Api Asmara

Dirga membawa Eliza makan malam di sebuah resto yang cukup romantis, tidak sia-sia Eliza merias wajahnya sebelum pergi dengan Dirga. Dirga semakin menambah nilainya di hadapan Eliza, dengan memperlakukan Eliza dengan sangat baik. Mereka mengobrol ringan dengan sesekali saling mencuri pandang. Benih-benih cinta mulai tumbuh diantara dua insan itu.

Derrrtttt … derrrrtttt …

Getaran telepon seluler Eliza membuyarkan suasana, panggilan video dari Eric. Eliza melihat Dirga, dia bingung harus bagaimana. Kalau diangkat, Eric akan marah melihat Eliza makan malam bersama Dirga, kalau tidak diangkat Eliza malu pada Dirga.

"Angkat saja El …."

"Gak apa-apa?" tanya Eliza menatap wajah Dirga, Dirga hanya tersenyum memberikan izin pada Eliza. "Halo Ric …." sapa Eliza.

"Hai El, lagi apa? Eh, kamu di luar ya? Lagi ada acara? Kamu kelihatan beda, dandan ya?" Belum apa-apa Eric langsung menghujani Eliza dengan beberapa pertanyaan.

"Iya Ric aku lagi di luar."

"Sama siapa?"

"Sama teman."

"Laki-laki atau perempuan?"

Sebelum menjawab, Eliza melirik Dirga. Dirga pura-pura tidak menyimak obrolan mereka, dia mengalihkan pandangannya pada makanan yang ada di depannya. "Ehmm, laki-laki Ric," jawab Eliza pelan.

"Berdua?" Eric mulai dingin.

Eliza mengangguk dan seketika panggilan terputus. Eric memutus panggilannya, seperti biasa dia terbakar api cemburu. Eliza menghela nafasnya dan meletakkan kembali telepon genggamnya.

"Sudah beres? Kok cepat banget?" tanya Dirga.

"Ehmmm, mungkin ada gangguan operator. Panggilannya terputus."

"Cowok kamu cemburuan ya El?"

"Ya gitu deh Mas."

"Sudah berapa lama kalian menjalin hubungan?"

"Sudah sembilan tahun lebih."

"Wow, itu bukan waktu yang sebentar loh, sudah sampai mana keseriusan hubungan kalian El?"

"Ehmm sepertinya gak usah dibahas deh Mas, takutnya nanti merusak suasana. Kita bahas yang lain boleh kan Mas?" Eliza berusaha mengalihkan pembicaraan.

"Oh, oke maaf ya, bukan aku mau tahu masalah pribadi kamu. Sekali lagi maaf ya El." Tanpa sadar Dirga mengelus tangan Eliza. Eliza yang masih risih kontak fisik dengan Dirga segera menarik tangannya, Dirgapun tersadar, "Eh, sori El … aku gak niat untuk …."

"Gak apa-apa Mas." potong Eliza.

"Sekali lagi maaf ya, aku sudah lancang."

Untuk beberapa saat Eliza dan Dirga terlihat canggung, untungya Dirga bisa mencairkan suasana dengan berbagai macam ceritanya. Dan yang paling menarik adalah cerita mengenai perjalanan karirnya. Cara Dirga bercerita, gestur tubuhnya saat berbicara sangat mencerminkan jabatannya sekarang. Eliza semakin terjerat pesona dengan karisma yang dimiliki Dirga.

Eliza betah berlama-lama menatap wajah Dirga, seperti menemukan oase di padang gurun pasir. Dirga sadar kalau Eliza sudah mulai tertarik padanya, Dirga juga semakin berani menatap wajah Eliza lebih lekat lagi. Dan sesekali melempar senyum.

"Mas kan anak tunggal, apa gak ada desakan dari orangtua untuk segara menikah?"

"Bisa dikatakan dari beberapa tahun lalu sudah bolak-balik ditanya masalah itu, bolak-balik dikenalkan dengan perempuan tapi belum menemukan yang cocok. Menikah itu untukku adalah sekali seumur hidup, lebih baik lama untuk menikah dari pada cepat untuk menikah tapi salah pilih pasangan. Iya kan?"

"Iya benar sekali. Aku setuju mengenai itu, aku paling gak suka kalau ada orang tanya mengenai kapan menikah dan lain sebagainya. Setiap orang kan pasti punya target masing-masing dalam hidupnya, dan tidak semua menjadikan menikah sebagai target pertama."

"Iya … terus kalau kamu target menikahnya target nomor berapa El?"

