Dua minggu kemudian ….
Karin sudah menghubungi Eliza kalau dia akan ke Jakarta hari ini, dan pagi tadi dia sudah tiba di Jakarta. Karin ada urusan yang harus diselesaikan di kantor kementrian siang ini, jadi dia ada waktu untuk bertemu dengan Eliza pada sore hari.
Mereka bertemu di sebuah kafe pukul 5 sore, Eliza sudah sampai di kafe terlebih dahulu. Tidak berapa lama, Karin datang. "El …," teriak Karin dari pintu begitu melihat Eliza sudah duduk menunggu. Mereka berpelukan melepas rindu, "Apa kabar kamu El?"
"Baik alhamdulillah, kamu gimana? Makin cantik saja .…"
"Kan cantiknya sudah dari dulu si El …," jawab Karin berseloro.
Mereka mengobrol dengan hangat, mulai dari hal yang umum-umum sampai pada tujuan utama Karin menemui Eliza, " Eh El gimana pacar kamu? Sudah baikan?"
"Hemmm … ya gitu deh Rin, belum banyak perubahan. Dalam 2 minggu ini saja sudah 2 kali bolak-balik masuk rumah sakit."
"Oh ya? Kok bisa?"
"Gak tahu deh Rin. 5 hari dirawat, 2 hari di rumah terus masuk rumah sakit lagi."
"Ya ampun kasihan sekali, tapi kamu masih perhatikan dia kan?"
Eliza tidak langsung menjawab, dia menarik nafas dalam-dalam. "Memperhatikan sih iya, tapi gimana ya … rasanya beda."
"Beda gimana?"
"Aku merasa perasaanku sudah gak seperti dulu lagi Rin."
"Oh ya? Serius kamu El?"
"Iya, aku seperti sudah capek Rin lihat Eric yang gak ada perkembangannya. Aku jahat gak sih Rin?"
"Hemmm, wajar sih El. Itu manusiawi, kamu gak jahat kok. Mungkin siapapun ada di posisi kamu akan berbuat hal yang sama."
Eliza tidak menjawab, dia mencoba memahami apa yang dikatakan Karin. "Tapi aku gak tahu gimana ngomongnya sama Eric nanti Rin."
"Ya mungkin gak sekarang kamu bicara masalah itu, kamu yakinkan dulu hati kamu. Gak usah buru-buru juga, karena itu keputusan besar, kamu harus pertimbangkan matang-matang."
Eliza mengangguk, "Makasih ya Rin …."
"Iya, kapan kamu mau cerita hubungi aku saja. Oh ya Dirga titip salam tuh .…"
"Oh ya? Salam balik deh."
"El, menurut kamu Dirga itu gimana?"
"Loh kok tanya aku? Kan kamu lebih kenal Mas Dirga dari pada aku."
"Iya … tapi menurut pandangan kamu Dirga itu gimana?"
"Ehmmm, baik. Sejauh ini sih aku rasa dia laki-laki baik."
"Hemmm, laki-laik baik cocok dong buat perempuan baik, iya kan?"
"Maksudnya apa sih Rin?"
"Menurut aku kamu baik, menurut kamu Dirga baik. Kalian sama-sama baik, aku rasa kalian cocok …," ujar Karin bersemangat.
"Hah? Ngawur kam Rin, ada-ada saja .…"
"Aku serius El, aku ingin kamu jadi bagian keluarga kami. Aku rasa kamu cocok jadi kakak ipar aku deh." Karin berusaha meyakinkan Eliza.
"Gak mungkinlah Rin, Mas Dirga itu sudah bisa dikatakan bagian pejabat negara loh. Aku yang hanya remahan rengginang gini apa pantas sama dia?"
"Kata siapa kamu remahan rengginang? Kamu itu puing intan berlian sayang, kamu itu berharga."
"Bisa saja kamu jawabnya, sudah ah gak mau bahas ini. Kamu buat aku merasa tersanjung saja."
Karin terkekeh, dia baru pertama kali melihat Eliza salah tingkah. Mereka kembali mengobrol dengan topik yang berbeda.
Setelah selesai bertemu dengan Eliza, Karin segera menghubungi Dirga. Karin memberikan semua informasi yang dia dapat dari Eliza.
"Serius dia merespon seperti itu?" tanya Dirga dari seberang.
"Iya, buat apa juga aku bohong. Wajahnya malu-malu gitu. Aku rasa sih ini sudah lampu hijau. Kamu tancap gas lah Ga."
"Oke, kebetulan juga lusa aku ke Jakarta lagi. Semoga bisa curi waktu bertemu Eliza lagi."
