"Aku tidak ingin menikah. Sampai kapanpun!" seru Mega pada ayahnya.
"Tidakkah kau lihat, aku sudah tua, Nak. Siapa nanti yang akan menjagamu?" tanya Pak Bambang lembut. Laki-laki selalu bersikap lemah lembut pada putri tunggalnya. Namun entah kenapa tabiat Mega berubah sejak ibunya meninggal.
"Aku tidak perlu di jaga siapapun. Ayah ingat? Waktu ayah pergi meninggalkan aku dan ibu berdua aku kuat kok, menghidupi diriku sendiri sambil merawat ibu yang sakit," jawab Mega. Memandang sinis wajah ayahnya.
Bambang menghela nafas berat. Lagi-lagi benar. Putrinya marah karena sebab masa lalu. Kala itu, dia terbawa emosi luar biasa sampai nekat meninggalkan putrinya bersama istrinya yang sedang sakit.
"Ayah minta maaf atas masa lalu yang menyakiti hatimu. Tapi, ayah minta menikahlah," pinta Bambang.
"Tidak!" Mega berseru nyaring.
Kali ini kesabaran Bambang habis. Sebagai laki-laki, dia harus otoriter mengatur putrinya. Laki-laki itu berkata dengan lantang. "Menikah atau kamu ayah coret dari daftar warisan!"
Mega yang tadi melangkah pergi berbalik. Menatap wajah ayahnya tak percaya.
"Ayah kejam!" teriak Mega marah sambil menghancurkan guci hias yang ada di dekatnya. Mega melempar guci itu kelantai dengan marah sampai pecah berkeping-keping. Seolah menggambarkan hatinya yang rusak tak bisa diperbaiki lagi.
Bambang diam dengan tenang. Memperhatikan putrinya yang mengamuk. Lihatlah, setelah perempuan tempramental itu menghancurkan sesuatu sebagai pelampiasan, emosinya pasti mereda.
Mega kelelahan. Bambang tersenyum puas.
"Malam ini, kita pergi ke rumah calon suamimu." ucap Bambang kemudian berlalu begitu saja.
Bukan tanpa alasan laki-laki itu memaksa putrinya menikah. Usianya sudah tiga puluh tahun lebih. Siapa yang akan mau dengannya nanti kalau setiap tahun Mega semakin tua. Tentu saja lingkaran pencarian jodohnya akan mengecil. Bambang juga merasa, waktunya sudah tidak lama lagi.
'Sialan.' bisik Mega dalam hati. Wanita itu tak henti-henti mengutuk sang ayah karena dia sama sekali tidak menginginkan perjodohan ini.
"Lihat saja, siapapun jodohku nanti. Aku akan membuatnya menyesal menikah denganku." Mega berjanji pada dirinya sendiri.
*****
"Ma, kenapa sih harus menikah? Masih banyak hal yang ingin Devian lakukan selain menikah!" Devian tak terima dengan permintaan tak masuk akal mamanya.
"Mama mau cucu!" Aster berseru pada putranya.
Devian mengacak-acak kepala. Andai dia punya kekuatan menghilang, pasti dia akan menghilanh dan kabur dari sini bersama Max.
"Mama kan bisa adopsi di panti asuhan." Devian memberi saran.
Aster menggeleng tegas. "Tidak! Mama mau cucu dari kamu."
Devian menatap mamanya tak percaya. Pria itu heran dengan cara berpikir mamanya. Apa bedanya cucu adopsi dan cucu kandung? Bukannya mereka sama-sama anak kecil dan manusia? Serumit itukah perempuan? Astaga! Devian tak bisa membayangkan bagaimana dia bisa menghadapi sikap aneh istrinya nanti.
Seorang perempuan benar-benar rumit. Iya berarti iya, bisa berarti tidak. Tidak berarti tidak, bisa juga berarti iya. Dan kaum lelaki harus memahaminya. Persetan!
"Dev, umur mama sudah tua. Mungkin hanya beberapa tahun lagi mama bisa melihat dunia," ucap Aster dramatis.
Devian mendesah. Dia selalu kalah jika mamanya mengeluarkan jurus minta dikasihani seperti ini.
"Mama mungkin akan mati. Tapi kamu sebagai anak, adakah yang pernah kamu lakukan pada mama sebagai balas budi? Mama sudah melahirkanmu, menyusuimu, membesarkanmu. Lalu apa balas budimu untuk mama? APA?" Aster mulai mengintimidasi putranya. Jika kalimat lemah lembut tak berfungsi, berarti dia harus memakai kata-kata yang tak bisa dibantah.
