Tragedi Tak Terduga

Pernikahan tidak akan cukup untuk mengikat Anna, Malik sudah memikirkan semua hal dengan sangat matang, termasuk menggunakan ibu dan adik-adik Anna sebagai sanderanya.

"Tidak, tidak bisa!" tolak Anna ngotot.

"Maksudku," Anna mengubah intonasi suaranya, berpikir cepat, mencari alasan yang tepat.

"Kita baru saja menikah, dan aku tidak ingin merepotkanmu—"

"Kamu tidak perlu khawatir, Anna. Aku tidak kerepotan sama sekali, aku malah senang, jika keluargamu tinggal bersama kita. Aku merasa kalau aku memiliki keluarga besar." Malik tersenyum tipis, namun sorot matanya menyimpan kesedihan yang pekat.

Ibu Anna memerhatikan menantunya tersebut. Entah pria atau wanita, masih lajang atau sudah menikah, ketidakhadiran orangtua tentu membawa luka tersendiri. Dia pun sangat memahami perasaan itu.

"Adik-adikku sekolah di sana, kalau mereka pindah secara tiba-tiba di semester ini, bukankah nanti mereka akan kesulitan mencari sekolah baru? Belum lagi dengan adaptasi dengan lingkungan baru," Anna masih kekeh, mencari alasan yang masuk logika.

"Kamu tidak perlu khawatir, aku sudah memikirkannya. Bahkan mereka bisa memilih, mau homeschooling, sekolah negeri atau sekolah swatsta, dan akan kupastikan, mereka diterima," ucap Malik, sangat yakin dan terencana.

Glek!

'Fuck! Pria ini benar-benar licik!' batin Anna. Dia tak bisa mendebat, Malik selalu menjawab dengan santai, seolah dia mampu melakukan segalanya. Seakan sesuatu yang tidak mungkin, atau sangat mustahil, menjadi sangat mungkin.

Ibu Anna tampak berpikir, yang dikatakan Anna benar. Apalagi dia tidak ingin merepotkan menantunya.

"Ibu bisa mengunjungimu sesekali, Nak," tawar wanita paruh baya tersebut.

"Baiklah kalau begitu, Bu," jawab Malik dengan desah kecewa.

Sarapan itu pun berakhir, Malik kembali ke ruang kerjanya. Sementara Anna mengantar kepulangan sang ibu dan dua adiknya.

"Dengar, kalian harus membantu Ibu!" celoteh Anna.

"Jangan malas-malasan. Jangan nunggu Ibu yang minta bantuan, paham?!" lantangnya.

Sebagai anak perempuan satu-satunya, Anna lah yang sering membantu sang ibu ketimbang dua adiknya yang selalu menunggu diperintah lebih dulu. Keduanya tidak pernah berinisiatif membantu sebelum dimintai bantuan, dan Anna tahu, ibunya tentu tidak akan pernah meminta bantuan anaknya. Karena itulah, dia merasa perlu menceramahi sang adik.

"Oke-oke, Kak," tandas Aldo.

"Jangan oke-oke aja! Awas kalau Ibu sampai mengeluh capek atau sakit karena kelelahan, kalian yang akan kucincang nanti! Paham?!" ketus Anna.

Malik mengawasi istrinya dari jendela di ruang kerjanya, kedua tangannya bersedekap. Melihat Anna dengan keluarganya mengingatkannya pada masa lalu yang sudah lama dia lupakan. Malik sendiri bahkan sudah lupa bagaimana rasanya kasih seorang ibu, bagaimana rasanya memiliki sebuah keluarga. Hatinya terlalu lama menyendiri dan berada dalam kesepian.

Apakah dulu dia pernah bahagia? Entahlah, Malik sendiri tidak terlalu mengingatnya.

Tangan Malik terangkat, dan Erick pun langsung meletakkan dokumen ke telapak tangan tuannya tersebut.

"Kirim orang-orang kita ke sana," perintah Malik.

"Baik, Tuan," Erick sedikit membungkuk, lalu mengikuti langkah Malik.

"Bagaimana dengan urusan itu?" tanya Malik.

Erick mengangguk, "saya sudah mengirim orang sesuai dengan permintaan Tuan," jawabnya.

Malik tak menjawab, dia hanya menganggukan kepalanya.

Anna kembali masuk ke rumah, setelah mobil yang mengantar ibu dan adiknya sudah tak terlihat. Wanita itu menarik napas dalam-dalam, sesungguhnya dia tak terbiasa di rumah itu. Tak terbiasa dengan layanan para pelayan.

Dan sampai detik ini pun, Anna tak tahu kenapa dia bisa tiba-tiba menikahi pria kaya?

Ya walaupun salah satu mimpinya memang adalah menikah dengan orang kaya, plus tampan. Namun, tetap saja, hal ini benar-benar tak bisa dicerna dengan otaknya.