"Berapa hari di Jakarta?"
"Sekitar 4 hari, tapi waktunya padat. Nanti aku usahakan atur waktu agar buisa bertemu dengan Eliza."
"Hemmm … itu urusan kamu deh, urusanku sudah beres. Sekarang tergantung kamu …."
"Siap laksanakan, semua pasti akan berjalan lancar."
***
Dirga seakan mendapat kepercayaan diri penuh mendekati Eliza, hampir setiap hari mereka berkomunikasi. Minimal bertukar pesan, menanyakan kabar, kegiatan harian dan aktifitas masing-masing. Eliza juga merasa senang ada yang lebih memperhatikannya. Tak jarang dia senyum-senyum sendiri melihat pesan yang dikirimkan Dirga.
Kedekatan Eliza dengan Dirga semakin membuat hubungan Eliza dengan Eric renggang. Eliza semakin jarang mengunjungi Eric, bahkan ketika Eric meminta sekali pun kerap kali Eliza menolak. Dengan alasan tugas kuliah yang banyak, kelelahan, ada janji dengan pasien dan banyak alasan lagi. Dia merasa hubungannya dengan Eric sudah tidak sehat lagi dan tidak cukup kuat untuk bisa bertahan apa lagi untuk diteruskan.
Hari ini Dirga mengajak Eliza bertemu, karena Eliza harus praktik sore dia meminta Dirga bertemu malam saja. Dirga setuju saja, karena memang waktu Dirga juga terbatas. Pukul 8 malam, setelah selesai praktik Eliza langsung buru-buru ke kamar dan mengganti bajunya. Dia layaknya seorang wanita yang sedang diajak kencan, dia merias dirinya agar terlihat cantik.
"Kamu mau ke luar El?" Ibu Fadilah muncul di pintu kamar Eliza.
"Iya Bu, sebentar lagi dijemput."
"Sama siapa?"
"Sama teman." Eliza sengaja tidak memberitahukan Ibunya kalau dia keluar bersama Dirga, karena pasti akan diceramahi.
"Ooh, pulangnya jangan terlalu malam. Kamu belum ada istirahat hari ini, kasihan badan kamu."
"Iya Bu, nanti sekitar jam 10 sudah pulang kok."
"Ya sudah."
Selang 15 menit, mobil Dirga sudah ada di depan. Eliza langsung pamit dan pergi, Ibu Fadilah heran melihat puterinya yang buru-buru. Ibu Fadilah mengintip dari jendela, melihat siapa yang menjemput Eliza, "Laki-laki itu lagi, ada hubungan apa mereka sebenarnya?" gumam Ibu Fadila pelan.
"Bicara sama siapa sih Bu?" tegur Pak Budi.
"Ck, itu loh Pak anak kita …."
"Memang ada apa dengan Eliza?"
"Sudah beberapa kali Ibu lihat dia jalan dengan laki-laki lain, padahal dia kan masih berhubungan dengan Eric. Ibu gak mau anak kita nanti dicap yang tidak-tidak oleh keluarga Eric."
"Ibu sudah tanya siapa laki-laki itu sama Eliza?"
"Katanya sih teman, tapi teman kok sedekat itu."
"Sudahlah Bu, era kita itu sudah beda. Eliza pasti sudah lebih mengerti apa yang pantas untuk dilakukan. Gak usah diikuti terus, dia bukan anak kecil lagi."
"Ya semoga saja gak salah jalan. Yang Ibu khawatirkan, dia lupa kalau dia sudah punya pasangan, apalagi Eric sedang sakit sekarang."
"Eric sakit? Sakit apa?"
"Sakit kanker paru katanya Pak, sudah stadium lanjut lagi .…"
"Wah, parah juga ya. Eliza bagaimana?"
"Maksud Bapak?"
"Ya Eliza bagaimana dengan Eric? Setelah tahu Eric sakit, dia masih mau melanjutkan hubungannya?"
"Ya harus dong Pak, Eric itu baik loh. Eliza sudah banyak hutang budi sama Eric, gak boleh pergi begitu saja dong Pak," jawab Ibu Fadilah tegas.
"Ya namanya hutang bisa dibayar Bu, jangan karena hutang Eliza jadi terpaksa. Kalau Eliza masih mau melanjutkan hubungan mereka, ya tidak masalah. Tapi kalau Eliza punya pilihan lain, bukan hal yang salah menurut Bapak."
"Ah Bapak ngawur, mentang-mentang Eric sakit kok malah ngomong begitu .…" Ibu Fadilah kesal mendengar pendapat suaminya, dia memilih masuk ke dalam kamar.