Semua karena Malik!
Ya, semua karena Malik yang mengadu pada ibunya. Lagi pula apa masalah yang dimiliki Malik? Hanya karena tidak suka dengan pakaian Anna?
"Ja-jangan, Bu."
Sebenarnya pun, Anna lebih suka dengan pakaian tertutup, tetapi kadang pikirannya yang gila, menginginkan pakaian terbuka. Pakaian minim.
"Lagi pula, aku cuma pakai itu sesekali. Tidak setiap hari," jelas Anna.
Namun wajah Geeta menampakkan tanda tidak sepemahaman, Geeta tak ingin alasan apa pun.
"Ibu akan suruh Lily mengumpulkan pakaian itu," tandas Geeta seolah tak bisa dibantah.
"Ta-pi, Bu ...," Kalimat Anna terhenti, sulit untuk membujuk ibunya jika Geeta sudah mengambil keputusan. Terlebih, suaminya pintar bersandiwara. Entah apa yang diadukan Malik pada ibunya.
Geeta berjalan melewati Anna, tatapan yang dimilikinya bercampur rasa kesal dan sedikit amarah. Sepertinya sesekali dia harus bersikap tegas pada putrinya itu.
'Sialan!' Anna mengepalkan tangan.
Dengan langkah cepat dan emosi, Anna melangkah menuju ruang kerja Malik. Pria itu pasti ada di ruangan itu.
"Ada apa Non?" tanya pengawal yang berjaga di depan pintu.
"Katakan pada Malik kalau aku ingin membicarakan sesuatu dengannya. Sekarang!" lantang Anna tak sabar.
Untuk bertemu dengan Malik saja, Anna membutuhkan ijin dan perantara. Kadang-kadang dia merasa heran, dia istrinya Malik atau siapanya? Kenapa sangat repot sekali untuk bertemu dengan suaminya itu?
"Maaf, Non. Tapi Tuan Malik sedang tidak ada di tempat. Pagi-pagi sekali, Tuan sudah pergi," ucap pengawal itu.
Anna tentu tidak memercayai hal itu. Bisa saja, itu akal-akalan Malik, dia menyuruh pengawal itu untuk berbohong. Suaminya itu pasti ada di dalam.
Tanpa pikir lagi, Anna menerobos pertahanan pengawal itu. Dia membuka pintu dengan kasar.
Dan ... kosong!
Suaminya benar-benar tidak ada di ruangannya. Anna menoleh ke belakang, "Kemana dia?"
"Urusan pekerjaan Nona," sahut pria itu.
Anna melipat kedua tangannya, mendengkus kesal. "Pekerjaan apa yang dia lakukan sepagi ini?"
Bahkan matahari baru saja meninggi, dan suaminya itu sudah hilang entah ke mana. Pekerja kantoran pun tidak akan berangkat sepagi ini.
Pengawal itu sedikit membungkuk, "Untuk detailnya, Nona bisa bertanya pada Tuan." Dia tak berani menjelaskan, karena dia tak ingin tuannya itu memenggal kepalanya, jika dia mengatakan sesuatu yang di luar kepentingannya.
*
Malik sudah standby di sebuah bangunan kumuh di tengah hutan. Dalam laporan yang diberikan oleh Gerald, gedung itu diindikasikan sebagai tempat penampungan sementara korban penculikan. Beberapa anak buahnya pun disiagakan pada titik di rute yang diberikan Gerald.
Untuk beberapa jam, semua keadaan normal dan berjalan dengan baik. Sampai akhirnya, Malik melihat sebuah mobil memasuki gedung tersebut.
"Mereka sepertinya baru pulang dari berburu, Bos!" celetuk seorang pria.
Malik memperbaiki letak single earphonenya, "Jangan becanda. Awasi apa yang mereka bawa. Jika itu korban, langsung bergerak dan tangkap mereka."
"Siap, Bos!"
Malik berada beberapa meter dari gedung itu, cukup jauh. Tetapi dia bisa melihat jelas pergerakan yang ada di gedung tersebut.
Dor!
Satu tembakan yang mengudara, membuat Malik melepas single earphonenya. Suara tembakan itu bisa saja menghancurkan gendang telinganya.
Tampak beberapa anak buahnya yang berada di garda depan sudah bergerak. Kemudian disusul oleh anak buahnya yang berada di belakang. Malik sendiri berjalan santai.
'Ibu pasti sudah menghancurkan baju-baju tidak jelas itu,' batin Malik.
Pagi ini dia mengadu pada ibu Anna, mengatakan apa yang menjadi keresahannya. Dan, dia sangat puas dengan jawaban ibu mertuanya itu.
"Serang!" teriak anak buahnya.
