Perintah Turun Gunung

"Cepat bangun dan lekas pergi dari sini!!!" bentak Zhang Yi kepada ketiga orang tersebut.

"Ba-baik, Siauya (Tuan muda). Kami, kami akan segera pergi," ujar salah seorang pria kekar tersebut.

Sambil bicara demikian, ketiga orang itu pun berusaha untuk bangun dari posisinya. Selang sesaat kemudian, akhirnya meraka bisa berdiri juga. Selanjutnya, orang-orang tetap langsung pergi terbirit-birit.

Selepas perginya tiga pria kekar tersebut, Zhang Yi segera berjalan menghampiri gadis malang tadi.

"Siocia (nona) tidak papa?" tanyanya dengan sopan.

"Aku, tidak papa. Terimakasih Inkong (Tuan penolong)," ujarnya sambil menjura.

"Ah, siocia tidak perlu sungkan. Sudah sepantasnya selaku manusia itu harus saling tolong menolong,"

Cara bicara Zhang Yi sangat lembut dan terdengar begitu hangat. Sorot matanya memancarkan ketenangan. Belum lagi wajah tampannya yang seolah-olah mampu menarik sukma.

Tanpa sadar si gadis itu menahan nafasnya. Seolah-olah dia takut kalau bernafas, maka sukmanya akan ikut tersedot.

Dua muda mudi itu saling pandang. Meskipun mulut keduanya saling diam, namun seolah-olah mata mereka sudah saling bicara.

"Siocia, mohon lain kali agar hati-hati. Sebab di setiap tempat, bahaya selalu saja mengintai. Nah, sampai bertemu lagi," kata Zhang Yi setelah beberapa waktu termenung.

Setelah selesai bicaranya, dia langsung berlalu pergi dari sana.

Wushh!!!

Tubuhnya berkelebat bagaikan hembusan angin. Hanya beberapa kejap, bayangannya telah hilang dibalik pepohonan.

Sementara itu, si gadis baru tersadar dari lamunan ketika Zhang Yi telah menghilang dari hadapannya. Dia sempat menengok ke sana kemari. Sayangnya, usaha yang dia lakukan gagal.

"Aih, siapa nama pemuda tampan itu? Kenapa aku begitu bodoh sehingga tidak menanyakan namanya," gumamnya seorang diri.

Wajahnya terlihat sedikit sedih. Sebenarnya dia ingin mengetahui nama pemuda yang sudah menolongnya. Namun sayang sekali, semua itu sudah terlambat.

Dengan berat hati, dia segera melangkah pergi dari sana.

###

Saat ini Zhang Yi sudah tiba kembali di kediamannya. Pemuda itu sedang membakar ikan hasil tangkapannya tadi. Di sisinya ada Pek I Hiap. Sambil membakar ikan, keduanya pun seraya minum arak. Kebetulan arak yang dibeli beberapa hari lalu masih tersisa sedikit.

Meskipun hanya arak keras, tapi jika sedang berada dalam kondisi sekarang, rasanya hal itu saja sudah lebih daripada cukup.

"Anak Yi, sudah berapa lama kau berguru kepadaku?" tanya Pendekar Baju Putih sambil membolak-balikan bakar ikannya.

"Sudah lima tahun, suhu," jawab Zhang Yi tanpa ragu.

Pek I Hiap mengangguk-anggukkan kepalanya. Entah apa yang ada di dalam pikiran gurunya tersebut. Yang jelas, Zhang Yi merasa sungkan untuk bertanya.

"Waktunya telah tiba," gumamnya setelah beberapa saat.

"Maksud, suhu?" tanyanya kebingungan.

"Ya, maksudku, waktu untuk kau turun gunung telah tiba,"

Pek I Hiap berhenti sebentar sekedar untuk menarik nafas. Setelah itu, kembali dia melanjutkan, "Selama lima tahun ini, kau sudah mempelajari semua yang aku ajarkan dengan sangat baik. Semua ilmuku juga sudah diberikan kepadamu. Sehingga saat ini, tidak ada lagi sesuatu yang dapat aku berikan kepadamu. Lagi pula di sisi lain, kau pun masih mempunyai tugas yang berat. Kau harus membalaskan dendam yang menima keluargamu beberapa tahun lalu,"

Zhang Yi menundukkan kepalanya. Hingga detik ini, pemuda itu memilih diam. Dia tahu, sekarang bukanlah saat yang tepat untuknya bicara. Oleh karena itulah, Zhang Yi hanya memilih mendengarkan semua perkataan yang disampaikan oleh gurunya tersebut.

