DI TEPI PANTAI

Agaknya ada yang sedikit berbeda di penghujung tahun 2017 kali ini, biasanya kami merayakan tahun baru bertiga dengan Nenek. Akan tetapi di tahun 2017 ini hanya tersisa aku dan Kakung saja, sedih sekali rasanya walaupun memang sebelum Nenek meninggal hubunganku dengan Nenek kurang begitu bagus, kerap kali aku berselisih paham dengan Nenek karena Nenek menginginkanku untuk menerima keadaan dan memaafkan semua kesalahan yang diukir orangtuaku. Kemudian aku teringat kembali obrolan panjangku yang berujung pada kemarahanku terhadap Nenek.

Tepatnya di tanggal 02 Februari 2016 yang tercacat di dairyku yang tampak kusam dan usang, waktuku seakan berbalik pada masa pertengkaran itu.

***

Pada saat itu aku dan Nenek sedang berada di ruang tengah sambil mendengarkan iklan radio dan ditemani minuman teh hangat kesukaannya.

"Nduk sebentar lagi kan kamu lulus sekolah, kamu harus lanjut sekolah lagi sampe jadi sarjana biar orangtuamu bangga nanti" kata Nenek penuh harap kepadaku

"Nek Nda sudah bilang Nda mau kerja saja, tapi tidak langsung setelah lulus, Nda mau istirahat dulu satu tahun mungkin baru Nda kerja" kataku sambil meyakinkan, aku tahu Nenek adalah prang yang cukup dituakan di desa ini, bukan berarti cucunya harus dikekang seperti itu juga kan ? seolah tak mau mengalah Nenek terus memarahiku.

"Kamu itu lho kalo diarahkan selalu ngeyel, mau jadi apa nanti kamu kalo nggak sekolah tinggi. Jaman sekarang ini pendidikan formal yang tinggi itu nomor 1 Nda biar kamu jadi orang terpandang, ndak disepelekan orang- orang. Jangan seperti ibumu, SD saja ndak lulus karna hamil duluan….." suara Nenek meninggi dan aku terkaget dengan perkataan Nenek, dua kata terakhir yang dikatakan Nenek

Lalu tubuh ini seakan membeku, kaku rasanya lidahku untuk membalas kenyataan yang terucap oleh Nenek, kenyataan bahwa aku anak haram anak yang kemungkinan besar tidak diharapkan kehadirannya yang membuatku yakin alas an tersebut juga menjadi salah satu perceraian mereka serta menelantarkanku di dirumah ini bersama Kakung dan Nenek.

"Nduk maafkan Nenek, bukan maksud Nenek untuk menyakiti perasaanmu tapi ini demi kebaikanmu biar kamu tidak dipandang rendah oleh orang- orang disekitarmu dan terutama saudara- saudara jauh kita. Nenek Cuma mau yang terbaik untuk kamu cucu Nenek satu- satunya … " lanjutnya meskipun air mata ini sedikit menetes pelan

"Nek, aku anak haram ? "

"…." Membisu tanpa jawab , Nenek tak berani menatap mataku menengok ke arahku pun enggan.

"Aku sudah besar, aku tau jalan mana yang harus dipilih jadi jangan khawatir, tapi perkataan Nenek tadi cukup menyakitkan Nek, ternyata benar Nda memang sejak lahir tidak diharapkan. Harusnya orangtua selalu mendampingi anaknya, kenyataannya Zhenda malah dititipkan dan ditinggal pergi entah kenapa. Apa Ayah masih hidup Nek ? Aku tidak percaya kalau Ayah sudah meninggal, apa Ayah masih hidup sampai sekarang ? "

"Sudahlah memang anak tidak tau di untung ! Sudah susah- susah Kakung dan Nenek membesarkanmu, besarnya jadi anak yang makin kurang ajar saja ! Hidup saja sendiri kalau susah diatur ! Cari sana Ayah Ibumu !"

Iya, aku menangis sejadi- jadinya membayangkan jika nanti aku tidak punya masa depan seperti saat aku dilahirkan, takut akan kejamnya dunia yang akan kulalui suatu saat nanti.

Terdengar keras dan kasar sehingga membangunkan tidur Kakung di kamarnya.

