Bab 5

"Bapak!!!" seru Lavina berlari kecil kala melihat Gyan sedang melintas di lobi hotel. "Bapak, tungguin!!!"

Panggilan yang menggema itu, membuat beberapa orang menoleh dan menertawakan aksi Lavina yang mirip seorang anak yang tidak pernah bertemu ayahnya. Gyan salah tingkah karena menjadi pusat perhatian, moodnya langsung berubah buruk. Buru-buru dia masuk lift dengan kesal, namun Lavina yang tangkas berhasil menyusul Gyan ke dalam kotak besi yang membawa mereka ke lantai dua.

"Kamu kira saya bapakmu?" ketus Gyan.

Mengabaikan omelan dari sang atasan, Lavina memilih mengeluarkan sebuah kotak makanan berwarna pink dan menyerahkannya kepada Gyan. Aroma sayur yang ditumis dengan saus tiram, serta ayam goreng tercium menggoda hidung lancip Gyan. Sontak saja, alis lelaki itu naik sebelah dan berkata, "Ini apa?"

"Racun," jawab Lavina asal membuat bola mata Gyan melotot. "Makanan buat Pak Gyan. Sarapan. Breakfast. Dhahar. Masa tanya lagi?"

Gyan terdiam sejenak, menyipitkan pandangan kepada gadis yang mengenakan kemeja putih yang tertutupi sweater krem. Selain ceroboh, Lavina ternyata juga suka menjawab pertanyaan tanpa memikirkan bagaimana reaksi lawan bicaranya. Sejurus kemudian, dia baru paham dengan sikap aneh Lavina yang mendadak membawakan sekotak sarapan.

"Kamu mau menyuap saya?" tebak Gyan dengan ketus.

Senyum cerah di bibir berlipstik coral itu langsung sirna ketika Gyan tahu maksud dari tindakannya.

"Ya, emang saya enggak boleh ngasih Pak Gyan sarapan buatan saya? Itung-itung sebelum saya resign dari sini, saya pengen berbuat yang bener, Pak," lirih Lavina memasukkan kotak makanannya ke dalam tas.

"Kamu tidak mendengar apa yang saya bicarakan?" tanya Gyan ketika lift terbuka. Langkah kaki yang terbalut celana berwarna cokelat gelap itu, meninggalkan Lavina yang masih terpaku beberapa detik sebelum pintu lift tertutup.

Lavina mengejar Gyan. "Jangan buat saya penasaran dong, Pak. Saya butuh kepastian bukan ngegantung seperti ini. Kalau saya dipecat, saya si--"

"Yang mau memecat kamu itu siapa, Lavina?" tanya Gyan dengan gemas, menghentikan langkahnya ketika mereka berdua berada di depan counter bar. "Saya kemarin bilang, kamu jangan sampai telat karena kamu junior di sini. Banyak belajar sama bartender lain dan jangan buat kesalahan."

"Eh? Serius, Pak?" Kedua mata Lavina langsung membulat dengan senyum merekah. "Tapi, saya bukan waitress kan, Pak?"

Gyan memutar bola matanya. "Sudahlah, kerjakan apa yang saya bilang. Pagi-pagi saya sudah pusing."

"Minum obat, Pak, saya bawa nih!" tawar Lavina hendak membuka tas namun Gyan lebih memilih meninggalkan gadis pembawa sial itu.

###

Sebelum membuka bar, semua bartender yang bertugas hari itu membersihkan counter bar termasuk gelas saji dan alat bartender lain. Sementara cleaning service mengepel lantai,membuat lantai marmer itu nampak mengkilat diterpa cahaya matahari. Kursi dan meja para tamu dibersihkan, pengharum ruangan indoor pun diganti agar senantiasa para tamu betah berada di bar.

Suara telepon yang berada di dekat kasir berdering. Lavina yang baru saja selesai membersihkan meja, menjawab panggilan telepon dari salah satu tamu hotel. Suara berat seorang lelaki dari kamar 302, memesan dua gelas minuman mojito dan dua botol bir.

Lavina mencatatnya di atas kertas dan meminta sang tamu menunggu. Kemudian, dia meminta ijin kepada rekan kerjanya untuk menyiapkan pesanan tamu. Dengan begitu teliti dan lebih hati-hati, dia memeras jeruk nipis ke dalam gelas highball, menuangkan sirup demerara--campuran simpel syrup dengan gula tebu yang berkristal cokelat, menambahkan enam daun mint, dan silver rum.

Terakhir, Lavina memasukkan es batu yang sudah dihancurkan dan mengaduknya dengan bar spoon. Untuk mempercantik penampilan, dia menghiasi highball dengan daun mint. Dia tersenyum lebar dan berharap mendapat pujian atas ramuannya ini.

Kamar 302 menurut bartender lain berada di lantai empat dekat dengan lift. Butuh waktu beberapa menit untuk sampai di kamar yang dituju dengan membawa nampan yang dilapisi tray cloth agar tidak licin. Sesampai di depan kamar bertuliskan 302, Lavina mengetuk tiga kali hingga pintu terbuka.

Dia disambut oleh lelaki yang mengenakan kaus putih ketat yang begitu menampakkan dada berototnya, menyilakan Lavina masuk dan menunjuk meja untuk menaruh pesanan. Dia menurut, seraya mengedarkan pandangan dan berpikir bahwa hanya ada satu orang di kamar ini, namun mengapa lelaki itu memesan banyak minuman.

Dalam hati, Lavina berusaha menepis rasa kepo dalam pikirannya. Tapi, ketika hendak berbalik, tanpa sadar lelaki yang rambutnya masih basah itu berdiri tepat di belakang Lavina dengan tangan kanan yang memegang pantat si bartender.

"Kamu lagi enggak sibuk, kan?" bisik lelaki itu dengan lirih, membangunkan bulu kuduk di sekujur tubuh Lavina.

Sialan! batin Lavina menjerit.