Perdebatan Anna dan Malik

"Jangan pedulikan aku!" pekik Malik. "Fokus! Fokus!" perintahnya.

Malik yang tertembak di lengan itu langsung berjongkok, darah mengalir deras dan dia harus segera menghentikannya.

Kai mendongak, dia sangat yakin, sniper itu berada di atas. Mengamati mereka dari balkon yang minim penerangan.

Malik menyobek kaos yang dipakainya, mengikat lukanya. Kemudian mengeluarkan pisau berukuran kecil, dan langsung mengeluarkan peluru yang bersarang di lengannya.

"Hmmmphh!" Suaranya tertahan. Rasa sakit seperti itu sudah biasa dia alami. Malik tentu mampu menghadapinya.

Kai mengangkat tangan, mengarahkan beberapa anak buahnya untuk mengikutinya.

Sementara itu, setelah tidak berhasil membidik kepala Malik, pria itu merasa harus pergi. Dia tentu tidak bisa menghadapi orang-orang itu sendirian. Dia melangkah mundur pelan. Satu keuntungan yang dia miliki saat ini, yaitu, dia mengenal gedung itu dengan sangat baik.

*

"Kapan Malik pulang?"

Jarum jam menunjuk pukul 9 malam, tetapi suaminya itu tidak pulang-pulang, pun tidak ada kabar darinya. Para pelayan dan pengawal juga tidak ada yang tahu keadaan suaminya itu. Bahkan Erick pun tidak tahu. Anna merasa seperti istri yang tengah diduakan, bukankah pria yang selalu pulang malam dan tidak memberi kabar lekat dengan perselingkuhan?

"Sebentar lagi, Tuan pasti pulang, Nona," ucap Lily menenangkan.

"Bagaimana bisa kau tahu? Nomor Malik saja tidak bisa dihubungi." Tatapan Anna tidak beralih sama sekali, dia terus memandang pekarangan yang kosong.

Entah kenapa hatinya tiba-tiba gelisah tanpa sebab, seperti ada yang sakit. Apakah ini rasanya diselingkuhi? Selama ini, Anna tidak pernah diduakan. Nasibnya buruk karena pria yang dia sukai hanyalah pria hidung belang, dan dia tidak pernah merasa sakit hati karena memutuskan mereka.

Di ruang lain, Erick disibukkan dengan telepon dari Kai.

"Sedikit katamu?!" Intonasi suara Erick meninggi, setelah mendengar laporan bahwa tuannya tertembak. Apa yang dilakukan oleh anak buah Malik sampai bosnya tertembak seperti itu?

Kai menjauhkan ponsel dari telinganya, dia sudah tahu, reaksi ayahnya pasti seperti itu. Terlalu berlebihan.

"Ayah tenang saja, kondisi Tuan Muda sangat baik," lontar Kai.

Erick mengusap wajahnya dengan kasar, apa yang dilakukan putranya?

"Dasar tak becus, kau—"

Tut-tut-tut. Demi kebaikan bersama, Kai terpaksa memutus sambungan telepon itu. Ayahnya pasti menceramahinya dari A sampai Z, jika telepon itu terus tersambung.

"Ck! Anak sialan!" umpat Erick. Sekarang, bagaimana dia memberitahu nonanya? Napas Erick kembang kempis, dia lalu duduk, berusaha mengendalikan emosinya. Dokter sudah memberinya peringatan, dia tidak ingin seisi rumah mengkhawatirkannya lagi.

"Kembalilah Lily, kau perlu istirahat juga. Terima kasih sudah menemaniku," ucap Anna.

Anna berdiri, saat hendak melangkahkan kakinya, suara pagar dibuka dengan deru kendaraan membuat Anna mendekati jendela. Malik sudah datang?

Anna ingin mengomeli pria itu, tak hanya mengomel, dia juga perlu meminta pertanggungjawaban atas perbuatan Malik. Karena keluhannya itu, ibunya membakar semua baju miliknya.

"Nona, Nona mau kemana?" Lily mengejar.

Anna berlari cepat, tak sabar bertemu dengan Malik. Ada banyak protes yang ingin dia luapkan, tetapi ada satu perasaan aneh yang menyelip. Perasaan aneh yang membuat dadanya bergetar. Anna sendiri tidak tahu dengan sebutan perasaan itu.

"Malik!!" teriaknya. Suara teriakan Anna membuat beberapa anak buah yang mengantar Malik seketika mendongak, menatap istri tuannya yang sedang mengenakan gaun malam yang cukup seksi.

'Ck! Kenapa dia masih memakai pakaian seperti itu lagi?!' kesal Malik.

