WebNovelJehani7.37%

Bekerja

Kring!

Kring!

Kring!

Jeha bergegas memasukkan bukunya. Ia sangat bersemangat untuk hari pertama kerja. Tuhan memang maha mengetahui, ia berdoa agar mendapat uang untuk kakek dan sekarang ia diberi pekerjaan karena berbuat baik. Terima kasih juga untuk kak Mira yang selama ini mengajarkan berperilaku baik pada Jeha.

"Kalian siap, kan?"

Edo sudah berdiri di depan meja Novi dan Jeha. Jeha menghentikan gerakan tangannya. Gawat, jadwal untuk wawancara. Bahu Jeha merosot, ia melupakan hal itu.

"Siap buat apa?" Novi berdiri. Ia bersedekap ke arah Edo. Matanya menajam ke arah lelaki di depannya. Edo dengan salah tingkahnya semakin membuat Novi yakin ada yang tidak beres.

"Em, siap buat kerja kelompoklah, Beb."

"Oh ya? Bukannya janji sama pemilik toko besuk minggu?"

Edo menggaruk kepala, ia sebenarnya berbohong hanya karena ingin mengajak Novi, lebih tepatnya ia rindu memboncengkan Novi.

"Lu modus banget jadi cowok!" Novi mencubit lengan Edo.

"Pasti lu pingin modus ngerem mendadak kayak kemarin, kan? Lu pikir gue enggak tahu waktu lu sama itu Bapak ngomong."

Karena sudah ngambek dulu, Novi menunggu Edo dan Ry yang membuat janji wawancara di luar. Waktu itu ia menunggu di dekat motor bersama Jeha. Merasa dua lelaki itu terlalu lama, Novi mendatangi mereka ternyata mereka sudah pamit ingin pergi, dan saat itu Novi mendengar jika wawancara akan dilakukan hari minggu.

"Dasar cowok ABC, ALLIGATOR, BUAYA, CROCODILE!" Novi mengatakan dengan penekanan di setiap kata.

Edo mengelus telinga, beberapa siswa yang masih di kelas tertawa. Kapan lagi buaya sekolah bisa dilumpuhkan.

"Ayo, Je!"

Jeha menahan tawa melihat wajah memelas Edo. Siapa suruh berbohong pada Novi, sudah tahu Novi galak masih saja cari gara-gara.

"Duluan ya, Edo." Jeha terkekeh. Edo mendumel melihat Jeha.

Novi terus menarik tangan Jeha.

Ry yang sejak tadi menonton kegaduhan yang disebabkan Edo mendekati temannya itu.

"Lu mau dapet in Novi dengan cara itu? Novi bukan cewek lain yang biasa lu deket in." Kata Ry seraya menepuk pundak Edo. Edo memajukan bibirnya.

Ry mendekatkan mulutnya ke telinga Edo. Lalu berkata.

"Novi beda, karena dia GALAK!" Ry sengaja menekankan kata galak. Edo sampai mengusap telinganya karena panas.

"Anjir lu, Ry. Awas lu! Gue bales lu!"

Ry melambaikan tangan, ia sudah berjalan keluar dengan santai tanpa mempedulikan Edo yang mencak-mencak, kayak cewek saja orang itu. Sukanya ngamuk.

***

"Je, gue anter ya?"

"Terima kasih, Nov. Tapi aku masih pulang sendiri saja."

"Ish, lu gak asyik, Je. Masak gue kagak pernah ke rumah lu. Gak boleh ya gue ke rumah lu."

"Eh, bukan begitu tapi hari ini gue ada acara jadi enggak langsung pulang." Jeha memang selalu menolak tawaran Novi, ia sedikit trauma mengingat tentang Reni yang sama baiknya seperti Novi. Tapi Jeha yakin Novi tidak seperti itu hanya ia trauma itu saja, pun rumahnya dengan Novi tidak satu arah.

"Emang lu mau mampir ke mana, Je?"

Duh, alasan apa ya. Jeha tak mau berbohong tapi kalau Novi tahu ia bekerja di pasar, Jeha takut Novi malah mengasihaninya.

"Novi, maaf in gue ya."

Edo datang, ia meraih tangan Novi dan menggenggamnya.

"Eh, apa lu pegang-pegang. Lepas!"

"Maaf, Beb. Emang aku suka modus tapi kalau sama kamu aku tulus."

