Tidak Bisa!

Tatapan ibu Anna terlihat tak nyaman, gurat senyumnya kaku, begitu pun dengan dua putranya. Mereka sudah terbiasa hidup dengan kesederhanaan, mereka juga selalu melakukan apa-apa sendiri. Dan, saat di rumah Malik, mereka tidak bisa melakukan semua kebiasaan itu.

"Biar saya yang melakukannya, Nyonya," kata pelayan seraya menuangkan air minum.

"Te-terima kasih," ucap ibu Anna canggung.

Bahkan hal sederhana seperti menuangkan air saja, para pelayan tidak membiarkannya melakukan sendiri.

"Selamat pagi, Bu," sapa Anna, lalu duduk di sebelah sang ibu. Wajahnya yang sembab sudah tercover baik dengan make up, jadi Anna tidak perlu khawatir akan hal itu.

Ibu Anna yang baru pertama kali melihat anaknya dengan dress— yang terlihat mewah— dan make up langsung ternganga. Putrinya tidak pernah berdandan secantik itu, dan tidak mungkin jika putrinya melakukan sendirian. Dia tahu kalau kemampuan putrinya dalam berdandan adalah nol persen. Dia terus memerhatikan sang anak. Bagaimana sikapnya, bagaimana geraknya, dia menatap amat teliti.

Pelayan yang sudah bersiaga lantas melayani Anna. Menyiapkan makanan, menjelaskan menu pagi ini, menuangkan air minum, kemudian meletakkan kain putih ke atas paha Anna.

"Terima kasih," ucap Anna pada pelayan tersebut.

Melihat penampilan putrinya, dan bagaimana cara putrinya menghadapi pelayan-pelayan itu, wanita paruh baya tersebut semakin tertegun dibuatnya. Sikap putrinya sudah seperti wanita kelas atas saja. Padahal beberapa hari yang lalu, putrinya berebut sepotong ayam dengan adik-adiknya. Meja makan selalu menjadi medan perang di antara adik dan kakak tersebut.

"Mana suamimu, Nak?" tanyanya kemudian.

Anna yang hendak menyantap sarapannya bergeming. Benar, di mana suaminya itu? Anna menurunkan sendoknya, mengedarkan pandang.

"Tuan Malik tidak terbiasa sarapan Nona, Nyonya, dan Tuan sudah meminta saya untuk memberitahu itu, jika Nona atau Nyonya bertanya."

Makan tanpa sang tuan rumah?

Ibu Anna dan dua adiknya tentu merasa tak enak hati, mereka tahu betul apa arti dari tata krama.

Anna langsung menatap sang ibu, kemudian menepuk pundak ibunya perlahan. "Ibu makanlah. Biar aku yang bawa suamiku ke sini."

Anna tak ingin sarapannya terganggu karena ketidakhadiran suaminya itu.

"Di mana Malik?" tanyanya pada pelayan.

Pelayan itu menundukkan wajahnya, tampak tak berani memberitahu.

"Pasti di ruang kerjanya," tebak Anna, lalu melangkah menuju ruang kerja sang suami.

Sementara itu, di ruang kerja, Erick meletakkan beberapa dokumen baru, sesuai dengan permintaan sang majikan.

Malik memeriksa dokumen-dokumen itu.

"Kau sudah memeriksa tempat yang aku beri kemarin?" tanyanya.

Waktu sangat berharga, Malik dididik untuk mengoptimalkan waktu yang dimiliki. Karena itu, tidak ada ceritanya seorang Malik menyia-nyiakan waktu, apalagi hanya untuk sarapan saja.

Walaupun makan pagi tidak akan menghabiskan waktu lima belas menit, tetapi tetap saja, Malik tidak ingin keluar dari prinsipnya.

"Tuan," panggil Erick dengan niat menasehati.

Malik menatap datar, "Jangan menceramahiku, Erick. Pekerjaan lebih penting. Kau pasti sudah tahu, kenapa pekerjaan yang lebih utama. Jadi jangan berbicara selain pekerjaan. Paham?!" tandasnya tak ingin membahas hal yang tidak berkaitan dengan pekerjaan.

Tak hanya memimpin sebuah perusahaan, Malik juga menjadi agen rahasia kepolisian. Sudah banyak kasus yang berhasil dia selesaikan, penyelundupan barang maupun narkotika, perdagangan manusia, juga kasus besar lain seperti penyerangan sekelompok teroris.

Erick sendiri sangat paham mengenai posisi tuannya, tetapi ada perbedaan antara masa sekarang dengan masa bujang sang majikan. Apalagi di rumah mereka, kini ada mertua Malik. Tuannya harus bersikap ramah dan hangat.

