"Kita perlu bicara Malik!" Anna terus mengikuti suaminya itu, meski Malik mengabaikan dirinya.
Pria itu terus melangkah, seolah panggilan Anna hanya angin lalu yang tidak penting.
"Malik!" teriak Anna, tak peduli tempat dan situasi. Pembahasan yang ingin dia bicarakan sangat penting, Anna merasa harus membahasnya sekarang juga atau dia akan kehilangan kesempatan.
"Ck!" Malik tampak kesal, tatapannya mengisyaratkan bahwa dia sangat terganggu dengan tingkah Anna.
'Kenapa wanita itu sangat berisik?!' batin Malik.
Pria itu mendesah kasar, menghentikan langkah, lantas menatap Erick. Tatapannya yang tajam mengandung sebuah perintah, dan tanpa harus dijelaskan, Erick paham akan perintah tersebut.
Malik pun melanjutkan langkahnya, sementara itu, Erick menjadi perwakilan tuannya. Dan, bukankah keputusan menikah adalah ide dari Erick, jadi pria itulah yang harus menyelesaikan masalah yang ada.
"Maaf, Nona. Tuan sedang banyak pekerjaan, jadi, jika Nona ingin mengatakan sesuatu, Nona bisa membicarakannya dengan saya," tutur Erick.
"Sesibuk apa dia? Apa tidak ada waktu lima atau sepuluh menit?" Anna tampak tak puas. Pandanganya lurus, menatap punggung suaminya yang semakin menjauh.
Tidak gentle!
'Aku ini istrinya, loh!' ucap Anna dalam hati.
Pernikahan bukan sesuatu yang bisa diwakilkan, Anna perlu bicara dengan suaminya langsung, bukan dengan asistennya.
"Mari bicara di ruangan saya, Non," ajak Erick seraya menarik bahu Anna.
Gadis itu menarik napas dalam-dalam, kemudian mengikuti langkah Erick.
Beberapa menit berlalu tanpa pembicaraan, Erick hanya berdiri di dekat jendela besar, menatap langit biru yang luas. Sesekali embus napasnya terdengar berat dan panjang, seakan ada beban yang tengah dirasakan oleh pria tersebut.
"Sebenarnya Tuan Malik tidak menginginkan pernikahan ini," ucap Erick membuka pembicaraan. "Sayalah yang memintanya untuk melakukan pernikahan."
Anna menyimak ucapan itu dan mencernanya. Dia masih terdiam, menunggu apakah ada penjelasan lagi dari Erick.
Gurat kekhawatiran terukir jelas di wajah Erick. Usianya yang sudah menginjak kepala 5, dan beberapa penyakit yang menggerogotinya membuat Erick mempercepat urusan tanggung jawab, sebagaimana yang diperintahkan oleh tuannya terdahulu, dan yang menjadi salah satu tanggung jawabnya adalah menikahkan tuan mudanya.
"Nona adalah wanita yang saya pilih sendiri. Saya sangat yakin, Nona adalah pasangan yang tepat untuk Tuan Malik," jelas Erick.
"Tidak, saya tidak cocok untuk Malik. Percayalah," Anna langsung menepis pendapat itu.
Dilihat dari sudut mana pun, dia tidak cocok dengan Malik. Selain kasta yang sangat berbeda, Anna merasa hubungannya dengan Malik tidak akan baik. Pria itu bukan ideal type-nya. Sekalipun salah satu kriteria terpenuhi, tetapi Malik bukan pria yang diimpikan Anna.
Erick menyunggingkan senyum tipis, berusaha mengerti kegundahan yang dialami oleh Anna. Apalagi, pertama kali bertemu, tuannya langsung menunjukan sikap kasarnya. Namun, Erick sangat yakin dengan pilihannya, dia tidak pernah meleset dalam memilih. Gadis di depannya adalah sosok yang ideal, sifat Anna mengingatkan Erick pada sosok almarhum ibu Malik. Keduanya memiliki sifat yang sama persis, Anna seperti fotokopian dari sifat nyonya tersebut.
"Lagi pula, di luar sana, pasti banyak wanita yang menginginkan Malik." Anna berpendapat.
Pastinya banyak wanita yang lebih menginginkan status sebagai istri Malik. Kenapa Erick malah memilihnya? Atas dasar apa dan kenapa?
"Dan saya mencari seseorang yang tidak menginginkan status itu, Non," tandas Erick.
"Mereka yang menginginkan Tuan hanyalah wanita yang menyukai harta, saya tidak bisa menyerahkan Tuan pada sosok wanita yang seperti itu," terang Erick. Tidak hanya berperan sebagai asisten, Erick sudah menganggap Malik seperti anaknya sendiri.