"Hilih, jadi maksud lu tulus bohong in gue?"

"Je, kalau begitu gue pulang dulu ya. Di sini lama-lama bisa cepet tua gue. Hati-hati di jalan, Je!"

"Kamu juga, hati-hati, Nov."

Jeha membalas lambaian tangan Novi. Akhirnya Edo hanya bisa merelakan Novi yang pergi dari hadapannya.

"Nasib-nasib, Nov, lu kok kagak bisa rasakan ketulusan gue. Belum pernah loh, gue repot-repot ambil motor orang lain dari sekolah terus anter ke rumahnya."

Mendengar itu, Jeha ingin tertawa ngakak. Ia biasa melihat Edo menggoda siswi di koridor dan sekarang seorang Edo setiap harinya dimarahi oleh Novi.

"Sabar, Do. Lu suka modus begini mana Novi mau." Ry datang, ia sudah menunggangi motornya.

"Awas lu jones!"

Edo berbalik. Ia juga mengambil motornya yang ada di tempat parkir. Jadilah tersisa Jeha dan Ry.

"Lu pulang naik apa?"

"Eh? Anu, pulang naik bus."

"Ba-"

"Duluan, Ry."

Jeha berlari. Maaf karena sudah tidak sopan memotong kalimat Ry, tapi ia bingung menolaknya.

Ry melihat Jeha yang berjalan melewati gerbang sekolah dan berbelok.

"Lah, kok ke sana? Bukannya belok ke kiri?"

Ry melajukan motor. Ia bingung karena Jeha berjalan ke arah pasar.

"Mau beli sesuatu kali."

Cuek, ia memilih pergi dari sana. Kasur dan PS baru sudah siap menyambut Ry. Beberapa waktu lalu PS barunya datang. Ia titip untuk dibelikan game itu pada saudaranya yang sedang di luar kota.

***

Jeha mengusap keringat yang mengalir dari dahi. Ini sudah karung kedua dari tepung terigu yang telah Jeha timbang. Di depannya ada timbangan dan beberapa alat untuk Membantunya menyelesaikan pekerjaan.

Baju seragam telah Jeh ganti dengan kaos olahraga, untuk tadi ia olahraga jadi ia dapat mengganti seragam. Kalau tidak, maka alamat baju seragamnya terkena tepung.

"Je, kalau capek istirahat dulu."

"Baik, Bu. Sebentar ini tinggal sedikit."

Ternyata di sore hari seperti ini, toko sembako ini justru ramai pembeli. Jeha beberapa kali membantu bu Sari melayani pembeli.

Selesai dengan tepung terigu. Masih ada kacang-kacangan yang perlu Jeha timbangi.

Dalam hati Jeha memberi semangat. Jika tidak seperti ini, Jeha tak akan mendapat uang dan mengenaskannya ia tak bis membayar ganti rugi.

***

Toko sembako bu Sari telah tutup. Jeha menyerahkan kunci toko setelah ia selesai menarik troli dan menggemboknya.

"Jeha, ini bayaran kamu."

Jeha menerima lembaran uang dua puluh dan sepulu ribu itu.

"Alhamdulillah, terima kasih, Bu."

"Sama-sama."

"Rumah kamu di daerah mana?"

Bu Sari bertanya.

"Di belakang mall, Bu."

"Oh iya, saudara Ibu ada yang rumahnya daerah situ. Kenapa kemarin dompet Ibu jatuh di halte mall ya karena Ibu baru kerumah dia."

Jeha mengangguk. Ia faham sekarang kenapa bu Sari yang rumahnya daerah stadion bisa naik bus dari halte mall.

"Ayo, saya antar kalau begitu. Nanti sekalian saya ke rumah saudara saya."

"Mari, Bu."

"Tapi ya itu, naik bus. Saya mah gak bisa naik motor, mobil apa lagi. Mobil dua di rumah nganggur."

Jeha terkekeh. Mobil saja sampai lebih dari satu. Sepertinya ibu ini memang suka menyibukkan diri. Kalau dari cerita yang ia katakan, suaminya bekerja di rumah sakit. Bukan dokter atau perawat tapi yang pasti pegawai rumah sakit. Jeha lupa apa nama jabatannya tadi.

Yang pasti bukan orang sembarangan.

Walau tiga pulu ribu, lama kelamaan akan menjadi banyak. Semoga Jeha bisa secepatnya dapat uang untuk mengganti para pedagang.