Suara klakson sepeda motor mengagetkan Gyan ketika menaruh helm full face retro hitam di gantungan motor Yamaha XSR. Dia memutar kepala dan selang beberapa detik kemudian Lavina muncul dengan senyum lebar seraya membunyikan klakson lagi.
"Selamat pagi, Pak!"
Gyan mengatupkan bibir dan memejamkan mata untuk tidak tenggelam dalam emosi sesaat melihat tingkah gadis aneh itu. Cepat-cepat ditinggalkannya Lavina yang masih sibuk melepas seperangkat perlindungan seperti helm, sarung tangan, kaca mata retro, serta masker.
Dia pun enggan menoleh ke belakang barang sedetik saja, akibat teringat dengan kejadian semalam.
"Jadi, Bapak mau mengajari saya cara memegang yang benar?" tanya Lavina dengan wajah ambigu.
"Kenapa wajahmu jadi mesum gitu?" tukas Gyan mencubit pipi Lavina yang ternyata begitu empuk seperti mochi. "Kamu tuh masih muda, jangan memenuhi pikiranmu dengan hal-hal kotor."
Yang ditanya tidak menjawab, justru membeku dengan iris mata yang terkunci dalam netra Gyan. Suhu ruangan yang dingin ditambah lampu counter bar yang remang-remang dan posisi mereka yang hanya berdua memang cocok untuk berbuat aneh-aneh.
Gyan bergerak mundur salah tingkah, meraih gelas cocktail dan meneguknya hingga habis. Atmosfer di sekelilingnya mendadak panas, belum pernah dia merasakan hawa seperti ini bahkan saat berdua dengan bartender lain.
"Kenapa panas sekali?" gerutu lelaki itu pelan.
"Ada Vega lagi peluk Pak Gyan," lirih Lavina menunjuk punggung si captain bar.
Lelaki itu menggeleng cepat menepis bayangan betapa horornya semalam, menggosok lengan yang mulai merinding lagi. Dia memang percaya adanya makhluk selain manusia, tapi cara penyampaian Lavina yang terlalu enteng itu bikin Gyan parno. Apalagi kemarin dia langsung memeluk tubuh kecil Lavina begitu saja seperti anak-anak yang takut akan bunyi petir.
"Pak!" seru Lavina yang berhasil mengejar Gyan. "Lah, kok pucet?"
Gyan membuang muka. Lavina malah tertawa terbahak-bahak mengekori langkah Gyan hingga memasuki lobi hotel untuk masuk lift. Tak jauh dari mereka, Reiki berdiri di depan lift menoleh ke arah mereka berdua melempar senyum sapa.
"Mas," sapa Reiki yang dibalas anggukan singkat si captain bar lalu beralih ke Lavina. "Maaf, kemarin aku enggak bisa nemenin kamu latihan, Lavina."
"Emang kamu ke mana sih, Rei. Aku udah masakin ayam eh malah enggak datang," omel Lavina kecewa.
Mendengar percakapan dua manusia itu, Gyan mendecih dan melirik sinis Reiki. "Emang kapan kamu bisa menepati janji," sindirnya saat lift terbuka.
Reiki dan Lavina menoleh dengan tatapan penuh tanda tanya ke arah Gyan sambil masuk ke dalam lift. Namun, Reiki paham bahwa sindiran halus yang dilontarkan Gyan jelas ditujukan kepadanya. Lantas, dia mundur beberapa langkah hingga sudut kotak besi itu, merasa enggan jika harus berada dalam satu lift seperti ini.
"Ajari Lavina jika kamu memang lelaki yang bisa dipegang omongannya," ucap Gyan tanpa menoleh.
"Iya, Mas," jawab Reiki pelan.
"Lah, kenapa malah gitu, aku enggak apa-apa jangan rebutan buat ngajarin aku dong. Hahaha ... Kan aku malu." Lavina yang berada di belakang Gyan berusaha mencairkan suasana yang terasa garing.
Pintu lift terbuka kembali di lantai dua, Gyan dengan langkah panjangnya meninggalkan Reiki dan Lavina tanpa mengatakan apa pun. Hal itu menimbulkan banyak pertanyaan di dalam kepala Lavina tentang sikap Gyan pun reaksi Reiki.
Bukan hal aneh jika Gyan suka memarahi bawahannya, tapi sikap dinginnya yang melebihi gunung es. Selain itu, menurut Lavina tak sepantasnya Gyan bersikap jutek ke semua orang walau orang lain sekadar ingin berbasa-basi. Sekeras apa pun sifatnya, seharusnya Gyan juga perlu menampilkan sisi lembut dan menghargai lawan bicara bukannya membelakangi orang yang diajak bicara.
"Pak Gyan kenapa sih, Rei? Emang dia dingin banget gitu kah?"
Lelaki bertindik di telinga kiri itu tersenyum simpul seraya mengangguk. "Iya, udah biasa sih sama Mas Gyan."
"Kalau jutek gitu, mana ada cewek yang betah?" cibir Lavina. "Eh, nanti sore dong ajarin aku di dapur cara megang shaker dan jigger yang benar. Biar enggak kena omel lagi," bisiknya seraya membuka pintu ruang karyawan yang dibalas dengan tawa Reiki.
Gyan keluar dari ruang head bar yang bersebelahan dengan ruang karyawan itu, bisa mendengar dengan jelas bahwa Lavina menggerutu di belakangnya. Dia menggeleng sambil tersenyum miring dan menggumam,
"Belum tahu kalau di sebelahnya itu... " ucapan Gyan terhenti saat Reiki keluar dari ruang karyawan dan bertemu pandang dengannya. Dia pergi dengan tatapan sinis meninggalkan Reiki.