Keributan di Warung Kecil I

Lewat beberapa saat kemudian, pemilik warung yang kebetulan seorang pria tua berusia sekitar enam puluh tahun, tampak berjalan ke arahnya. Dia membawa nampan, di atas nampan itulah pesanan Zhang Yi berada.

"Silahkan Siauya (Tuan muda)" katanya sambil menyodorkan pesanan tersebut.

"Terimakasih Lopek (Paman)," jawabnya sambil tersenyum.

Pemilik warung tersebut mengangguk, setelah itu dirinya langsung pergi dari sana.

Asap putih tipis masih mengepul. Bau harum masakan segera menusuk hidungnya. Tanpa membuang waktu lebih lama, Zhang Yi segera menyantap makanan tersebut dengan lahap. Kebetulan, perutnya juga sudah merengek minta diisi.

Tidak berapa lama kemudian, makanan itu sudah habis seluruhnya. Walaupun cuma makanan sederhana, tapi baginya itu saja sudah lebih daripada cukup.

Menurut ajaran Pek I Hiap, semua makanan itu hakikatnya sama saja. Yaitu untuk dimakan. Yang menjadi permasalahannya adalah, apakah kita selalu bersyukur atas makanan-makanan tersebut?

Sekarang pemuda itu sedang duduk sambil menikmati satu guci arak yang tadi dipesan olehnya. Walaupun itu hanya berupa arak keras, tapi baginya tetap terasa nikmat.

Seteguk demi seteguk, arak itu terus masuk ke tenggorokannya. Zhang Yi minum secara perlahan. Baginya, setetes arak pun sangatlah berharga.

Dia amat menikmati semua itu. Apalagi jika ditambah dengan ketenangan suasana sekitar.

Sayang sekali, semua hal tersebut tidak terasa nikmat setelah sepasang matanya melihat ada lima orang pria yang baru saja masuk ke warung kecil tersebut.

Lima pria itu mengenakan pakaian beragam. Wajahnya garang. Masing-masing dari orang tersebut memelihara kumis dan jenggot yang lebat. Bentuk tubuh mereka juga kekar.

Selain itu, masing-masing dari mereka pun membawa sebatang golok yang diselipkan di pinggangnya.

Sekilas pandang saja, Zhang Yi sudah mengetahui kalau mereka bukanlah orang baik-baik.

Tapi meskipun demikian, pemuda itu tetap diam di tempatnya. Dia belum bergerak. Walaupun dirinya sudah mengetahui orang-orang seperti mereka masuk ke dalam golongan mana, tapi karena mereka belum bertindak, maka Zhang Yi tetap berad di posisinya.

Kelima orang pria kekar itu memilih tempat duduk yang masih kosong. Seorang dari mereka pergi menemui kakek tua pemilik warung, kemudian dia segera memesan makanan. Begitu selesai memesan, dia lantas kembali lagi ke tempat di mana teman-temannya berada.

Selang sesaat kemudian, pesanan pun datang. Si kakek tua pemilik warung kembali mengantarkan pesanan ke meja di mana lima pria kekar tadi duduk.

Saat pesanan sudah tiba, orang-orang tersebut segera menyantapnya. Tidak membutuhkan waktu yang lama, semua makanan itu pun sudah habis kembali.

Lima pria itu makan seperti orang-orang yang sedang kelaparan. Seolah-olah mereka sudah tidak makan sebanyak tiga hari.

Semua kejadian tersebut tidak lepas dari pandangan Zhang Yi. Sejak masuk sampai sekarang, dia tidak pernah mengalihkan pandangan matanya dari lima orang tersebut.

Entah kenapa, hatinya berkata bahwa di warung makan itu, sebentar lagi akan terjadi sesuatu.

Tapi apakah itu benar? Ataukah hanya firasat hatinya saja?

Zhang Yi tidak tahu. Terlebih lagi, dia sangat tidak mengharapkan kalau firasat hatinya itu akan terbukti.

Selama ini, pemuda tersebut masih tetap duduk di bangkunya. Meskipun arak dalam guci sudah habis, tapi secara diam-diam, Zhang Yi sudah bertekad bahwa sebelum kelima orang itu pergi, maka dirinya juga tidak akan pergi.

Tanpa terasa, sore telah lenyap dan malam yang gelap gulita sudah tiba. Rembulan muncul menyapa bumi. Para pengunjung warung tersebut sudah silih berganti.

Salah satu dari lima orang tadi akhirnya bangkit berdiri. Dia kemudian berjalan ke arah tempat pembayaran.

"Mana uangmu?" tanyanya kepada si pemilik warung.