"Ehmmm … dulu sih targetnya menikah itu adalah target nomor 3 dan harusnya sekarang untuk dieksekusi. Tapi sepertinya akan mundur."

"Kenapa mundur?"

"Gimana ya Mas … rumitlah kalau mau diceritakan. Kalau Mas gimana? Masih belum ketemu sama yang cocok?"

"Sudah," jawab Dirga singkat.

"Oh ya? Berarti sebentar lagi dong .…"

"Harapannya sih seperti itu, tapi dia masih milik orang lain."

"Hah? Istri orang?"

"Bukan dong El, dia belum menikah. Tapi lagi ada hubungan dengan orang lain," jawab Dirga sambil menatap wajah Eliza lekat.

"Jadi lagi menunggu orang itu putus hubungan dong ya?" canda Eliza.

"Bisa dikatakan seperti itu."

Eliza terkekeh, dia tidak sadar yang dibicarakan Dirga adalah dirinya sendiri. Mereka terus mengobrol sangat akrab. Hampir jam 10 malam mereka pulang. Dirga mengantar Eliza kembali ke rumah.

"El .…"

"Ya Mas?"

"Kamu mau tahu gak orang yang aku maksud tadi?"

"Maksudnya?"

"Orang yang aku tunggu putus dengan pasangannya."

"Memangnya aku kenal?"

"Harusnya sih kamu kenal .…"

"Oh ya? Siapa Mas?"

"Kamu," jawab Dirga dengan yakin.

Mata Eliza terbelalak, lidahnya kelu, dadanya sesak. Dia mengerjapkan matanya berkali-kali, satu tangannya mencubit tangannya yang lain, memastikan kalau dia tidak sedang bermimpi. Satu katapun tidak bisa ke luar dari mulutnya.

"El, kamu sudah sampai," ujar Dirga dengan senyum mengembang di bibirnya. Dia merasa geli melihat ekspresi Eliza.

"Oh iya Mas, aku turun dulu." Eliza lalu bergegas turun dari mobil Dirga, sanking gugupnya dia membuka pintu mobil dan hendak turun tanpa membuka sabuk pengamannya. "Aduh …." Hampir saja Eliza terjatuh.

"Sabuk pengamannya El …." Dirga membantu Eliza membuka sabuk pengamannya.

Eliza tidak menyahut, dia salah tingkah, malu dan gugup. Dia tidak pamit lagi dan langsung masuk ke dalam rumah. Dirga menahan tawanya, ekpresi Eliza seperti anak remaja yang sedang jatuh cinta.

***

Eliza masuk ke dalam kamar, di merebahkan tubuhnya di atas tempat tidur. "Bodoh banget sih aku, kenapa sampai gugup banget tadi di depan Dirga … kenapa harus konyol banget sih .…" Eliza merutuki dirinya sendiri. Namun di balik rutukannya, dia juga senang kalau wanita yang sedang ditunggu Dirga adalah dirinya.

Dia tidak bisa menyembunyikan kegembiraan hatinya, Eliza mengangkat bantal dan menutupi wajahnya dengan bantal tersebut. "Ya ampun … perwira polisi jatuh cinta sama aku. Mimpi apa aku ya Tuhan …. Sudah ganteng, berwibawa, punya jabatan, baik lagi. Sempurna banget .…" gumam Eliza.

Perasaan Eliza saat ini persis seperti perasaannya 9 tahun silam, saat Eric mengungkapkan perasaannya pada Eliza. Eliza juga sangat senang, seorang anak orang kaya jatuh cinta padanya. Tapi sekarang dia sudah melupakan perasaan itu, bahkan mengingat Eric saja tidak. Padahal 2 jam yang lalu, terjadi gesekan diantara mereka. Sedikitpun tidak ada niat Eliza untuk menghubungi Eric dan memperbaiki semuanya.

Bip … bip …

Satu notifikasi masuk ke telepon genggam Eliza. Eliza meraih telepon genggangnya, 1 pesan masuk dari Dirga. 'El, aku sudah sampai hotel ya. Terimakasih sudah menemaniku malam ini. Terimakasih juga sudah memberikan waktu untukku lebih mengenalmu lagi. Aku akan tunggu kamu El, sampai kamu membuka hati untukku. Kamu istirahat ya El, selamat malam.'

Eliza kembali menutup wajahnya dengan bantal, kalau bukan karena sudah malam mungkin Eliza akan berteriak-teriak meluapkan kebahagiaannya.