"Ada apa ini ribut- ribut ! sudah tua masih saja lantang suaramu kalau teriak…" kakek menghentikan pertengkaran kami

Aku mulai beranjak meninggalkan mereka dan menuju ke kamar, lukanya ku bawa.

***

Huhhhhhh

Debur ombak menyadarkanku akan masa lalu yang membuat mental ini tidak aman setiap harinya, ah sudahlah. Lihatlah gelombang pantai kali ini cukup tinggi tidak seperti biasanya, tak seperti beberapa minggu yang lalu saat mengunjungi tempat yang sama dengan perasaan yang begini juga. Seringkali aku termenung meratapi nasibku yang makin hari makin kacau saja, meskipun sedikit demi sedikit cahaya itu muncul. Akan tetapi semua cahaya itu tidak bisa membuatku sepenuhnya menerima semua kenyataan yang menimpaku.

"Apa Tuhan sangat adil ketika memberikanku penderitaan ini ? " tanyaku pada laut yang seolah mengajakku berbicara

Hari ini cukup ramai, para penikmat senja berjejer di tepi pantai menikmati senja yang sebentar lagi terpampang. Sedangkan aku hanya terduduk di bibir pantai sendirian, tak ada banyak hal yang tubuh ini lakukan sekarang sekedar beristirahat sejenak lalu menenangkan diri dari dunia suram tanpa bisa banyak yang kuperbuat untuk menjadikannya terang.

"Hai, boleh duduk di samping ?" terdengar suara lelaki muda dari arah punggung yang sengaja menyapaku dan ingin duduk di samping

Terbelalak mataku, terkejut badanku tak biasanya aku berinteraksi dengan orang- orang yang belum kukenal, sangat berani sekali pemuda ini pikirku.

"Ohh h bo leh silahkan." singkat sautku tersengal sedikit gugup

17.25

Sudah 10 menit aku dan pemuda di sampingku ini tidak saling berbincang, sesekali melirik lagipula siapa dia aku sama sekali tidak mengenalnya apa harus aku yang memulai supaya suasana tidak semakin canggung ? Badannya ideal dengan rambut belah tengah khas seperti foto pas 3x4 Kakung yang ada di dompetku, cukup tampan pemuda ini.

"Heiiii"

Suara itu mengagetkanku

"Ya a heii "

"Siapa namamu ? kulihat daritadi sendirian seperti sedang meratapi sesuatu hahah maaf kalau sok tau "

"Zhenda, namamu ? "

"Bagus juga namamu, tapi mungkin cuma kebetulan nama kita hampir mirip. Kenalin aku Zendi "

"Makasih, iya hehe "

"Pertanyaanku awal tadi , nggak kamu jawab nih ?"

"Oh iya, nggak aku nggak lagi mikirin sesuatu kok cuma lagi menikmati suasana aja sendiri disini hehe"

"Syukurlah, tapi kok sendirian ?"

"Kamu juga keliatannya sendirian , jadi walaupun aku perempuan nggak masalah dong kalau sendiri "

"Hhaha iya jangan judes gitu jawabnya, rumahmu tidak jauh dari pantai ?"

"Cuma 15 menit naik motor "

"Oh sama, pulang sendiri emang berani , hari sudah gelap loh "

"Berani"

Membisu kembali sejenak dan matahari semakin redup, aku beranjak berdiri lalu pergi meninggalkan pemuda ini

"Aku pulang dulu , terimakasih sudah mau menyapaku salam kenal " pamitku membuatnya mendongakkan kepala, mata kami beradu. Perasaan apa ini, mungkin hanya reaksi yang tidak terduga dan respon tubuh yang tidak seperti biasanya maklum saja orang introvert begini tiba- tiba saja diajak berinteraksi secara dekat. Hufffff untung jantung masih aman meskipun mulut gagu.

"Oke , sama- sama, hati- hati dijalan bawa motornya nanti aku susul di belakang hahaha" tengil sekali pria ini pikirku

Berjalan cepat meninggalkan pemuda yang bernama Zendi ke tempat parkir yang tidak jauh dari pantai tempatku terduduk. Aku masih tidak paham dengan perasaanku kali ini, apa ini rasanya menjadi remaja yang bertemu dengan seorang pria ?

****