Bukankah setiap orang tua menginginkan anak mereka menikah dengan seseorang yang tepat?
"Tapi—"
"Uhkkk!"
Rasa sakit itu kembali menyerang, sesuatu seakan meremas jantungnya, membuat Erick kesulitan bernapas. Tubuh pria renta itu pun seketika goyah, tangannya mencoba meraih kursi yang ada di dekatnya. Namun apa daya, dia tak sanggup dengan serangan yang tiba-tiba itu.
"Pak Erick!" pekik Anna cemas. Gadis itu mendekat, membantu Erick duduk, lalu berlari mencari pertolongan.
"Tenanglah, Pak. A-aku akan mencari bantuan." Anna melangkah cepat.
Pandangan Erick pun mulai memburam. Ingatan terburuk yang telah dia kubur dalam-dalam, entah kenapa malah kembali terputar. Tangisan anak kecil, petir yang saling bersahutan, dan dua mayat yang sudah tak bernyawa. Ingatan yang semakin membuatnya sesak.
"Tolonggg!" Anna berteriak sangat keras.
Tak perlu waktu lama, para pelayan langsung mengerumuni Anna.
Medis pun segera datang ke kediaman Malik tersebut.
Penyakit jantung yang diderita Erick sudah bukan hal baru, semua penghuni rumah sudah mengetahuinya. Sang tuan rumah pun menyediakan dokter khusus untuk Erick, pengobatan termahal dan terapi untuk sang asisten. Namun, faktor usia menjadi salah satu sebab, kenapa penyakit itu sering kambuh.
"Bagaimana keadaannya, Dok?" tanya Anna langsung.
"Untuk sekarang, kondisi Pak Erick baik-baik saja." Dokter itu menatap tubuh renta pasiennya, lalu menatap sosok wanita yang asing. "Pak Erick mengonsumsi obatnya secara teratur, kan?" tanyanya.
Anna menggeleng, dia tidak tahu mengenai penyakit Erick. "Saya tidak tahu, Dok."
"Tolong perhatikan jadwal minum obat Pak Erick, agar serangan seperti ini tidak terjadi lagi."
Anna mengangguk, lalu terduduk di samping Erick.
Apakah serangan itu terjadi karena pembahasan mereka? Apa itu salahnya? Anna berpikir bahwa dialah penyebab, kenapa penyakit Erick kambuh.
"Kalian sudah memberitahu Malik?" tanyanya pada pelayan.
Wanita itu menganggukan kepalanya. "Sudah, Non."
Anna mendongak, "Kenapa dia tidak datang ke sini?"
Pelayan itu menunjukkan ekspresi seakan hal itu sudah biasa terjadi.
"Tuan tidak akan beranjak dari ruang kerjanya untuk masalah apa pun, Nona," terang pelayan tersebut.
"Bahkan untuk masalah ini?" Anna tak habis pikir, apa Malik tidak merasakan apa pun ketika mengetahui penyakit Erick kambuh?
Pelayan itu menunduk dan mengangguk. "Iya, Non."
Tanpa pikir lagi, Anna berdiri, keluar dari ruangan itu dengan sorot mata marah.
"Non, Nona mau ke mana?" Pelayan itu mengikuti Anna.
Anna memutar tubuhnya, "Membawa Malik ke sini!"
Dengan cara apa pun, bahkan jika harus menyeret Malik, dia bertekad untuk membawa keluar pria itu dari ruangannya.
Di ruang kerjanya, Malik sudah mendengar apa yang telah terjadi dari pelayan rumah. Namun, dia tidak beranjak dari kursi kerjanya. Pemuda itu tetap bekerja seolah jika dia menghentikan aktivitasnya untuk satu atau beberapa menit, akan mengganggu pekerjaannya tersebut.
Malik terus mengetik, menghubungi beberapa anak buahnya, menanyakan jalannya penyelidikan, juga mengurus beberapa bisnisnya.
"Baik. Besok, aku akan memeriksanya langsung."
Setelah telepon terputus, Malik meletakkan kembali ponselnya. Namun, satu panggilan dari nomor yang tidak dikenal menarik perhatian Malik. Pria itu langsung menjawab telepon itu.
"Anna Laurent. Jadi itu nama istrimu Malik," suara licik di seberang telepon, menarik garis senyum di wajah Malik.
Sepertinya musuh-musuh Malik tak sabar mencari tahu tentang kehidupannya.
"Wanitamu ternyata cantik juga, kau tidak pantas mendapatkannya, Malik!" cibir pria itu.