Pria Menyebalkan!

"Apa saja yang sudah kau lakukan dengannya, Malik? Dengan tubuh seperti itu, kurasa kau pasti sangat puas," lontar pria itu.

Tatapan Malik tajam, menyatakan bahwa dia tidak suka dengan perkataan orang itu.

"Ah. Maaf-maaf!" Pria itu mengangkat kedua tangannya. Namun sorot matanya tidak mengatakan hal yang sama. Dia hanya mempermainkan Malik.

"Aku hanya penasaran saja," tambahnya dengan seringai senyum yang menyebalkan.

Pria itu bernama Gerald, berusia 36 tahun, dan dia bukan pria biasa. Sama halnya dengan Malik, pria itu bisa disebut dengan anjing pemerintahan.

Keduanya lalu berjalan menuju ruang kerja sang tuan rumah.

Beberapa menit berlalu, Malik kini duduk di kursi kerjanya, tangannya saling bertautan dengan tatap bak elang yang siap menangkap mangsanya.

"Bapak curiga kalau penculikan itu ada kaitannya dengan penjualan organ manusia," terang Gerald seraya meraih botol red wine di lemari kaca Malik.

Tanpa rasa malu atau canggung, Gerald menuangkan wine ke gelas dan meneguknya tandas. Malik sendiri sudah terbiasa dengan sikap pria itu.

"Dan beliau menginginkan kau menyelesaikan masalah tersebut," lanjutnya.

"Ini," Gerald meletakkan flashdisk. "Aku sudah mengumpulkan semua data tentang rute penculikan itu."

Malik tak berkedip, dia menatap flashdisk tersebut.

"Baiklah."

Urusannya dengan Malik telah selesai, namun masih ada yang mengganjal dadanya.

"Katakan padaku, bagaimana kau mendapatkan gadis secantik itu?" Gerald menaikkan dagu, penasaran.

Apakah Malik memungutnya di suatu tempat? Atau bisa saja, pria itu mendapatkannya dengan cara mengancam?

"Diam!" Kali ini tatapan Malik seperti pembunuh berdarah dingin yang tak segan menghabisi.

Glek!

Gerald menelan salivanya, menggaruk kepala seraya menampakkan ekspresi konyol.

"Heheheh, lupakan. Kau tidak perlu menjawabnya," kata Gerald.

Meski dia suka melihat mimik wajah Malik yang kesal, tetapi Gerald tahu bahwa bermain-main dengan harimau sangat berbahaya.

Gerald pun memutar tubuhnya, melangkah menuju pintu, namun langkahnya terhenti karena dia mengingat satu hal.

"Satu lagi Malik, Bapak ingin masalah ini diselesaikan dengan cepat. Karena, salah satu anak buah Bapak akan mencalonkan diri tahun ini di kota itu," tuturnya lalu meninggalkan Malik.

Mata hazel itu menatap flashdisk yang tergeletak di meja. Namun berkas kasus yang tengah dia selidiki menarik perhatiannya, alih-alih membuka folder di flashdisk, dia malah membuka kembali kasus kematian seorang wanita yang sampai sekarang belum menemukan titik terang. Kasus yang menurut Malik memiliki kaitan dengan seseorang yang punya jabatan dan nama.

Malik menatap layar laptop dengan serius. Ada yang janggal dengan kasus kematian tersebut, dan dia berusaha menemukan apa yang membuat perasaannya seperti ini.

*

Setelah menenangkan sang ibu dengan beberapa kalimat, Anna keluar dari kamar ibunya. Desah napas gadis itu berat, mendengar tidak ada satu pun yang berhasil diselamatkan, entah kenapa rasanya seperti sesuatu mencabut paksa jantung dalam tubuhnya. Sangat menyakitkan dan menyesakkan!

Memoar-memoar yang sangat berharga dan tidak hanya itu, barang-barang peninggalan sang ayah, semua lenyap seketika.

Anna berjalan gontai. Di depan ibunya, dia bisa berpura-pura kuat, tetapi dia tidak sekuat yang terlihat. Anna sangat rapuh.

"Hallo Nona!" Gerald menyandarkan punggung pada dinding. "Sepertinya takdir sedang baik padaku, karena hari ini, aku bertemu dengan wanita secantik dirimu."

Anna menyipitkan mata. Pria perayu seperti itu bukan typenya. Dan, bukankah suaminya yang pendiam itu lebih baik?

"Oh ya, Nona. Kita belum kenalan." Gerald berjalan mendekat, mengulurkan tangannya.

