Secret Admirer

seperti menyeret bongkahan batu yang terikat pada kakinya, dengan malas memasuki kamar, "Kenapa hari ini terasa begitu menyebalkan."

Karin membanting tas yang ia pikul di di atas bahunya, "Aarrgghh, kenapa orang itu sangat menyebalkan."

Seperti benang kusut, itu lah isi otak Karin sekarang. Membuka resleting tas dan mengambil sebuah buku pelajaran.

"Mungkin aku akan tenang dengan ini." Ucapnya seraya mengelus lembut dadanya, berusaha menenangkan diri.

jari jemarinya yang indah mulai membuka lembar demi lembar buku pelajaran itu, kumpulan pena tertata rapi di atas meja belajar Karin, "uugghh, aku tidak fokus."

Karin menegak kan tubuhnya, berdiri menatap setiap sudut kamarnya, "Aku akan melupakannya."

Kakinya melangkah, Mulutnya mengucapkan angka secara berurutan, jari jemarinya meraba setiap dinding yang ia lewati

"36, 37, 38."

Hitungannya terhenti, begitu juga dengan langkah kakinya yang mengikuti irama angka secara berurutan.

"Ada apa, ma?" Tanya Karin tanpa mengalihkan pandangan sedikitpun kepada sosok wanita yang mulai menua itu.

Melihat mamanya berdiri kokoh di penghujung anak tangga, membuat Karin menyeret kakinya menuruni anak tangga, yang sebenarnya kakinya pun sudah sangat lelah hanya untuk berjalan keluar dari kamar.

"Ada apa, ma?" Tanya Karin manja membuat mamanya menatap Karin penuh dengan perasaan heran.

"Ada apa?" Linda membalas pertanyaan anaknya.

Melihat tingkah aneh anaknya, membuatnya paham, Karin menginginkan sesuatu.

Karin membalas tatapan mamanya itu, seraya meraih jari jemari mamanya.

"Boleh aku jalan?" tanya Karin memelas, membuat tingkah manja di hadapan mamanya.

"Jelaskan dulu, siapa yang mengirim mu parsel sebanyak itu?"

Manik mata Karin menyipit, memandang heran tumpukan parsel yang berada di atas kursi ruang tamu.

"oouuhh ayo lah ma, aku tidak tau." jawabnya kembali memelas di hadapan mamanya.

"Terus, apakah parsel ini salah alamat?"

Mamanya berlalu menghampiri tumpukan parsel itu, memeriksa setiap sudut parsel yang sudah sampai di rumahnya, "Alamatnya memang menuju rumah kita, Karin."

"Aku sungguh tidak tau, mama ku sayang."

Linda memutarkan manik matanya, heran dengan tingkah anaknya sendiri, yang bahkan tak tau berasal dari manakah parsel sebanyak itu.

"Bereskan semuanya, bawa ke kamarmu, atau kamu tak boleh keluar, Karin." tegas Linda kepada Karin, membuat Karin bergerak malas membawa satu persatu parsel itu ke kamarnya.

"Kenapa kau datang kemari?! Siapa yang sudah mengirim mu ke mari?!" gerutu Karin yang terus menatap parsel di tangannya.

Kini kasur empuknya menjadi singgah sana para parsel yang entah dari mana asalnya. Karin menatap sinis tumpukan parsel itu, "Andai kalian bisa berjalan sendiri, aku sangat senang dengan kedatangan kalian, tapi bahkan kalian tak bisa berjalan walau hanya selangkah."

Tangannya meraih sebuah parsel yang penuh berisikan coklat, mengamati setiap sudut parsel tersebut, "Bahkan tak ada kartu ucapan."

Sebuah tangan meraba halus punggung Karin, Memberi rasa geli di sepanjang bahunya.

"Sepertinya adik ku memiliki penggemar berat."

Karin menatap sosok yang sudah mengucapkan kalimat demikian, tepat di samping telinganya, "Apakah kakak iri?"

Kelopak mata April menyipit, mendengar reaksi adiknya yang sedikitpun tak terpengaruh oleh perkataannya yang menurutnya itu akan membuat adiknya malu, atau kesal, ya semacamnya.

"Tidak, aku sudah cukup dengan para penggemarku yang selalu memberikan ku kejutan."

"Oke, penggemar seperti apa itu?"