Setelah menarik nafas dalam-dalam, kembali Pek I Hiap melanjutkan, "Anak Yi, apakah kau sudah mendengar semua penuturanku?" tanyanya sambil memandangi wajah murid yang paling disayanginya itu.

"Teecu sudah mendengarkan semua perkataan suhu," jawab Zhang Yi tetap menundukkan kepala.

"Lalu bagaiamana sikapmu?"

"Teecu, teecu …"

Zhang Yi tidak bisa melanjutkan bicaranya. Dia merasakan seolah-olah tenggorokannya tercekat. Seperti ada sesuatu yang menghalanginya untuk bicara.

"Kau harus siap, Anak Yi. Bukankah tujuanmu belajar ilmu silat dariku, adalah untuk membela kebenaran dan membalaskan kematian seluruh keluargamu?"

Zhang Yi tidak menjawab. Dia hanya menganggukkan kepalanya saja.

"Nah justru karena alasan tersebut, maka kau harus siap turun gunung. Semua kepandaian sudah aku wariskan kepadamu. Bekal untuk kau berkelana dalam dunia kang-ouw, menurutku juga sudah lebih daripada cukup. Sekarang waktunya telah tiba, kau harus menjalankan dan menuntaskan semua tugas yang berada di atas pundakmu,"

Suara Pek I Hiap terdengar gagah berwibawa. Seolah-olah siapapun tidak akan ada yang mampu menolak setiap perkataannya.

Termasuk pula dengan Zhang Yi sendiri.

Sekarang dia tidak bisa berbuat apa-apa lagi kecuali hanya menuruti semua perkataan gurunya tersebut.

"Kalau begitu, baiklah suhu. Teecu akan menuruti semua perkataan suhu," ujarnya sambil mengangkat kepala.

Wajah pemuda itu pun terlihat lebih serius daripada biasanya. Matanya mencorong tajam. Seperti halnya mata elang. Tapi dibalik ekspresi wajah yang serius dan mata yang mencorong itu, terselip pula raut kesedihan yang tidak bisa dijelaskan oleh kata-kata.

Pek I Hiap sendiri bisa melihat dengan jelas semua hal tersebut. Namun mau bagaimana lagi? Dia pun tidak bisa melakukan apa-apa lagi. Apa yang dia katakan sekarang, semuanya demi kebaikan Zhang Yi. Murid kesayangannya.

Jika Zhang Yi tidak diperintahkan untuk turun gunung sekarang, lalu mau kapan lagi? Kalau pemuda itu terus berada di hutan tersebut dan tetap tinggal bersama dirinya, bukankah semua jerih payahnya selama ini akan sia-sia?

Ilmu itu untuk diamalkan. Untuk di praktekkan. Bukan untuk didiamkan.

Kalau suatu ilmu tidak diamalkan dan tidak di praktekkan, bukankah hal itu akan percuma?

Di dunia ini, apakah banyak orang-orang yang mempunyai suatu ilmu, tapi ilmu itu sendiri tidak dia amalkan?

Jawabannya tentu saja sangat banyak. Dari dulu sampai sekarang, jawabannya tetap sama.

Lalu jika tidak diamalkan, sebenarnya untuk apa mereka menimba ilmu?

Tiada seorang pun yang mengetahui jawaban tersebut. Entah itu hanya untuk dijadikan 'pajangan' saja, atau mungkin juga untuk menambah 'daftar koleksi' saja.

Isi hati orang, memangnya siapa yang tahu?

"Bagus. Itu baru namanya muridku," kata Pek I Hiap sambil tertawa.

"Apakah teecu harus berangkat sekarang juga?" tanya Zhang Yi kemudian.

"Tidak perlu. Kau boleh berangkat besok pagi saja, sembari mempersiapkan perbekalan sebelum turun gunung,"

"Baiklah, teecu mengerti,"

Pembicaraan pun selesai. Kebetulan pada saat itu, ikan bakar mereka berdua telah matang. Sehingga sekarang ini keduanya sedang makan dengan lahap.

Waktu terus beranjak. Tengah hari telah lewat. Guru dan murid itu sudah menyelesaikan kegiatannya menyantap ikan bakar tadi.

Setelah selesai menyantap ikan bakar, Zhang Yi memilih untuk pergi ke bukit yang berada di sekitar sana. Pemuda itu ingin menyendiri untuk sementara waktu.

Ketika perasaannya sedang berkecamuk seperti sekarang, pemuda tersebut memang lebih suka sendiri. Entah kenapa, baginya, sendiri dan menyatu bersama alam, kadang-kadang membawa suatu ketenangan tersendiri.