"Namaku Gerald," ucapnya ramah.

Namun ekspresi Anna mengabaikan sosok itu, dia terus berjalan melewati Gerald. Menganggap pria itu sama seperti patung yang ada di rumah Malik.

"Hei-hei tunggu Nona," Gerald tak menyerah, dia mengejar, lalu menghadang Anna.

"Apa kau ingin menemui Malik?" Gerald bicara meski lawannya tak acuh.

"Kurasa jangan. Malik tidak bisa diganggu saat bekerja, dan dia sangat menyeramkan saat marah," tutur Gerald dengan nada sedikit melebihkan.

Dan bukankah yang dia katakan benar? Tidak ada yang bisa mengganggu Malik, sekalipun orang terdekat dan yang sudah lama bekerja, pria itu tidak pernah menolerir gangguan apa pun. Sekalipun yang mengganggu istrinya sendiri, itu pikir Gerald.

Anna tidak menggubris Gerald, dan sepanjang perjalanan, pria itu seolah-olah bicara dengan patung.

"Nona jangan, jangan!" bisik Gerald. Berusaha menahan Anna, namun Gerald kalah langkah.

Anna menekan kenop pintu dan membukanya.

Ceklek.

Malik yang sedang berkutat dengan laptopnya mendongak, mimik wajah sang istri berubah dan tentu hal itu tidak mengejutkannya. Dia pun mengalihkan pandangannya pada Anna.

"Apa kau baik-baik saja?" Malik melontarkan pertanyaan.

Tentunya tidak, pikir Malik. Dia sudah tahu apa yang terjadi.

Gerald yang menyembunyikan diri di balik dinding, tentu mendengar percakapan itu.

'Kenapa dia tidak marah?' batin Gerald.

Mengenal Malik selama belasan tahun, membuat Gerald sangat mengenal Malik. Tentang amarahnya yang sangat dangkal, tentang moodnya yang mudah berubah secepat hembusan angin.

"Apa kau ingin minum? Wajahmu pucat sekali," Malik menuangkan air mineral, lalu memberikannya pada Anna.

"Rumahku ...." Suara Anna melirih. Beban yang dia rasakan saat ini seakan meledak di depan suaminya, tetapi dia berusaha menahannya. Di tidak ingin terlihat lemah.

"Kau tidak perlu khawatir. Aku sudah mengirimkan orang-orangku untuk menyelesaikannya," kata Malik.

Anna mendongak, tentu suaminya sudah mengetahui kabar itu lebih dulu. Namun, Malik tidak mengerti, dan tidak akan pernah mengerti apa yang ada dalam hatinya. Rumah itu bukan sekedar hunian, bukan sekedar tempat meneduh semata, tetapi ada memori yang tidak bisa dia hilangkan. Memori yang tidak bisa diganti.

Bulir kristal yang ditahannya sejak tadi, akhirnya luruh. Anna buru-buru menghapusnya, tak ingin Malik melihatnya dalam keadaan lemah.

Dan lagi pula, kenapa Anna tiba-tiba datang ke ruang kerja Malik? Gadis itu mungkin sudah gila!

Malik terhenyak melihat air mata yang turun. Sesaat dia berpikir Anna hanya lelah dan shock, tetapi kali ini dia yakin kalau itu benar-benar air mata.

Pria itu mematung, dia tak punya pengalaman menghadapi wanita yang menangis. Apa yang harus dia lakukan?

Menawarkan wine? Tidak!

Malik menatap tisu yang ada di ujung mejanya. Beruntung dia memiliki tisu, meski dia tidak tahu apa kegunaan dari tisu itu, sepertinya dia harus berterima kasih pada pelayan yang sering menaruh tissu di ruangannya.

"Ini." Malik menyodorkan tisu, tidak ada kalimat apa pun. Pria itu hanya diam.

Sementara Anna mengusap matanya, ternyata menahan air mata itu sangat sulit. Apalagi di kondisi saat ini, kondisi yang sangat tidak mungkin menahan air mata.

Parahnya, Anna menangis di depan Malik. Kenapa di depan pria itu? Ah! Anna ingin berteriak karena rasa malu, tetapi berteriak pasti semakin membuatnya seperti orang gila.

"Kau sangat menyebalkan, Malik!" tandas Anna. Alih-alih pujian, Anna malah mengomentari Malik dengan ketus.

"Iya-iya. Terima kasih atas pujiannya, Anna," sahut Malik.