"Apa … apa maksudmu?" tanya si kakek tua sangat kaget.

"Aku tidak bermaksud apa-apa. Aku hanya bertanya, mana uangmu?" tanya orang itu sekali lagi.

Sekujur tubuh si kakek langsung gemetaran ketika dia menyadari bahwa orang itu bukanlah manusia baik-baik.

"Tidak ada," jawabnya gugup.

Brakk!!!

Meja di hdapannya dipukul sampai hancur oleh orang tersebut.

"Kau bilang tidak ada? Hah? Aku bukan bocah kecil yang dapat kau bohongi," bentak orang tersebut sambil mencengkeram kerah pakaian si kakek.

"Ja-jangan Loya (Tuan), jangan. Ini … ini hasil usahaku hari ini," kakek tua itu semakin ketakutan. Tubuhnya benar-benar menggigil seolah-olah dia baru saja direndam di air dingin.

"Perduli setan!" ucapnya sambil membantingkan tubuh yang sudah tua renta itu.

Setelah itu, orang tersebut langsung mengambil pendapatan si kakek yang kebetulan ditaruh di dalam laci meja. Begitu berhasil mendapatkan apa yang dicarinya, dia segera tertawa nyaring.

Orang tersebut lalu berjalan ke arah empat rekannya. Sesaat kemudian, mereka langsung bangkit berdiri lalu melangkahkan kakinya keluar.

Pada saat itulah, secara tiba-tiba satu buah guci arak meluncur dalam kecepatan tinggi ke arah lima orang tersebut.

Prakk!!!

Guci arak itu langsung pecah ketika dengan telak menghantam salah satu punggung dari mereka. Saking kencangnya dorongan yang diakibatkan, sampai-sampai orang yang menjadi korban jatuh tersungkur ke tanah.

Kejadian tersebut sangat diluar dugaan semua orang.

Suasana dalam warung kecil itu langsung tegang. Beberapa pengunjung yang masih berada di sana tampak heran bercampur takut.

"Siapa yang berani kurang ajar kepadaku?" tanya orang yang menjadi korban itu.

Matanya melotot dan dia memandang ke sekeliling. Tatapan matanya tiba-tiba berhenti ketika menyaksikan ada seorang pemuda yang sedang duduk dengan tenang dan santainya.

"Apakau kau yang sudah melemparkan guci arak kosong barusan?" tanyanya kepada Zhang Yi.

"Sepertinya begitu," jawab pemuda itu acuh tak acuh.

"Hemm, rupanya kau cari mampus,"

"Aku cari uang, bukan cari mampus," jawab Zhang Yi sambil tersenyum mengejek.

Mendengar jawaban tersebut, tentu saja amarah orang itu semakin berkobar. Sepasang matanya kembali melotot dengan tajam ke arah Zhang Yi.

"Bocah berandalan, rupanya kau sudah bosan hidup,"

"Ah, sudahlah," ucap Zhang Yi sambil memberikan isyarat dengan tangannya. Seteleh berhenti sebentar, kembali dia melanjutkan.

"Sekarang, lebih baik kalian pergi dan serahkan kembali uang yang dicuri itu,"

"Kalau kami tidak mau?"

"Kalau kalian tidak mau, maka dengan berat hati, aku akan memberikan pelajaran kepada kalian," ujar Zhang Yi sambil tersenyum.

Bicaranya tenang. Ekspresi wajahnya juga tenang. Seolah-olah pemuda itu sudah terbiasa berhadapan dengan macam-macam manusia. Padahal sejatinya, selama lima tahun belakangan, baru sekarang saja, Zhang Yi bertemu dengan orang-orang seperti mereka.

Sementara itu, melihat ekspresi pemuda tersebut, lima pria itu justru malah merasa tidak senang. Seorang dari mereka segera maju ke depan lalu berkata sambil bertolak pinggang.

"Bocah ingusan sepertimu ingin memberikan pelajaran kepada kami? Memangnya kau bisa apa?" bentak orang tersebut sambil menunjuk kepada Zhang Yi.

Tidak menunggu lebih lama lagi, ketika selesai berkata, dirinya langsung melayangkan sebuah pukulan keras yang mengarah ke pelipis.

Wushh!!! Crapp!!!

Kepalan tangan orang itu berhasil ditangkap oleh Zhang Yi. Dia segera meremasnya. Suara remuknya tulang langsung terdengar gemerutuk. Orang tersebut melototkan sepasang matanya sambil menggertak gigi. Rasa sakit yang teramat sangat segera menjalar ke seluruh tubuhnya.