"Maafkan saya, Tuan. Tetapi setidaknya Anda muncul di meja makan, Ibu mertua Anda juga adik-adik ipar Anda pasti menunggu kehadiran Tuan," terang Erick.

Malik terhenti, kali ini, nasehat Erick ada benarnya. Dia menutup dokumen, lalu menyugar rambutnya perlahan.

"Baiklah," Malik mengalah.

Bersamaan dengan itu, Anna masuk ke ruang kerja tanpa ketuk pintu. Wajahnya terlihat masam, dan memang seperti itulah wajah sang istri yang paling sering dia lihat.

"Ada apa—"

Belum melanjutkan kata-kata, Anna menarik lengan Malik, menggandengnya dengan kasar.

"Dengar, aku tidak peduli sekalipun kamu tidak suka sarapan pagi, atau makan siang, atau mungkin dinner, tapi kalau ada ibuku di sini, kamu harus makan, di meja makan!" ucap Anna penuh penekanan.

Sebenarnya ada satu kalimat yang ingin dikatakan Anna, tetapi rasa gengsi dan malunya begitu tinggi. Sangat tinggi, sampai-sampai dia tidak berani menatap wajah suaminya secara langsung.

Kesalahpahaman yang telah dia buat begitu fatal. Tiba-tiba menangis dan sensitif, juga menuduh suaminya yang tidak-tidak. Bagaimana cara dia minta maaf setelah dia melakukan semua itu? Dan satu lagi, dia bahkan menendang Malik dengan keras.

Malik tak banyak komentar, dia mengikuti apa yang diinginkan oleh istrinya tersebut, lebih tepatnya, terpaksa mengikuti. Karena tak ingin ada perdebatan di antara keduanya.

Setelah keributan tak jelas tadi pagi, Malik belajar beberapa hal. Wanita adalah sosok yang paling merepotkan, dan jika tidak ingin repot, yang perlu dia lakukan hanyalah diam dan menurut. Mengiyakannya saja.

"Selamat pagi, Bu," sapa Malik dengan ramah.

"Maaf, tadi ada pekerjaan, jadi saya selesaikan dulu pekerjaan itu," lanjut Malik.

Segaris senyum tercetak di wajah wanita paruh baya itu, dan entah kenapa raut wajah teduh itu mengingatkan Malik pada ibu kandungnya sendiri.

Anna menarik kursi, mempersilakan suaminya duduk. Dan, Anna tak langsung kembali ke tempat duduknya, wanita itu masih berdiri di samping Malik.

"Tidak apa-apa, Nak," sahut ibu Anna.

"Biar saya saja," kata Anna pada pelayan yang hendak melayani suaminya.

Malik mendongak, sikap istrinya yang mendadak baik membuatnya curiga. Pemuda itu menyipitkan mata, memerhatikan gerak-gerik sang istri.

'Shit! Kenapa dia menatapku seperti itu? Apa dia tidak bisa berpura-pura senang sedikit, huh!?" protes Anna dalam hati. Padahal dia sudah bersikap baik, tetapi suaminya malah menatapnya seakan-akan dia adalah penjahat.

"Oh ya, Nak, ibu belum pernah bertemu dengan orang tuamu. Di mana mereka?" tanya ibu Anna. Dan, menurut wanita itu, bukankah seharusnya dia mengenal besannya sejak awal? Apa jangan-jangan pernikahan anaknya tidak disetujui?

Membayangkan hal itu, ibu Anna benar-benar khawatir. Bukankah orang kaya biasanya menikahkan anaknya dengan gadis yang setara? Entah apa yang akan terjadi pada anaknya, jika yang dia pikirkan ternyata benar.

"Saya sudah tidak punya orang tua, Bu. Mama dan papa saya sudah meninggal karena kecelakaan," terang Malik.

Meja makan seketika hening. Jawaban Malik membuat seluruh keluarga Anna menatap pemuda itu dengan iba, termasuk Anna sendiri. Sesuatu dalam hati Anna bereaksi ketika suaminya mengakui bahwa dirinya yatim piatu.

"Ma-maafkan ibu, Nak. Sungguh—"

"Tidak apa-apa, Bu. Lagi pula, kejadian itu sudah sangat lama. Ibu tidak perlu meminta maaf." Malik tersenyum tipis.

Malik tidak suka menyimpan rasa sakit berlama-lama, karena dia tahu, bersedih tidak akan mengembalikan orang yang sudah meninggal. Tidak akan ada yang berubah, waktu pun terus berlanjut.

Suasana pun semakin diselimuti keheningan. Ibu Anna merasa bersalah karena menanyakan hal yang tidak seharusnya.

"Karena itu, saya sangat senang jika ibu dan adik-adik mau tinggal bersama saya," ucap Malik tiba-tiba.