Hubungan Yang Rumit

Devian mencium leher jenjang Max dengan lembut tatkala kekasihnya itu sedang membuatkan kue kesukaannya. Dia selalu suka melihat Maxynya memakai pakaian pink dengan pita ungu. Ini adalah baju lucu yang dibelikan Devian ketika mereka merayakan seratus hari pacaran mereka.

"Berhentilah menggangguku, Dev. Kau bisa membuatku membakar seluruh dapur," ucap Max yang merasa risih dengan gangguan kecil Devian.

"Kenapa? Kita selalu sering membakar malam-malam bukan?" bisik Devian di telinga Dev. Pria itu bahkan dengan sengaja menghembuskan nafasnya di telinga Max sampai-sampai laki-laki jangkung mungil khas Asia itu bergidik geli.

"Berhenti menggodaku! Tidakkah kau lihat aku sedang memasak?" ucap Max yang mulai kesal.

Devian menjauh. Bersandar di dinding dapur. Namun matanya tak mau lepas dari kekasihnya. Seolah sedetik saja dia lengah, Max akan pergi atau di bawa oleh penculik untuk dijual keluar negeri.

"Berapa lama lagi aku harus menunggu, Sayang?"

"Tunggu lima belas menit sampai kuenya mengembang. Aku sudah mengatur suhu oven paling panas ...."

"Maksudku berapa lama lagi aku harus menunggu untuk menciummu." potong Dev cepat.

Max melirik ke arah Devian dengan tatapan —— awas saja kalau mengganguku lagi. Devian mengerti arti tatapan kekasihnya yang penuh ancaman. Pria itu mengangkat tangan tanda menyerah.

Tiba-tiba ponsel Devian berbunyi. Max, dengan insting kekasih posesiv segera merebut lebih dulu ponsel milik Devian dan melihat siapa yang memanggil.

"Aku keluar dulu," pamit Devian. Max mengangguk.

Yang menelpon tadi rupanya adalah ibu Devian. Bukan berarti Max membencinya. Dari raut wajahnya yang berubah seketika tadi kentara sekali Max menyembunyikan sebuah rasa sedih.

Ya, ibu Devian tak tahu kalau anaknya seorang gay. Max pernah berkunjung dan dikenalkan sebagai sahabat Devian. Matanya melihat kalau ibunya Devian adalah perempuan yang baik. Max tak sampai hati menyakitinya. Bahkan, ibunya Devian terang-terangan bercerita pada Max kalau dia ingin punya menantu yang cantik dan memakai pakaian tertutup. Astaga! Max bahkan jauh dari kata cantik. Dia tampan.

Devian kembali. Raut wajahnya sama seperti sepuluh kali sebelumnya setiap dia mengangkat telepon dari ibunya.

"Aku harus bagaimana lagi, Sayang?" ucap Devian. Pria itu mengambil sebotol vodka dan menengguknya dari botolnya langsung.

"Tolong jangan sakiti ibumu, Dev," pinta Max tulus.

"Dengan cara menyakitimu? Itukah yang kau mau?" Tanya Devian dengan nafas tersenggal.

Max duduk di samping kekasihnya. Mencoba menenangkan pria yang sudah merebut separuh hatinya. Max memeluk lengan Devian erat. Devian menggenggam tangan Max. Bahkan tanpa perlu di jelaskan, kita dapat melihat kalau mereka berdua adalah pasangan penuh cinta yang saling mencintai dan takut kehilangan satu sama lain.

"Seandainya ada cara lain, sungguh aku akan memilih cara itu," Max mendesah lagi.

"Kau mau operasi?" tanya Devian. Astaga, bahkan di situasi menyedihkan seperti ini Devian masih bisa bergurau.

"Dasar bodoh! Aku sudah berjanji pada mendiang ibuku agar tidak memaksakan pemberian tuhan. Jangan katakan sesuatu yang tidak aku sukai, Dev," Max memperingatkan kekasihnya.

"Aku mengatakan yang sebenarnya."

"Diamlah! Simpan omong kosongmu!" bentak Max.

"Menikah sajalah dengan perempuan. Tapi tolong, jangan berhenti mencintaiku," ucap Max. Pria itu beranjak dari tempatnya. Berpura-pura memeriksa kue dalam oven. Padahal kenyataannya Max malah sibuk menghapus air matanya.

Devian menghela nafas, wajahnya kuyu dan bingung. "Bagaimana aku bisa menikahi perempuan sementara kau tahu, membayangkan menyentuh perempuan saja aku jijik."