"Hah? Devian bisa kasih uang. Mama mau berapa?" tanya Devian percaya diri.
"Uang mama lebih banyak dari kamu. Asal kamu tahu. Mama gak kekurangan uang. Mama minta balas budi sama kamu sekarang. Sesuatu yang tidak bisa dibeli dengan uang. Kalau kamu gak mau, berarti kamu bukan anak mama lagi." ancam Aster.
Devian bergidik. Mamanya selalu berubah dari perempuan lembut menjadi perempuan kejam dalam sepersekian detik jika keinginannya tidak terlaksana.
"Kamu mau nggak balas budi? Kalau tidak mau ya sudah. Berarti kamu bukan lagi anak ..."
"Devian mau, Ma!" potong Devian cepat.
Aster tersenyum penuh kemenangan. Wanita lima puluh tahun itu menjentikkan jari-jarinya yang lentik. Jika kalian para pembaca, membayangkan dia adalah wanita tua keriput maka kalian salah besar. Aster seperti wanita tiga puluh tahun. Dia selalu awet muda.
"Kalau begitu, kamu siap-siap. Nanti malam keluarga calon istrimu akan berkunjung. Bersikaplah yang baik pada mereka atau kamu bukan lagi anak Mama. Tanamkan itu dalam pikiranmu, Devian." Aster memperingatkan putranya.
Devian terdiam. Kalah. Kalah sudah pria itu menentang keinginan mamanya. Hatinya berat. Di zaman yang sudah maju sekarang, malah ada perjodohan. Ini bukan zaman siti nurbaya. Sesuatu dalam dirinya menentang. Tapi kalimat Max selalu terngiang. Dia harus menerima perjodohan ini sebagai alibi menutupi identitas tentang siapa dirinya.
Malam ini? Berarti beberapa jam lagi Devian akan bertemu dengan calon istrinya. Dia bergidik. Bukan berarti Devian membenci perempuan. Hanya aja seksualnya tidak menerima jika dia melakukan itu dengan seorang perempuan. Devian homo.
****
Devian segera pergi lagi menuju apartemen Max untuk mengabarkan semua yang akan terjadi malam ini. Jika kalian berpikir hubungan gay adalah hubungan maskulin seperti antar sesama pria, maka kalian salah. Mereka juga memiliki sisi dramatis dan romantis satu sama lain.
"Barangmu ketinggalan?" tanya Max. Matanya sembab habis menangis.
"Malam ini calon istriku akan datang kerumah. Mama mengancamku jika aku menolak, dia tidak akan lagi menganggapku sebagai anaknya," ucap Devian panik.
Max segera memeluk Devian. Menenangkannya. Sungguh lucu. Seorang pria kekar, bos perusahaan besar, malah dipeluk laki-laki kurus, kecil dengan daster pink lucu.
"Tenanglah, Dev. Dunia tidak akan kiamat." Max mencoba menenangkan Devian.
"Tapi ... apa kau baik-baik saja, Sayang?" tanya Devian. Tangannya menangkup wajah Max yang menunduk sekarang.
"Selama kau baik-baik saja. Akupun begitu. Kita harus berkorban untuk hubungan kita bukan? Lagipula kau tidak akan pernah mencintai istrimu. Aku tahu, kau hanya mencintaiku." Max membesarkan hatinya sendiri.
Devian terharu. Kekasihnya memang seseorang berhati baik. Bahkan sering Max menangisi kucing yang mati karena tertabrak di jalanan. Atau semut yang mati karena dia tidak sengaja membuang air panas sembarangan.
"Kucing itu seharusnya masih hidup. Tega sekali pengendara yang menabraknya." atau "Semut itu pasti memiliki keluarga. Ada ayah yang kehilangan anaknya atau sebaliknya." begitulah yang di ucapkan Max jika ada hewan yang mati.
Kehidupan selalu di penuhi orang-orang baik seperti Max. Orang-orang berhati lembut yang untuk berlaku jahat saja, dia tidak mampu. Devian merasa beruntung memiliki kekasih sebaik Max.
"Pulanglah, Dev. Untuk malam ini saja. Besok, tinggallah di sini. Kita akan berlibur bersama," Max mencoba membuat Devian gembira.
Devian mengecup kening kekasihnya lembut. Setidaknya perasaannya mulai tenang sekarang. "Jangan lupakan, aku mencintaimu Maxy," ucapnya.
Max mengangguk.