Bab 16

Dua insan yang masih bergelut dengan alat-alat bartending di ruang karyawan, seperti terlena hingga lupa waktu bahwa jarum jam sudah menunjukkan pukul delapan malam. Dibandingkan dengan si Angry bird, Reiki lebih sabar mengajari Lavina. Tak segan pula, lelaki manis itu memberitahu cara memegang shaker dan memberikan beberapa trik. Mereka juga berdiskusi masalah beberapa resep cocktail maupun impian untuk menjadi seorang mixologyst atau membuka sebuah bar sendiri.

Hati yang tidak pernah berdebar-debar itu kini memandang lurus ke arah garis wajah Reiki yang sedang menunjukkan sebuah buku bartending berjudul The art of mixology. Sesekali bibir yang kemerahan milik Reiki menyunggingkan seulas senyum tipis membuat Lavina ingin sekali meraba dengan jemari lentiknya.

Merasa diperhatikan, Reiki menoleh kemudian menjentikkan jemarinya tepat di depan wajah Lavina. Seketika gadis itu terperanjat kaget seraya berkata, "Hah! A-apa? Ada apa?"

"Kamu capek?"

Lavina menggeleng keras. "Maklum jiwa kesepianku meronta kalau lihat orang ganteng," tuturnya. "Kita lanjut besok yuk, Rei, enggak kerasa udah jadi beban D'amore sejak tadi sore."

Reiki melihat jam di dinding sisi kiri. "Ah, iya. Rumah kamu di mana? Jauh enggak dari sini?"

"Deket, daerah pasar Giwangan."

Reiki menganggukkan kepala seraya membawa buku untuk dikembalikan ke ruang head bar. Melihat lelaki bak malaikat itu kesulitan, Lavina beranjak dan membereskan alat bartending. Dia tersenyum lebar dengan melempar kerlingan mata ke arah Reiki membuat lelaki itu tertegun seketika.

Dibuka pintu ruang karyawan, bar masih saja ramai walau ini bukanlah hari weekend. Netra cokelat dengan bulu mata lentik itu mengedarkan pandangan lalu berhenti ke arah bartender yang sibuk meracik minuman sesekali bercengkerama dengan tamu. Ada rasa iri dalam hati Lavina melihat ekspresi para tamu yang begitu puas dengan pelayanan terutama racikan minuman.

Sedangkan dirinya, baru satu kali mendapat pujian selebihnya deretan omelan yang menerpa baik dari tamu maupun dari atasan. Lavina menggeleng berusaha menguatkan diri bahwa dia bisa melewati fase masa percobaan seperti yang dikatakan Felicia. Jikalau dia harus dikeluarkan oleh pihak manajer hotel, dia tidak boleh resign dengan kepala tertunduk akibat menanggung malu.

Lavina bergegas menuju dapur untuk mencuci alat bartending. Mendadak langkahnya terhenti melihat sosok Gyan yang sedang sibuk mencuci gelas.

"Kenapa dia sering lembur sih?" gumam Lavina terlalu malas jika harus bertemu dengan sosok menyebalkan.

"Saya lembur karena tahu diri bahwa bar ini sedang ramai, bukannya berdiam diri di ruang karyawan dengan motif belajar bartending," sahut Gyan tanpa menoleh.

Lavina menyeret kaki berbalut Vans mendekati wastafel sambil menggerutu bahwa Gyan terang-terangan menyindirnya. "Saya kerja salah, saya latihan salah. Ya udah saya pulang aja deh daripada bikin Pak Gyan darah tinggi."

Sebelum Lavina pergi, Gyan menarik lengan kiri gadis ceriwis itu hingga tak sengaja membawanya ke dalam dekapan. Untuk beberapa saat, mereka saling mengunci pandangan mata berbarengan dengan irama yang bertalu-talu menggema di ruang pembersihan gelas. Otak Lavina yang biasanya suka memaki atasannya dalam hati, kini terhipnotis sampai-sampai tidak ada rangkaian kata yang pas untuk menjelaskan keadaan canggung itu.

Sosok si Angry bird begitu menjulang tinggi, Lavina hanya sebatas pundaknya saja. Dari dekat, dada bidang Gyan begitu bidang seolah tempat itu menjadi sangat nyaman untuk menjadi sandaran. Belum lagi aroma tubuh woody bercampur citrus tercium di hidung lancipnya.

"Kamu kenapa senyum-senyum?" tanya Gyan membuyarkan fantasi Lavina.