Rentetan tembakan antara anak buahnya dan musuh menjadi melodi dengan nada yang tak beraturan. Malik melangkah maju, sesekali menembakkan peluru pada musuh.
"Katakan pada Kai, jangan membunuh semuanya. Sisakan beberapa," titah Malik pada anak buahnya.
'Dia tidak akan memakai pakaian kurang bahan itu lagi!' kata Malik dalam hati.
Situasi tegang dengan tembakan yang terus bersahutan juga aroma mesiu yang masuk ke dalam hidung, tak membuat pikiran Malik terganggu. Dia terus memikirkan apa yang terjadi di rumah, membayangkan bagaimana istrinya itu harus merelakan pakaiannya. Malik harap, Anna jera dan tidak akan membeli pakaian seperti itu lagi.
"Oke, Bos!" Pria bertubuh kecil itu melesat maju. Menghilang di antara padang ilalang.
Setengah jam berlalu dengan keadaan menegangkan dengan irama tembakan yang terus bersahutan. Sekarang situasi lebih tenang, jeritan lirih kesakitan dan mayat tergeletak menjadi pemandangan yang sudah biasa.
Malik berjalan sembari melangkahi mayat-mayat itu. Beberapa anak buahnya terluka, tetapi hal itu tentu hanya masalah kecil.
Misi ini terlalu mudah, sangat mudah. Amatir tentu bukan tandingan Malik.
"Clear, Bos!" seru anak buahnya. Menandakan bahwa keadaan di situ sudah aman, artinya kubu Malik keluar sebagai pemenang.
Malik pun segera masuk ke dalam gedung kumuh itu. Aroma busuk yang menyengat langsung menyerang indera penciumannya.
"Tuan," Kai, sang ketua kelompok membungkuk hormat.
"Sesuai dengan yang Tuan perintahkan, saya sudah menyisakan lima orang untuk diinterogasi."
"Lalu di mana anak-anak itu?" tanya Malik. Tatapannya sekilas mengamati lima orang yang terikat di lantai.
"Kami sedang mengeluarkan mereka satu per satu dari ruang bawah tanah, Bos." Kai menjawab.
Perlu beberapa menit untuk menyelamatkan anak-anak itu, karena akses ke ruang bawah tanah tidak ada, jadi pilihan yang ada hanyalah dengan menarik mereka satu per satu.
Malik berjalan mendekati salah satu pria yang terikat.
"Siapa Tuan kalian?" tanya Malik dengan nada yang membuat orang bergidik ngeri.
Malik memasukan tangannya ke saku celana, memindai satu per satu orang tersebut. Sementara Kai terus mengekor di belakangnya.
"Jika kalian mau memberitahuku, maka akan kujamin, keselamatan kalian."
Tampak kelimanya saling bersitatap, ada yang ragu, tetapi saat ini yang penting adalah nyawa. Siapa yang ingin mati? Sepertinya tidak ada orang yang menginginkan kematian.
"Oke! Waktu habis!" Malik tak suka menunggu lama. Dia menatap Kai.
"Bunuh orang-orang ini. Mereka tidak berguna sama sekali!" kata Malik pada Kai.
Dengan senang hati, Kai langsung membidikkan pistolnya.
"Tu-tunggu Tuan!" salah satu di antaranya memekik. "Saya bisa katakan siapa yang menyuruh kami!"
Malik menoleh sekilas, seutas senyum tercetak di wajahnya.
"Orang itu adalah—"
Dor!
Satu tembakan terlepas, entah siapa dan dari mana.
Kai dan yang lain langsung siaga, berdiri di sekitar Malik untuk melindungi tuannya. Tatapan mereka terarah pada balkon atas yang cukup gelap.
"Hei, pengecut! Keluarlah!" pekik anak buah Malik.
Kai fokus, dia merasa lalai karena tidak memeriksa dengan betul ruang-ruang yang ada di gedung itu.
Sementara itu, dari jarak yang tidak terlalu jauh, seorang pria tengah bersiap membidikan satu tembakan pada pria yang sesuai dengan foto yang dia terima.
Dia cukup kesulitan karena pria itu dikelilingi beberapa pria. Dan sepertinya dia harus mengalihkan perhatian orang-orang itu. Mencari celah agar bisa menembak dengan tepat.
Pria itu harus mati! Begitulah perintah yang dia dapat.
Dor!
Dia melepas tembakan pada lima orang yang ditangkap kelompok itu. Mereka memang orang yang tidak berguna, dan orang yang tidak berguna sudah sepantasnya mati.
"Lindungi mereka Kai!" perintah Malik.
Kai mengangguk, berpindah posisi.
Dor!
Tembakan cepat itu tepat mengenai tuannya.
"Bos!!!"