marga kita berbeda.

Hao Li terdiam. Sebelumnya dia udah megira kalau dia bukanlah keluarga kandung kakek dan bibinya, dia tidak sebodoh itu untuk percaya pada perkataan Ming Fei dan kakeknya sebelumnya bahwa dia adalah keluarganya. Nama marga yang berbeda adalah salah satu contohnya, kakeknya sendiri  berusaha untuk mengarang cerita demi membuatnya percaya. Walau sebenarnya semua karangan cerita dia anggap angin lalu.

Ia menundukkan kepalanya, asal-usulnya membuatnya dilanda keheranan. Siapa orang tuanya? Siapa ibunya? Siapa ayahnya? Apakah wanita misteriusitu adalah ibunya?

Salah satu alasan mengapa dia ingin berpergian sendirian yaitu dia ingin mencari jati dirinya sendiri. Dia juga berhak tahu siapa orang tuanya dan keluarganya.

"Jika aku memang bukan keluarga kalian, mengapa kalian mengurus dan merawatku selama ini? Bukankah aku haya orang asing dikehidupan kalia berdua?" tanyanya ingin tahu.

Ming Fei menggelengkan kepalanya seraya menghela napasnya pelan, "Tidak seperti itu. Kau adalah bagian dari keluarga kami, aku dan ayah tidak memiliki keluarga lain, maka dari itu kami memilih untuk tinggal di dalam hutan daripada di pedesaaan ataupun diperkotaan. Kami pikir saat itu mengambilmu sebagai bagian dari keluarga kami tidak ada salahnya, lagian kami memang kesepian hidup di dalam hutan berduaan."

Hao Li kembali bertanya, "Apa alasan bibi menceritakan semua ini?"

"Tidak ada alasan khusus, aku hanya merasa kalau kau memang sudah seharusnya tahu. Siapa tahu kau ingin mencari kedua orang tuamu dan menemukan jari dirimu. Kau akan menjadi orang yang hebat nanti, tidak mustahil bagimu untuk berpergian mengelilingi dunia nantinya."

Mendengar perkataan bibinya membuat Hao Li tersenyum senang. Dia mendekatkan tubuhnhya kepada Ming Fei dan memeluk tangannya dari samping seraya berkata, "Bibi, aku janji tidak akan mengecewakan bibi nanti dan akan menjadi orang hebat seperti yang bibi inginkan. Aku juga aka memenuhi keinginan kakek..."

Ming Fei mengelus pucuk kepala Hao Li penuh kasih, "Baiklah, aku dan kakekmu akan menunggu saat itu tiba."