Karin melemparkan pandangannya ke arah kakaknya yang tengah berdiri tepat di sampingnya.

"Sejak kapan kakak mempunyai penggemar? bahkan tampil di hadapan orang banyak pun sudah mampu membuat darah kakak membeku."

April mengacak rambut Karin tak beraturan, membuat rambut Karin yang semula terurai begitu rapi, kini menjadi sangat berantakan.

"Mari kita bongkar semuanya." ucap April semangat seraya melepas bingkisan parsel.

"Ya kak, lakukan sesuka hatimu."

April memulai dengan parsel yang paling kecil, dan tak butuh waktu lama, hanya tersisa sebuah parsel berisikan tumpukan coklat yang begitu banyak, "Ayolah, membongkar bungkusan parsel itu sangat menyenangkan."

April mengulurkan bingkisan itu di hadapan Karin yang sibuk dengan buku pelajaran.

"Berhenti menjadi kutu buku, hanya untuk beberapa menit saja." ucap April seraya menutup buku pelajaran Karin.

"huuuhh, tak ada yang istimewa." gerutu Karin kesal, tetap meraih parsel tersebut dan membuka bungkusannya dengan perlahan.

"Bagaimana?"

"Sudah ku katakan, tak ada yang istimewa." ucap Karin meletakkan parsel itu menjauh dari pandangannya.

"Mari ku tunjukkan pada mu, yang menurutmu tak ada yang istimewa." tukas kakaknya meraih parsel terakhir itu dan melepas keseluruhannya.

Karin yang menatap parsel itu tanpa berkedip, melihat seujung kertas yang terselipkan di antara tumpukan batang coklat.

"Kak stop!" ucap Karin, menghentikan gerakan tangan April, dan menarik ujung kertas tersebut.

"Izinkan aku, untuk membuat hari-hari mu menjadi manis, seperti cokelat-cokelat ini yang akan memberi rasa manis pada lidahmu.

Secret Admirer."

***

Langkah Karin melambat, menunggu Amel yang tertinggal jauh di belakangnya.

"Ada yang aneh dengan mu pagi ini." Ucap Amel mengamati wajah Karin.

"Tak ada Amel, aku hanya lelah."

Karin mempercepat langkahnya membuat Amel kelelahan mengejar Karin. Manik mata Karin membulat ketika melihat mejanya penuh dengan permen berbagai macam.

"Waw Karin, kamu mengejutkan ku."

Karin menatap Amel heran, "kau pikir aku tidak terkejut?"

Sebuah kartu ucapan terselip di bawah laci meja Karin, dengan tulisan tangan yang sangat persis seperti tulisan tangan yang berada di kartu ucapan parsel kemaren.

"Kau tau? senyum mu mengalahkan manisnya para permen ini.

Secret Admirer."

"Kamu boleh memakan semuanya, Amel." ucap Karin mengumpulkan permen-permen itu kemudian memberikannya kepada Amel.

Tangannya menarik mundur kursi, duduk secara perlahan dan menenangkan diri.

"teror macam apa ini?" gumam Karin menggosok wajahnya kasar dengan kedua telapak tangannya.

Karin mengeluarkan buku pelajaran sesuai dengan jadwal pagi ini, menggenggam pena sekuat mungkin. Mengingat jam pelajaran akan segera di mulai, Karin harus bisa tenang.

"Aku dengar murid baru itu masuk hari ini." Bisik Amel memberikan informasi kepada Karin.

Karin hanya memutarkan manik matanya, mengabaikan informasi yang sudah Amel berikan, "itu tidak penting Amel."

Sosok guru yang akan mengajar materi mereka pagi itu melangkah masuk, di ikuti dengan seorang murid asing yang masuk bersamaan dengan guru.

"Seperti yang kalian lihat, pasti kalian sudah paham." Tutur guru seraya melemparkan pandangan ke seluruh murid di dalam kelas.

"Sut, Rin lihatlah." bisik Amel kembali menganggu Karin yang tengah membuka buku pelajaran.

Manik mata Karin membulat sempurna, melihat sosok murid baru yang selama ini di bicarakan oleh Amel. Dengan segera Karin meraih buku yang semula di atas mejanya dan menutupi wajahnya, "Sial sial sial."

Murid baru itu pun berjalan melewati Karin menuju tempat duduknya yang berada tepat di belakang Karin, "Sudah ku katakan, sampai bertemu kembali."