Memandang jalanan dari lantai paling atas hotel memang menjadi hal berkesan di hati Lavina semenjak kerja. Semilir angin yang terasa panas menjelang musim hujan ini, membuat hati dan pikirannya semakin terbakar. Netra lentik itu menerawang jauh kendaraan yang lalu lalang seperti berusaha melawan sengatan matahari yang bisa menguras habis kesabaran.
Seraya meneguk mineral dingin untuk meredam emosi, Lavina mengembuskan napas. Diraih sebungkus roti isi selai stroberi yang dibeli dari minimarket dan melahapnya puas. Benak gadis berkulit putih itu berkecamuk, tentang sikap tidak terkontrol dan tentang ucapan Gyan yang mulai mengusik ketenangan.
"Bisa enggak sih kamu kerja yang bener? Sekali saja, Lavina! Saya sudah bosan harus menghadapi sikapmu yang seperti ini!" seru si captain di ruang head bar. "Fel, lebih baik terusin ke Pak Satria sana! Apa enggak ada kualifikasi bartender yang lebih baik apa!"
Felicia menggeleng-gelengkan kepala, menyuruh Gyan untuk keluar agar mendinginkan emosi yang meledak. Kemudian, meminta Lavina untuk duduk di kursi dan berbicara mengenai kejadian tak mengenakkan hingga berujung penyiraman minuman ke salah satu tamu.
"... saya memang salah, Mbak. Tapi, saya merasa apa yang saya catat adalah benar. Saya bekerja dengan tulus, tapi kalau ada yang berusaha menyalahkan maka saya tidak bisa diam," jujur Lavina kepada Felicia dengan mata berkaca-kaca. "Jika kehadiran saya di sini membuat masalah, kenapa kalian tidak menghentikan saya saja?"
"Bukankah kamu ingin membuktikan diri? Apa kamu akan menyerah begitu saja?" tanya Felicia memandang lurus ke arah Lavina yang kini menundukkan wajah seraya menggigit bibir bawah. "Waktumu hanya tiga bulan sebelum pihak manager hotel menghentikanmu, Lavina. Jika kamu ingin keluar dari sini, maka jangan keluar dengan kepala tertunduk. Kamu paham kan?"
"Boro-boro keluar dengan bangga, tiap hari aja bikin ricuh," gumam Lavina pada diri sendiri.
"Hei."
Lavina memutar kepala, mendapati Reiki yang datang dengan membawakan dua nasi kotak berlabel hotel. Dia mendekati dan memberikan salah satu jatah makan siang karyawan seraya tersenyum tipis, kemudian duduk di samping kanan gadis itu. Bibir berpulas lipstik pink Lavina mengulum senyum lantas menerima kotak itu dalam diam.
"Aku kira kamu nonton film horor sambil nangis lagi," ucap Reiki. "Makan dulu sana. Perut harus terisi daripada kosong bikin tambah emosi."
Dibuka kotak makan siang yang berisi seporsi nasi dengan sayur capcay, ayam mentega, tempe goreng, dan sambal. Tak lupa pula sepotong buah semangka sebagai pencuci mulut yang cocok di kala akhir musim kemarau yang cenderung panas ini.
"Maaf ya, Rei," ucap Lavina lirih seraya menyendok nasi. "Maaf bikin kamu terlibat masalah."
"Enggak apa-apa. Aku juga salah kok sama Mas Gyan, kayak enggak sopan ke dia," tukas Reiki melahap capcay. "Wah, masakannya si mermaid man emang enak."
"Siapa?" tanya Lavina sambil mengunyah makanan.
"Tuh, si Arial anak resto. Kamu tahu enggak? Pimpinan dia juga galak kayak Mas Gyan, namanya Mas Airlangga," kata Reiki. "Setiap bagian di hotel ini selalu ada orang yang berusaha perfeksionis, Lavina. Dan kita harus menyeimbangi mereka. To be perfect for ourselves."
"Oh, iya, aku pernah dengar nama itu. Dan ada anak yang juga sering bikin masalah kayak aku," ucap Lavina mengejek dirinya sendiri. "Apa setiap bagian di sini ada anak pembawa sial? Apa aku perlu mandi kembang sama ruqyah biar enggak apes terus?"
Lelaki berwajah tampan itu terkekeh dan refleks mencubit pipi Lavina saking gemesnya. "Kamu lucu."
"Tapi pembawa masalah," lanjut Lavina.
"Sepulang shift, aku bisa ajarin kamu kok. Nanti aku minta ijin ke Mbak Felicia buat pinjam beberapa alat."
Seketika Lavina mengangguk kesenangan dan memeluk lengan kiri Reiki. Kombinasi aroma musk, Melati, dan kayu cendana menggoda indera penciuman Lavina. Diam-diam dia merekam bau tubuh lelaki baik itu untuk menjadi salah satu aroma yang akan disukainya.
"Makasih ya," ucapnya dengan pipi merona.
###
Sesuai janji, Reiki dan Lavina memilih berlatih di ruang karyawan setelah ijin ke head bar untuk meminjam alat bartending. Di atas sofa ruangan itu, Lavina diajarkan cara memegang jigger dan shaker yang mantap beserta trik yang biasanya digunakan oleh bartender seperti Vlad Flix yang sudah melalang buana.
Tanpa mereka berdua sadari, sepasang mata menatap mereka dengan tak suka. Mengepalkan kedua tangan erat dengan rahang mengetat kuat. Garis bibirnya terkatup rapat seolah ingin memaki dua manusia yang terlihat seperti merajut Asmara. Sedetik kemudian, sudut kanan bibirnya naik ke atas mendapatkan sebuah ide.