"Tidak ada yang bisa kita lakukan selain ini, Dev. Patuhi ibumu. Jangan sampai hubungan kita ketahuan," ucap Max. Laki-laki itu masih sibuk berkutat dengan peralatan dapurnya.

"Jadi aku akan menikah dan selingkuh terus denganmu? Hei, aku tidak bisa menyakiti istriku nanti!" seru Devian.

Max melemparkan pisau asal. Lalu berpaling ke arah Devian dengan ekspresi seperti induk singa yang terluka. "Kau masih normal, Dev. Kau masih tidak bisa menyakiti istrimu yang perempuan itu nanti. Pergilah. Sepertinya kita tidak cocok." usir Max.

Devian segera bangkit. Merangkul kekasihnya dengan erat. Menangis. Hei, bahkan untuk seukuran laki-laki macho seperti Devian, dia masih bisa menangis.

"Jangan katakan seperti itu, Sayang. Aku mencintaimu. Tolong, jangan usir aku. Aku masih ingin di sini bersamamu," pinta Devian terisak-isak.

Max membiarkan tangan Devian merengkuhnya erat. Membiarkan tangan kokoh itu terus berada dipinggangnya. Ini hubungan yang tidak seharusnya. Max tahu itu. Tapi dia dan Devian sama-sama tidak bisa lari dari rasa cinta saat mata mereka saling menatap satu sama lain.

Suasana lengang. Hanya bunyi kulkas sesekali menderu. Mereka diam dan saling bertempur dengan kenyataan dalam hati masing-masing.

Ting! Suara oven membuyarkan pelukan mereka. Max menghapus air mata di wajahnya. Memasang wajah seolah tidak terjadi apa-apa.

Max mengeluarkan kue yang tadi di masukkannya. Lalu meletakkannya di atas meja dapur. Dia kemudian mengambil selai, dan mengolesinya di atas kue kesukaan Devian. Devian suka rasa bluberry. Max hapal semua makanan favorit Devian. Max juga ingat kalau Devian sangat membenci telur dan ikan. Hubungan mereka dua tahun ini terbilang lancar.

"Aku akan menyuapimu," ucap Max.

Devian tersenyum tipis. Setelah perbincangan mereka yang berat dan menyakitkan tadi, nafsu makannya mendadak hilang.

"Buka mulutmu, Dev!" paksa Max.

Devian membuka mulutnya. Dia menikmati kue buatan Max dalam mulutnya. Rasanya lembut. Namun kenapa hari ini terasa hambar?

"Kau suka?" tanya Max. Devian mengangguk.

Max segera membuang kue buatannya dalam sampah.

"Kau tidak suka, Dev. Wajahmu tidak menikmatinya," ucap Max dengan marah.

"Aku bilang aku suka," Devian mengelak.

"Wajahmu yang bicara kebenarannya. Bukan mulutmu. Aku tahu itu," ucap Max lirih.

Devian terdiam. Ya, dia memang tidak menyukai apapun hari ini.

"Pulanglah, Dev." Pinta Max lirih.

"Kau mengusirku, Sayang?"

"Tidak. Aku hanya ingin kau memikirkan lagi tentang kita. Aku ... hanya tidak ingin kehilanganmu. Itu saja. Perkara kau menikahi perempuan, tenang saja. Aku tak apa. Asal kita selalu bersama. Kuharap kau mau melakukan sesuatu agar hubungan kita tetap terjaga. Tidak ada orang yang akan menerimamu dan menerimaku di sini kalau mereka tahu kita adalah gay." Max menjelaskan dengan suara yang lembut pada Devian.

Devian mengangguk. Dia mengerti sekarang. Untuk mempertahankan dan mendapatkan sesuatu dia harus berkorban. Devian mengangguk pertanda dia mengerti ucapan kekasihnya. Jam dinding menjadi saksi betapa dua insan sedang dilanda rasa yang berbeda setiap detiknya.

"Aku pulang dulu," pamit Devian. Max mengangguk. "Jangan lupakan kalau aku masih sangat mencintaimu." sambungnya lagi. Lalu mengecup kening kekasihnya lembut.

Max menantap punggung Devian yang keluar dari dapur rumahnya. Setelahnya, suara pintu apartmen terdengar di buka. Berarti Devian sudah pergi. Max luruh ke lantai. Menangis terisak-isak.

"Tuhan ... kenapa aku harus seperti ini?" tanyanya sambil menutup wajah. Max menangis.