Perpisahan

Zhang Yi tidak bicara sepatah kata pun. Dia tetap diam. Diam seribu bahasa. Kepalanya tetap tertunduk. Seolah-olah dia tidak sanggup untuk mengangkat kepalanya itu. Seakan-akan di atas pundaknya ada batu besar yang menindih sehingga pemuda itu tidak sanggup berbuat apa-apa.

Lewat beberapa waktu kemudian, akhirnya Zhang Yi mengangkat kepalanya juga. Tapi begitu diangkat, ternyata air matanya sudah berlinang.

Dia menangis. Tapi tidak mengeluarkan suara isak tangis walau sedikit pun. Tidak ada pula kata-kata yang keluar dari mulutnya.

Ketika seseorang sedang merasakan sakit yang teramat sangat, kadang kala mulutnya tidak sanggup untuk bicara. Oleh karena itulah, ketika manusia sedang berada dalam posisi tersebut, maka yang mampu bicara hanyalah air matanya saja.

Namun meskipun demikian, hal tersebut rasanya sudah lebih daripada cukup.

Walaupun Zhang Yi seorang pria, tapi hakikatnya dia adalah manusia. Selaku manusia, menangis bukanlah suatu kelemahan.

Menangis justru adalah sesuatu yang normal. Pertanda bahwa manusia itu masih mempunyai perasaan. Pertanda bahwa hatinya belum mati.

Kalau begitu, lalu bagaimana dengan manusia yang sudah tidak bisa menangis? Apakah benar dia sudah tidak punya perasaan? Apakah benar hatinya sudah mati?

Tiada seorang pun yang mengetahui jawabannya.

Setelah sekian lama terdiam, akhirnya Zhang Yi bicara kembali.

"Suhu …" pemuda itu langsung bersujud di bawah kaki gurunya.

"Semua jasamu tidak akan pernah bisa aku balas. Aku hanya bisa berjanji akan mendengarkan dan menjalankan semua perintahmu. Tolong, restui muridmu yang bodoh ini untuk melaksanakan tugas-tugas berat yang sudah menjadi tanggungjawabku,"

"Doaku selalu menyertaimu," jawab Pendekar Baju Putih sambil menahan kesedihan.

Cukup lama pemuda itu berusjud. Setelah beberapa saat kemudian, dia segera bangkit dari posisinya.

Sekarang, Zhang Yi sudah berdiri. Setelah memberikan penghormatan terakhir, dengan perasaan yang sangat berat dan penuh kesedihan, dia langsung membalikkan tubuhnya lalu berjalan keluar dengan langkah perlahan.

Pemuda itu tidak membalikkan tubuh. Tidak pula menghentikan langkah kakinya.

Seolah-olah Zhang Yi takut, kalau dia menengok ke belakang dan menghentikan langkahnya, dirinya malah tidak sanggup untuk pergi dari sana.

Sementara itu, Pek I Hiap sendiri tidak beranjak dari tempat duduknya. Dia tetap berada dalam posisi yang sama. Tubuh itu seakan telah berubah menjadi batu yang tidak bisa bergeser walau sedikit pun.

Hanya matanya saja yang mengikuti kepergian murid kesayangannya itu. Tanpa terasa, dua baris air mata jatuh membasahi pipinya.

Seorang tokoh sakti dunia persilatan sepertinya, ternyata masih bisa meneteskan air mata.

Kalau tidak menyaksikan secara langsung, siapa yang akan mempercayai hal ini?

Beberapa saat sudah lewat. Matahari sudah semakin tinggi. Zhang Yi pun sudah menghilang dari pandangan.

"Hahh …" Pendekar Baju Putih tiba-tiba menghela nafas.

Suaranya terdengar sangat berat. Raut wajahnya pun sedikit berubah. Tiba-tiba beberapa kerutan terlihat di mukanya. Seolah-olah tokoh sakti itu telah bertambah tua beberapa tahun.

Apakah semua itu diakibatkan karena kepergian murid tunggalnya yang paling dia sayangi?

Tiada yang tahu akan hal tersebut.

Mendadak Pek I Hiap bangkit dari tempat duduknya. Dia berjalan ke bagian dalam goa. Begitu keluar, orang tua itu pun tampak membawa buntalan.

Pendekar Baju Putih melangkahkan kakinya keluar goa. Ketika sudah berada cukup jauh, tiba-tiba dia membalikkan tubuhnya.

Orang tua itu memandangi goa tersebut untuk beberapa saat. Sekejap kemudian, tiba-tiba kedua tangannya melakukan sebuah gerakan yang sangat cepat.

