Devian dan Mega bertemu untuk pertama kalinya. Pandangan pertama mereka di awali dengan rasa permusuhan. Devian merasa kalau Mega sama sekali tidak menarik. Sementara Mega, memandang Devian sebagai seorang laki-laki sombong yang begitu angkuh.
"Ekhem!" Bambang berdehem. Memberi kode agar putrinya berhenti menatap sinis terang-terangan pada Devian. Sementara itu, Aster hanya tersenyum maklum. Baginya, cinta dan benci seperti dua mata uang. Beda tipis perbedaannya.
"Saya senang sekali diundang kemari. Bahkan saya tidak membayangkan akan dijamu dengan makanan lezat seperti tadi." Bambang membuka pembicaraan.
"Santai saja. Saya senang sekali memasak. Bahkan Devian tadi ikut membantu. Iyakan, Dev?"
"Ya." jawab Devian ragu. Mana ada dia membantu mamanya memasak. Yang ada, tadi sore Aster sibuk menelpon Devian puluhan kali ketika Devian pergi ke apartemen Max untuk memberi tahu tentang perjodohannya.
"Wow. Pantas saja dagingnya sangat empuk. Ternyata itu masakanmu,ya. Bahkan aku kesulitan menggigitnya saking enaknya. Rasanya seperti tertahan dimulutku." Mega berkomentar pedas.
Devian tersengat. Hei! Berani sekali wanita jelek ini menghina masakan ibunya. Hampir saja Devian buka mulut untuk mengutuk perawan tua tak laku di depannya, Aster menahan tangan Devian agar menahan diri.
"Maafkan tante ya, Mega. Devian belum lihat memasak," ucap Aster sambil tersenyum. Aster tahu, Mega hanya memicu permusuhan antara dirinya dengan Devian. Tadi jelas sekali kalau Mega sangat menikmati makan malam yang disajikan Aster.
"Maafkan perilaku anak saya, dia kadang sedikit jahat kalau bicara. Saya sudah sering menyuruhnya menjaga mulut, tapi ya begitulah. Sejak ibunya meninggal, dia berubah." Bambang menjelaskan sambil menginjak kaki Mega. Bukannya takut, Mega malah menatap ayahnya dengan tatapan —jangan ikut campur— miliknya.
"Anak yang di asuh oleh jalanan liar memang begitu. Perkataannya seperti preman pasar." Devian berkata sarkas.
"Dev!" sentak Aster. Merasa putranya keterlaluan. Anak yang ditinggal ibunya merupakan sesuatu yang sensitif.
"Maaf, aku terlalu jujur. Sama sepertimu tadi," ucap Devian tanpa merasa bersalah.
Aster menggeleng. Menyerahkan urusan ini pada dua orang yang saling membenci hanya akan mempersulit. Jadi, dia berkata pada Bambang yang sedari tadi duduk dengan tenang.
"Bagaimana kalau kita percepat pertunangan, Pak Bambang?" tanya Aster. Memegang kendali situasi.
"Sepertinya usul Bu Aster sangat tepat. Saya sangat setuju. Nanti biar saya yang mengurus semuanya," sambut Bambang antusias.
Devian dan Mega tercengang. Ini bukan pertemuan pertama biasa untuk memberikan kesan. Ini perjodohan paksa.
"Tidak! Mega tidak sudah menikah dengan pria sombong itu!" teriak Mega berapi-api.
"Tidak ada yang mau denganmu. Dasar monster." ejek Devian yang melihat Mega seperti preman pasar yang tidak bisa mengontrol emosinya.
"Orang bodoh!"
"Kurang Adab!"
"Sialan!"
"Keparat kau!" ucap Mega. Tangannya bahkan refleks hendak mengangkat meja di depannya dan ingin melemparkannya ke wajah Devian.
"Mega!" sentak Bambang melihat putrinya yang hilang kendali. Laki-laki itu merasa malu kalau sampai Aster memandangnya sebagai orang tua yang tidak bisa mendidik anak.
Namun bukannya marah atau kaget, Aster malah terbahak-bahak. Bambang menyeritkan kening. Apakah tawa merupakan gambaran kemarahan dari crazy rich ini?
"Hubungan yang di awali dari benci biasanya cintanya melekat kuat." komentar Aster.
Devian menatap jijik Mega. Tidak setuju dengan apa yang dikatakan mamanya.
"Nak Mega, saya suka sama pribadi kamu yang berapi-api. Saya pikir kamu akan memakai gaun merah di pesta pertunanganmu nanti," ucap Aster lembut.
