Lena membuka tasnya, melihat apa ada barang yang ia lupakan atau tidak. Pasalnya, saat tadi dia berada di perpustakaan, Lena lupa mengeluarkan barang apa saja. Ia khawatir jika ada barang penting yang tertinggal di sana. Tapi, ia rasa tidak ada yang tertinggal. Semoga saja.
Dia keluar kampus untuk mencari taksi. Namun, belum sampai gerbang kampus, dirinya melihat Doni yang berjalan begitu saja tanpa menyapanya sedikit pun. Lena yang kebingungan pun langsung berlari dan menarik ujung kemeja Doni, hingga akhirnya temannya itu mau berhenti. Lena berdiri dihadapan laki-laki itu, sayangnya tatapan Doni seolah menghindarinya.
"Don," panggilnya dengan tangan kanan yang melambai didepan wajah Doni.
Kedua telapak tangan Doni ia masukkan ke dalam saku celananya, sorot tatapnya masih menghindar dari temannya itu. Bahkan, Doni itu terlihat bersikap seperti tidak berminat untuk berbicara pada Lena. Rasa kesalnya masih ada sejak kemarin. Panggilan Lena pun hanya ia jawab sekenanya dengan dehaman kecil.
Lena memperhatikan wajah Doni yang sama sekali tidak menatapnya. Dirinya juga menyenggol perut temannya itu agar mau berbicara dengan benar. "Kau masih kesal denganku? Kenapa lama sekali?" tanya Lena.
Tak ada jawaban apapun dari Doni, dia hanya melihat sekilas wajah Lena yang beberapa senti berada dibawahnya.
"Ya sudah, jika tidak ingin bicara padaku. Aku pergi saja," kata Lena yang akhirnya meninggalkan Doni sendirian.
Gadis itu berjalan dan memasuki taksi yang tepat sekali melewati jalan itu. Sedangkan Doni, hanya bisa memandang Lena pergi setelah taksi. Dia menaikkan bahunya singkat dan berjalan menuju tempat ia memarkir motornya.
-
-
-
Lena berjalan memasuki kafe, baru saja membuka pintu kaca, dia mendengar suara dari Dita—penjaga kasir kafe—yang menyuruhnya untuk bergerak cepat menuju ruang ganti. Sontak saja Lena juga terkejut dan mengikuti apa yang diperintahkan oleh Dita itu. Dia diberikan seragam baru yang sama dengan pegawai lainnya, Lena juga menggulung rambutnya sebagai syarat wajib bagi karyawati yang memiliki rambut panjang. Semua barangnya ia masukkan ke dalam loker milik mantan karyawan kafe ini.
Selepas lima menit, Lena akhirnya keluar dari ruang ganti itu. Hanya saja, karena ia berjalan sembari membenarkan pakaiannya, ia tidak sengaja menabrak seseorang. Dengan cepat ia langsung meminta maaf pada orang itu.
"Maaf, saya tidak sengaja," ucapnya, namun ia langsung terkejut saat melihat Jay yang ternyata ia tabrak. "Aku minta maaf," ucapnya sekali lagi, dia menggigit bibir bawahnya karena merasa khawatir akan dimarahi oleh Jay.
Laki-laki itu menatap Lena beberapa detik, dia melihat jika Lena sudah berpakaian seragam kafenya. Dengan wajah datarnya, ia menyuruh Lena untuk segera bekerja, lantas dia pergi meninggalkan gadis itu lebih dulu. Berjalan ke arah luar kafe dengan kedua tangan yang dimasukkan ke dalam saku celananya. Sedangkan Lena, dia menaikkan bahunya tak acuh, melanjutkan langkahnya menuju dapur.
Baru memasuki lantai dapur, Lena sudah diperintahkan untuk mencuci banyak piring di tempat pencucian piring. Baiklah, dia segera membuka keran air dan menyentuh semua piring kotor itu. Lena sempat menghela nafasnya, lantaran ia kira akan memegang bagian kasir, seperti saat dia berada di minimarket tantenya. Namun, ia meyakinkan diri untuk menerima apa yang diberikan padanya.
Memegang piring pertama, ia mendengar banyaknya pegawai yang bersuara keras untuk mengontrol jalannya acara memasak di dapur itu. Jujur saja, ini terdengar sedikit menakutkan. Karena biasanya ia bekerja hanya mendengar suara bising dari pendingin ruangan saja. Lena jadi bertanya pada dirinya sendiri, apakah Jay mengetahui jika dibalik dapur akan sebising ini?