Wushh!!! Blarr!!!

Cahaya kekuningan tiba-tiba melesat sangat cepat ketika dia menghentakkan telapak tangannya ke depan. Setelah cahaya kuning itu terlihat, tiba-tiba sesuatu telah terjadi.

Goa yang selama ini menjadi tempat tinggalnya bersama Zhang Yi, kini telah hancur berkeping-keping karena tidak kuasa menahan dahsyatnya tekanan dari tenaga dalam Pek I Hiap barusan.

Siapapun yang menyaksikan kejadian barusan, pasti dia akan menyangka kalau dirinya sedang bermimpi.

Bagaimana tidak? Goa itu sangat keras. Terbentuk dari bebatuan alam yang kadar kekerasannya pun bahkan sulit untuk dilukiskan.

Tapi, kenyataan bahwa goa tersebut bisa dihancurkan oleh Pek I Hiap hanya dengan satu kali hentakkan tenaga dalamnya.

Kalau tidak melihat secara langsung, benarkah di dunia ini ada orang yang akan percaya tentang kejadian itu?

Serpihan bebatuan goa menyebar ke segala arah. Debu mengepul tebal dan membumbung tinggi. Ledakan barusan ternyata menyebabkan juga beberapa pohon kecil di sekitar sana tumbang.

Tenaga dalam yang sangat dahsyat!

Pendekar Baju Putih masih ada di sana. Matanya memandang lekat-lekat ke tempat di mana goa tadi berdiri. Dia tetap diam. Tidak bergerak walau sedikit pun.

Kenapa tokoh sakti itu menghancurkan goa tersebut?

Alasannya hanya satu, karena dia ingin pergi dari sana!

Sebagai tokoh sakti, Pek I Hiap sudah tahu bahwa goa itu tidak aman lagi untuk ditinggali. Dia tidak bisa terus-menerus tinggal di sana. Meskipun sudah lama dirinya mengundurkan diri dari dunia persilatan, namun bagaimanapun juga, dia masih memiliki musuh.

Dendam tetaplah dendam. Hutang darah bayar darah, hutan nyawa bayar nyawa. Begitulah prinsip orang-orang persilatan.

Pek I Hiap sangat paham akan hal tersebut. Di sisi lain, dirinya juga tahu bahwa beberapa orang musuh besarnya sudah bisa mencari jejak kakinya.

Itulah alasan kenapa dia menghancurkan goa tersebut. Karena hal itu pula lah, dirinya menyuruh Zhang Yi untuk pergi turun gunung.

Waktu terus berjalan. Matahari telah merangkak ke atas.

Pek I Hiap membalikkan tubuhnya, setelah itu dia segera pergi dari sana dengan mengandalkan ilmu meringankan tubuhnya.

Wushh!!!

Tubuhnya berkelebat. Hanya sesaat saja, dia telah lenyap dari pandangan mata.

###

Sore hari telah tiba kembali.

Zhang Yi sedang berjalan dengan santai. Langkahnya ringan. Wajahnya juga terlihat ceria.

Meskipun sebenarnya dia sedang bersedih karena baru saja berpisah dari gurunya, namun bagaimanapun juga, pemuda itu sadar bahwa dirinya masih harus menjalani hidup. Masih banyak pula hal-hal yang mesti dia kerjakan.

Semilir angin sepoi-sepoi berhembus. Pemandangan di desa itu ternyata sangat indah. Meskipun hanya berupa desa kecil, namun keadaan di sana tampak tenang dan damai.

Zhang Yi sangat menyukai tempat-tempat seperti ini. Oleh sebab itulah pemuda tersebut tidak mau berjalan terburu-buru.

Di depan sana, deretan rumah warga sudah mulai terlihat. Beberapa orang warga sekitar berjalan bersama rekan-rekannya. Sepertinya mereka baru saja pulang dari sawah atau ladangnya.

Zhang Yi terus berjalan mengikuti langkah kakinya. Dia baru berhenti ketika menjumpai warung kecil.

Begitu masuk, pemuda itu segera memesan makanan.

"Pesan nasi dan sayur. Pesan juga satu guci arak," katanya kepada pemilik warung.

Sehabis memesan makanan, pemuda itu segera mengambil tempat duduk yang masih kosong. Kebetulan, dia mendapatkan kursi yang berada di pojokan.

Zhang Yi terus duduk di sana. Sambil menunggu pesanan datang, matanya juga sempat menyapu pandang ke daerah sekelilingnya.