Kenapa Malik menikahinya? Anna bahkan tidak mengenal Malik, dan sepertinya Malik bukan customer yang pernah datang ke tempatnya bekerja. Lalu bagaimana bisa takdir konyol ini terjadi?

Anna mengembuskan napas kasar, terduduk di sofa ruang tamu.

"Apa Nona menginginkan sesuatu?" Pelayan yang bersiaga langsung bertanya.

Anna mendongak, menatap wajah wanita muda tersebut.

Kenapa harus dirinya?

Pelayan di rumah Malik sangat cantik, lebih cantik dari dirinya.

Lalu kenapa bisa dia? Kenapa?

Pertanyaan yang terus berputar di kepalanya. Pernikahan tiba-tiba yang membuat perasaannya khawatir.

"Tidak perlu, kamu duduk saja sini," ucap Anna seraya menepuk permukaan sofa.

Wanita itu tidak menjawab, tampak canggung.

"Maaf, Nona. Saya tidak bisa," jawabnya.

Ya tentu saja dia menolak, pasti suaminya itu akan memenggal gaji atau memecat wanita itu jika melakukannya. Anna sudah memerhatikannya sejak awal, para pelayan itu sangat takut pada Malik.

Entah seperti apa kehidupan rumah tangganya di masa depan, Anna mencemaskan banyak hal.

*

Asap hitam mengepul sangat pekat. Teriakan memilukan memenuhi langit siang itu. Sirene pemadam kebakaran memekakan telinga, juga lalu lalang orang yang membantu memadamkan api pun berhamburan.

Ibu Anna turun dari mobil, lalu berlari menembus kerumunan. Separuh hatinya seakan mencelos, kemungkinan yang sangt buruk terjadi tepat di depan matanya. Kali ini, apa yang diinginkan Tuhan setelah mengambil suaminya?

'Tidak-tidak,' batin wanita itu. Dia berharap ada sedikit kebaikan yang diberikan Tuhan. Meski, dia sendiri tak yakin.

Tetes kristal pun jatuh dari pelupuk mata. Tangannya mengepal dan gemetar, hatinya berusaha menguatkan dirinya yang hampir jatuh karena lemas. Saraf-saraf lututnya seketika melemah melihat kebakaran yang ada di depannya.

"Geeta, kamu ke mana saja?!" Salah satu tetangga datang dengan wajah cemong. Terlihat jelas, kesedihan dari tatapan wanita itu.

"Syukurlah, syukurlah kamu baik-baik saja. Aku pikir ...." Suaranya menghilang dan terganti dengan tangisan.

Geeta— ibu Anna— tak mampu berkata-kata, wanita itu tercekat. Rumah yang menyimpan berbagai kenangan, rumah yang sangat berarti bagi Geeta. Kini dipenuhi dengan api dan asap pekat. Tak ada satu pun barang yang bisa dia selamatkan, semua terbakar seolah pertanda bahwa dia harus melupakan semuanya. Melupakan kenangan yang menyakitkan, juga menjadi pertanda berakhirnya duka atas kematian sang suami.

"Anak-anak, mereka bersamamu, kan?" tanyanya memastikan.

Geeta mengangguk, "Iya. Mereka ada bersamaku."

Aldo dan Kevin berhasil menyusul sang ibu.

"Apa yang terjadi, Bi? Bagaimana bisa ini terjadi?" Aldo menahan diri, berusaha mengendalikan diri. Sementara Kevin tertegun menatap rumahnya yang dilahap api. Apa yang harus mereka lakukan sekarang?

"Tidak tahu, Al. Bibi sedang tidur, dan tahu-tahu semua sudah seperti ini," jawabnya.

Di tengah kepanikan juga kesedihan, wanita itu mendapati sosok asing yang tiba-tiba muncul. Di lihat dari pakaiannya saja, dia sudah bisa menebak bahwa pria itu tidak berasal dari lingkungan mereka. Pakaian pria itu memperlihatkan jelas statusnya yang mungkin dari kelas atas, atau mungkin bisa jadi lebih. Tetapi yang menjadi pertanyaannya adalah, kenapa pria itu bisa bersama dengan tetangganya tersebut? Tidak mungkin, pria itu memiliki hubungan dengan tetangganya itu. Sangat tidak mungkin.

Pria itu menatap datar bangunan yang dilahap oleh api, tatapan yang begitu dingin. Tatapan yang tidak menunjukkan rasa simpati sama sekali.

"Kita akan tinggal di mana Bu?" tanya Kevin lirih. Rumah itu satu-satunya tempat tinggal yang mereka miliki, satu-satunya harta yang berharga. Tetapi, kini, semuanya sudah hangus, menjadi debu dan menyatu dengan tanah.