"Jangan melamun! Kita harus bergerak cepat!" bentak salah satu pegawai yang mengejutkan Lena.
Demi apapun, Lena cukup terkejut, hampir saja piring yang ia bawa terjatuh. Pun akhirnya Lena menambah kecepatan tangannya, tentu disertai dengan hati-hati juga. Pantas saja, bayaran di kafe ini terbilang banyak, kinerjanya pun juga setara dengan bayarannya.
Berjalan selama sepuluh menit, piring dan peralatan makanan lainnya yang kotor sudah hampir selesai, namun kembali penuh saat seseorang memberikan banyak piring kotor lagi. Lena tidak berani mengeluh terang-terangan, hanya saja piring kotor kali ini lebih banyak dari sebelumnya yang ia cuci. Hanya helaan nafas yang keluar dari birainya, tangannya kembali bergerak mengerjakan tugasnya.
Memang bukan waktu yang tepat jika Lena harus mengeluh, karena bagaimanapun juga pekerjaan ini sudah menjadi keputusannya agar bisa melunasi hutang-hutangnya pada Jay dan Steve.
Lena sempat mencari keberadaan jam dinding di dapur itu, namun saat ia berhasil menemukannya, jaraknya sangat jauh dari pandangannya. Sama sekali tidak bisa ia lihat waktu saat ini, sedangkan jam tangannya berada di tasnya. Dan satu lagi, saat Lena datang ke sini tadi, masih tidak terlalu banyak pengunjung yang datang, tapi kenapa semua orang sibuk membuat sesuatu dengan cepat?
Dirinya mencoba melihat ke sekitarnya, ada banyak piring dan jenis makanan yang sama diatasnya. Lena rasa ada yang sudah melakukan reservasi pada kafe ini untuk sebuah acara. Ingin sekali Lena bertanya, namun semua orang terlihat galak dengan pekerjaan mereka, alhasil membuat Lena menelan pertanyaannya sendiri. Nanti jika sudah waktunya pasti ia juga akan mengetahuinya.
Di dalam ruangan ini hanya berisi suara bising yang ditimbulkan dari semua peralatan dapur. Mendengarnya membuat jantung Lena berdebar dua kali lipat. Dihari pertamanya bekerja di tempat baru sudah seperti ini suasananya. Lagi-lagi Lena hanya bisa menghela nafasnya, tidak banyak yang bisa ia lakukan di dapur ini selain menyelesaikan pekerjaan yang menumpuk ini.
"Tinggal lima belas menat lagi tamu akan datang, percepat!" seru kepala dapur.
Semakin menjadilah semua orang menambah kecepetannya, dan Lena juga masih belum bisa bernafas lega saat satu per satu peralatan kotor mulai menumpuk di sisi kanannya, yang berarti tugasnya untuk mencuci masih panjang. Rasa pegal pun semakin Lena rasakan, keringat juga sudah keluar lebih banyak hingga mengalir ke lehernya.
Dan saat lima belas menit itu berakhir, pekerjaan Lena juga sudah mulai lebih ringan. Beberapa orang juga akhirnya ada yang membantu Lena untuk membawa piring bersih untuk dikeringkan. Tiba pada panci terakhir yang akan ia cuci, terlihat sangat kotor dan masih banyak sisa kuah kari yang menempel didinding panci ini. Lena tersenyum ketika mencium aroma kari, salah satu makanan kesukaan mendiang ibunya.
"Lena," panggil seseorang.
Gadis itu langsung menoleh ke belakang, melihat Dita yang sedang berdiri menatap Lena dengan alis yang tertekuk. Kedua bola mata Dita sempat terarah pada benda yang masih dipegang Lena.
"Kenapa kau senyum-senyum? Pekerjaanmu belum selesai. Lihatlah, bagian sana masih perlu dibersihkan," kata Dita sembari menunjuk pada tempat yang masih berantakan menggunakan dagunya.
Mendengarnya membuat Lena melunturkan senyumannya. Lantas dirinya hanya mengangguk sebelum ditinggal pergi oleh Dita. Dia kira pekerjaannya sudah selesai dengan panci ini sebagai penutupnya, ternyata masih ada tugas berat lagi untuk membersihkan meja dapur yang kotor.
"Kau akan terbiasa setelahnya, Lena," ucapnya pada diri sendiri.