"Kalian!" Suara Malik geram, "Jangan melihatnya! Jaga mata kalian! Atau siap-siap dengan hukuman!"

Peringatan itu tentu membuat mereka menunduk, beberapa tak menyangka kalau bosnya ternyata overprotektif juga terhadap pasangannya.

Napas Anna ngos-ngosan, dadanya naik turun, dan belahan yang terlihat jelas membuat Malik menyipitkan mata. Apa dia tak cukup jelas menyampaikan bahwa dia tidak suka dengan pakaian Anna? Atau memang istrinya lah yang bebal?

"Aku ingin bicara denganmu!" tandas Anna. Tak peduli dengan sekitar, pun dengan orang-orang yang ada di belakang suaminya.

Malik menatap datar, "Apa kau tidak lihat? Aku baru pulang dan aku ingin istirahat!"

"Ini penting!" lantang Anna, "dan aku sudah menunggumu seharian!" Ada nada kesal di balik suara Anna.

'Setidaknya beri aku kabar, kalau kau ingin pulang telat. Jangan membuatku menunggu seperti orang gila!' batin Anna.

Malik diam sesaat, kemudian mengembuskan napas besar. Tatapan Anna menyatakan dengan jelas bahwa dia tidak ingin ditolak.

"Baiklah," jawab Malik.

Anna menarik tangan Malik, keduanya lantas berjalan dengan sedikit terburu-buru. Malik menyeimbangkan langkah dengan istrinya yang berjalan sedikit cepat. Entah apa yang ingin dibicarakan Anna sampai bersikap seolah tidak bisa dibicarakan besok.

Namun ada satu yang Malik sadari saat ini, genggaman tangan istrinya begitu hangat. Rasa hangat itu bahkan sampai menjalar di dadanya, menciptakan perasaan aneh yang sulit dia identifikasi.

Klek.

Anna mengunci kamarnya, seakan-akan dia takut jika tidak melakukannya, maka suaminya itu bisa kabur.

"Duduk!" Anna memerintah.

Malik menatap Anna, mengikuti perintah gadis itu seperti seorang anak kecil yang sangat penurut.

Tubuhnya saat ini tentu sangat lelah, ditambah rasa ngilu dan nyeri di lengannya, membuat Malik ingin cepat-cepat istirahat.

"Cepatlah Anna. Aku sangat lelah ...." Malik menghentikan kalimatnya, keheranan melihat apa yang dilakukan oleh istrinya.

Anna mengendus-endus tubuh Malik, tidak ada aroma alkohol, atau pun aroma parfum wanita. Dia juga mengecek kemeja Malik, tidak ada tanda-tanda lipstik atau hal lain.

"Ada apa?" Malik buru-buru menarik tubuhnya. Jika Anna memeriksa lengannya, jawaban apa yang harus dia berikan?

"Tidak ada!" Anna melipat kedua tangan di dada, tatapannya tajam seakan memindai tubuh Malik dengan sangat teliti. Hingga tatapannya terhenti pada satu titik.

Malik mengusap dahinya, apa dia berbicara dengan wanita gila yan tiba-tiba berbuat ini itu tanpa alasan yang jelas?

"Seharian ini, apa saja yang kau lakukan?" selidik Anna.

Seperti yang dia ketahui, Malik hanya sesekali datang ke kantor. Dia menyelesaikan semua pekerjaan di rumah.

"Tentu saja bekerja, Anna. Bukankah Lily dan yang lainnya sudah mengatakannya padamu? Kenapa kau bertanya lagi?"

Malik rasa pertanyaan yang akan dilontarkan selanjutnya, pasti pertanyaan yang tidak penting.

"Benar bekerja?" Alis Anna terangkat sebelah. "Dengarkan aku, Malik, aku bukan wanita bodoh, aku tahu tentang jam kerja. Dan tidak ada ceritanya orang kerja berangkat pagi, dan pulang semalam ini."

"Itu karena aku banyak urusan, Anna," dalih Malik.

"Kalau kau ingin tanya apa saja urusanku itu, besok aku akan menyuruh Erick untuk menjelaskan detailnya." Malik berdiri, pembicaraan dengan Anna hanya membuatnya semakin lelah.

Anna tak puas, kenapa orang lain selalu dilibatkan dalam rumah tangga mereka? Bukankah Anna menikah dengan Malik? Bukan dengan Erick atau yang lain. Kenapa malah selalu orang itu yang memberitahunya? Kenapa tidak Malik?

"Tunggu Malik!" Tanpa sadar, Anna mencengkeram lengan pria itu. Dia sudah bersiap untuk protes. Namun, kalimat yang ingin dikeluarkan terhenti saat melihat darah dari lengan yang dia cengkeram.

"Ma-Malik, apa ini?"