"Mungkin aku akan memakai gaun hitam. Pertungananganku sama dengan pemakaman," jawab Mega sambil memandang penuh kebencian pada Devian.
"Wow! Pilihan bagus. Gadis-gadis selalu memakai hitam agar tubuh mereka terlihat seksi," ucap Aster. Sama sekali tak terpengaruh dengan ucapan sarkastik calon menantunya.
"Saya pikir, saya pamit dulu Bu Aster. Meluruskan pikiran putri saya rasanya jauh lebih baik daripada membiarkan dia berdebat dengan Devian selama berjam-jam," pamit Bambang.
Aster menggeleng. "Saya malah senang, Pak Bambang. Melihat betapa anak kita sedang berproses untuk saling mengerti satu sama lain."
Cuih! Huekkk!
Ingin sekali Devian meludahi wajah buruk Mega atau memuntahkan isi perutnya di kepala wanita sok cantik itu.
"Lihat saja, setelah menikah nanti aku akan mencekikmu sampai mati." desis Devian ketika dirinya dan sang mama mengantarkan kepergian Mega dan ayahnya.
"Aku akan lebih dulu menebas kepalamu dan menjadikan tubuhmu umpan buaya muara." balas Mega tak kalah sadis.
****
Di mobil, Mega habis-habisan di ceramahi ayahnya.
"Kamu itu harus jaga sopan santun. Bagaimana bisa orang akan menyukaimu kalau mulutmu saja setajam pedang," ucap Bambang sambil fokus menyetir.
Mega hanya diam. Bukan. Bukan karena dia takut. Tapi karena dia sibuk melihat koleksi make up terbaru yang sedang viral.
"Sia-sia make up jutaan yang kamu beli. Sia-sia kecantikanmu kalau kau sendiri bermulut pisau. Menikah saja tidak mau. Apa mau jadi perawan tua?" Bambang masih terus mengoceh.
"Melihat laki-laki tampan di ponselmu kau tahan berjam-jam. Melihat calon suamimu yang tak kalah tampan dari artis yang kau lihat malah kau caci maki."
Mega mendelik kesal. Merasa terganggu.
"Apa? Kamu tidak senang? Ayah mengatakan kebenarannya. Kamu mau menyangkal apa lagi?" tanya Bambang yang jengkel dengan kepala batu putrinya.
'Dasar orang tua cerewet.' omel Mega dalam hati. Wanita itu memejamkan matanya. Tidur lebih baik daripada mendengar ocehan ayahnya.
****
"Batalkan saja!"
"Tidak bisa. Mama sudah terlanjur menyukainya," tegas Aster.
"Di sini yang menikah itu aku. Bukan mama. Mama tidak berhak menyuruh-nyuruh apalagi mengaturku."
Aster maju, menantang wajah putranya. "Tidak berhak katamu? Dengar! Mama sudah cukup bersabar melihatmu melajang seumur hidup. Memangnya apa yang kau cari? Sekarang biar mama yang urus semuanya."
"Tapi kenapa harus wanita dengan mulut berbisa seperti itu? Masih banyak wanita lain yang lembut yang ucapannya lebih baik." sanggah Devian.
Aster menatap tegas putranya. Tatapannya mengisyaratkan semua tidak bisa disanggah.
"Tapi, Ma. Dia bahkan mengatakan kalau masakan mama tidak enak. Itu penghinaan. Aku tidak suka mamaku di hina seperti itu. Aku tidak mau!" rajuk Devian. Lihatlah! Bahkan tingkah laki-laki berjambang tipis ini hampir mirip dengan anak kecil.
"Dia itu sangat jujur. Mama suka orang yang tidak bermuka dua. Lagipula, hanya dia yang bisa menjadi istrimu. Mama jamin, kalau kau menikahi perempuan lemah kau akan menindasnya." Aster berkata sambil menuang dua gelas anggur untuk mereka berdua.
Devian memutar bola mata malas. Berdebat dengan mamanya selalu membuatnya kalah.
"Aku tidak suka menikahi perempuan!" sembur Devian kehabisan kesabaran.
Aster bangkit dari duduknya. Mendekati Devian. Devian merasa panik takut mamanya tahu kalau dia gay. Takut mamanya jijik dengan keadaannya.
Aster malah mendekatkan bibirnya ke telinga Devian. Lalu berbisik. "Mama pikir pernikahanmu dipercepat saja."
Sialan.