Refleks, tubuh kurus itu berputar bersamaan dengan nampan yang mendarat mulus di wajah lelaki mesum. Tubuh si lelaki jatuh tersungkur ke lantai, bekas merah langsung tercetak jelas di kulit pipinya diiringi dengan rasa nyeri yang terasa panas sampai ke saraf di kepala. Dia menggeram menahan jeritan, menggema memenuhi kamar deluxe single room itu.
Tak perlu waktu lebih lama berada di sana, Lavina segera kabur dengan jantung yang berpacu tak karuan. Langkah kakinya cepat masuk ke dalam lift dan ketika pintu besi tertutup rapat, detik itu juga tubuh Lavina merosot ke bawah dengan gemetaran.
"Setan alas!" umpat Lavina dengan raut wajah dilanda ketakutan, memeluk erat nampan yang menjadi saksi bisu pelecehan seksual itu.
Jujur, baru pertama kali ini dia mendapat perlakuan tak senonoh dari seorang tamu hotel. Kalimat yang dikatakan oleh tamu 302 masih membuat bulu kuduknya merinding. Padahal, dia sudah memakai pakaian sopan; celana panjang hitam, celemek hitam dengan label hotel, kemeja putih, dan sepatu Vans hitam. Hal apa yang dilihat oleh lelaki hidung belang itu hingga berbuat tak pantas pada seorang gadis.
Bunyi lift membuyarkan Lavina, bersamaan dengan Gyan yang berdiri di depannya dengan garang seraya berkacak pinggang. Dari tampangnya saja, Lavina sudah paham bahwa kamar 302 pasti melayangkan komplain yang memberatkannya nanti. Bayangan surat pengunduran diri kini menari-nari di kepala, melambai-lambai seakan itulah pilihan terbaik untuk meninggalkan neraka berwujud D'amore Bar.
"Ikut saya!" tegas lelaki itu.
Lavina berdiri, masih memeluk nampannya dalam diam berusaha menepis bayangan tangan lelaki itu di pantatnya. Rekan kerjanya melihat Lavina yang pucat dengan keringat sebesar biji jagung. Salah satu dari mereka membisikkan ingin menanyakan ada apa. Namun, gadis itu menggeleng cepat, enggan membeberkan kasus yang baru menimpa.
Kakinya mengekori jejak Gyan di ruang head bar membuat Lavina bertanya-tanya, ke mana penanggung jawab bar pergi. Setidaknya, dia tidak ingin diomeli Gyan lagi, dia butuh wajah baru selain wajah oriental milik Gyan yang selalu melempar omelan dan bisa membuat telinganya memerah. Dia juga perlu mendengarkan intonasi suara lain daripada suara Gyan, sayangnya, hidupnya kini hanya terkurung di dalam dunia lelaki tinggi itu.
Beberapa saat, ketukan di balik pintu head bar terdengar, muncullah lelaki dari kamar 302 yang mengenakan kaus polo hitam dan celana jeans. Wajah yang setengah merah akibat bekas tamparan itu, kini menatap Lavina tajam. Gyan menyilakan tamu duduk, sementara membiarkan Lavina berdiri di belakang tamu tak berperikemanusiaan itu.
"Silakan, ada yang bisa saya bantu terkait komplain, Bapak," tawar Gyan membuka suara dengan ramah.
Lelaki itu langsung menunjuk Lavina dengan gerakan cepat dan berseru, "Dia menampar saya! Lihat!" dia menunjuk wajah kirinya yang memerah dan masih terasa nyeri. "Saya enggak ada salah apa-apa kok ditampar. Pelayanan di sini buruk! Saya minta ajukan--"
"Tunggu," sela Gyan. "Tolong ceritakan kronologisnya, Pak. Saya yakin pegawai saya tidak serta-merta menampar orang tak dikenal jika tidak ada sesuatu yang buruk terjadi."
"Dia pegang pantat saya!" giliran Lavina membela diri. "Kalau Bapak ini enggak senonoh, mana mungkin saya nampar orang pakai nampan."
Gyan menaikkan sebelah alisnya. "Apa benar?"
"Sinting! Masa Mas mau percaya? Saya sudah beristri, wong saya nginep di sini sama istri saya," bela lelaki itu. "Silakan aja periksa data saya di hotel ini."
Lavina menganga, jelas-jelas di sana hanya dia seorang tanpa ada perempuan. Detik berikutnya, pikiran negatif gadis dengan tahi lalat di hidung itu menjurus pada om-om hidung belang.
"Saya bisa meneruskan masalah ini ke bagian manajer, Bapak!" ketus si lelaki mesum membuat bola mata Lavina seakan menggelinding ke lantai.
Kepala Gyan sudah ingin meledak tiap kali harus menyelesaikan komplain tamu karena ulah satu pegawai. Dia memejamkan mata mencoba menenangkan amarah yang sudah mendidihkan otaknya. Kemudian, dia memandang tamu kamar 302 seraya berkata, "Saya minta maaf atas kelalaian pegawai saya."
"Hah! Gimana? Minta maaf?" sahut Lavina. "Orang dia yang salah kenapa Pak Gyan malah minta maaf?"
"Diam mulut kamu, Lavina!" tegas Gyan. "Nanti, saya arahkan kamu ke bagian manajer untuk ditinjau ulang! Saya sudah tidak tahan dengan sikap kamu terhadap tamu kita."
"Tapi, Pak--"
"Diam!" suara Gyan semakin keras membuat bibir Lavina membisu seketika. "Keluar kamu!" dia menunjuk pintu di belakang Lavina.
Dengan emosi yang membekapnya, Lavina keluar ruangan head bar. Sementara si lelaki mesum justru tersenyum tipis dan merasa diuntungkan atas kejadian yang menimpanya.