KUNJUNGAN PAK BROTO

"Assalamualaikum Bu, apakah Karsih ada?" tanya seorang lelaki di depan rumah Karsih.

"Waalaikumsalam. Ada, tapi dia lagi sakit," ucap Bibi kepada kamu laki-laki itu.

"Apakah saya boleh bertemu dengan Karsih, Bu?"

"Boleh, sebentar saya panggilkan," Bibi menatap wajah itu penuh selidik.

Kemudian masuk ke dalam rumahnya.

Perempuan itu tidak lantas masuk ke dalam kamar dan membangunkan Karsih tetapi dia menemui suaminya di dapur.

"Pak..Pak...," Suara perempuan itu gemetar.

" Ada apa? Kamu seperti habis melihat hantu," ucap lelaki itu.

"Iya...Pak, di depan ada Pak Broto!"

"Apppaaa???"

"Di depan ada Pak Broto mencari Karsih. Dia ingin bertemu dengan Karsih."

"Apakah kamu tidak bilang kalau Karsih sakit?"

"Aku sudah bilang tapi tetap saja dia ingin bertemu."

Paman Karsih pun menuju ke ruang tamu. Pak Broto memang orang kaya dan terpandang di kampung mereka tetapi cara pandang mereka berdua sama sekali berbeda dengan warga kampung pada umumnya.

Mereka sama sekali tidak ingin Karsih berdekatan dengan Pak Broto meskipun dengan iming-iming kemewahan. Bagi mereka, jika karsih harus menikah lagi maka Karsih harus mendapatkan laki-laki yang sepadan dengannya bukan tua bangka seperti Pak Broto.

Pak Broto sudah terlalu tua buat Karsih.

"Selamat pagi," ucapan Paman Karsih kepada Pak Broto.

"Selamat Pagi," Pak Broto mengulurkan tangannya kepada Paman dan Paman pun menerimanya.

"Yang dicari karsih, kenapa yang datang justru laki-laki ini," batin Pak Broto menggumam.

"Karsihnya sedang sakit," jawab Paman dengan tegas.

"Aku tahu Karsih sakit, itu sebabnya aku datang kemari untuk mengantarkan Karsih ke Rumah Sakit agar Karsih cepat sembuh dan bisa nyinden lagi," Pak Broto berbicara sok baik, namun meski begitu Paman Karsih sepertinya tidak tertarik pada kebaikan yang ditawarkan Pak Broto.

"Karsih sudah diantar oleh Fajar untuk berobat kemarin."

"Kenapa kamu lebih tertarik pada Fajar? Fajar itu hanya anak pungut dan pengangguran. Kalau tidak karena belas kasih dari Tina maka Fajar tidak akan punya apa-apa!" Jelas Pak Broto.

"Fajar itu masih muda dan Karsih juga masih muda. Kita para orang tua cukup mengikuti kemauan mereka."

Kalimat yang diucapkan oleh Paman Karsiih membuat Pak Broto sakit hati, dirinya merasa dilecehkan begitu saja. Dan sepertinya Paman memang sengaja melakukannya agar Pak Broto sadar diri.

"Baiklah. Semua terserah kamu saja. Asal kamu tahu, aku belum pernah gagal dalam mendapatkan apa yang kuinginkan!" Pak Broto kemudian berdiri tanpa permisi , dia pergi meninggalkan Paman Karsih.

Bibi pun ke depan membawa dua cangkir teh untuk Paman dan Pak Broto.

Bibi terkejut saat mendapati bahwa Pak Broto sudah tidak ada ditempat.

"Lho kemana?"

"Siapa?".

"Pak Broto."

"Oh, bandot tua itu yang masih doyan dengan perempuan itu?"

"Bapak, kok bicaranya ngelantur begitu."

"Lha, apa namanya kalau bukan bandot tua, dia memang sudah tua tapi tidak punya malu. Mentang-mentang dirinya punya banyak uang, dia mau seenaknya saja menyukai anak orang."

"Ah, si Bapak ini ada saja yang dibicarakan, ngelantur dan ngawur. Jangan bermusuhan dengan orang kuat seperti Pak Broto, bahaya!!" Bibi memberi peringatan.

"Terus kalau tidak dilawan, kamu mau membiarkan saja Karsih diambil laki-laki itu?!?"

"Amit-amit, Pak!"

"Kalau kamu tidak mau artinya kita harus melawan."

"Maksudku begini, kita memang tidak mengijinkan Karsih dengan Pak Broto tapi kita menjauhkan Karsih pelan-pelan, jangan langsung, jangan kelihatan, kalau langsung nanti Pak Broto tersinggung dan dia bisa melawan kita. Hasilnya jadi tidak baik nanti.

"Terserah kamu sajalah! Aku pusing!" Paman kemudian meninggalkan Bibi di ruang tamu menuju kamarnya.

Sebelum Paman masuk ke dalam kamarnya, dia melewati kamar Karsih.

"Karsih pasti benar-benar sakit, buktinya dia tidak terbangun meskipun ada suara ribut-ribut di luar," batin Paman menggumam.

***

Paman kemudian menghempaskan tubuhnya di ranjang, pikirannya menerawang entah pada satu kejadian.

"Aku hamil," Sinta berbicara dengan mata berkaca-kaca di hadapannya.

"Tapi, bagaimana mungkin, apa maksud dengan kehamilanmu? Maksudnya siapa yang menghamilimu?" tanya Minto mencercau tidak jelas.

Sinta menangis terisak-isak di depan Minto, laki-laki paling tampan di sekolah saat itu. Tubuhnya atletis, kulitnya putih, rambutnya ikal dan senyumnya menawan.

Sinta dan Darminto sama-sama kelas tiga Sekolah Menengah Atas. Mereka berpacaran, mereka saling mencintai.

Darminto menjaga kesucian Sinta dengan tidak pernah menyentuhnya lalu tiba-tiba Sinta berkata dirinya sedang hamil.

"Sinta, tolong kamu bicara yang jelas menangis tidak akan menyelesaikan masalahmu." Darminto memegang kedua pundak Sinta dengan kedua lengannya, dia serius ingin mengetahui siapa laki-laki yang menghamili wanita yang paling dia cintai itu.

Tapi, Sinta terus saja menangis, membuat Darminto panik dan marah.

"Siapa yang menghamilimu? Siapa?!?"

Sinta beringsut menghindari amarah Darminto, wajahnya mendadak pucat pasi.

"Anak Pak Karta."

"Apa? Broto? Apakah Broto yang menghamilimu? Apakah dia mau bertanggungjawab?" tanya Darminto kepada Sinta.

"Apa? Apakah kamu rela aku menikah dengan Broto?"

"Lantas, mau mu bagaimana? Dia yang menghamilimu maka jelas dia yang harus bertanggung jawab kepadamu!"

Sinta memicingkan matanya. Rasanya tidak percaya bila Darminto berbicara seperti itu

Selama ini mereka berdua saling mencintai, mereka sudah memadu kasih lama sekali, tiba-tiba Darminto justru menyuruh Sinta menikah dengan Broto, raja playboy di sekolah mereka.

Watak Broto sama persis dengan Bapaknya suka mempermainkan perempuan, mungkin karena Broto adalah anak orang kaya.

Sinta kemudian berdiri dan pergi meninggalkan Darminto, rasanya tidak berdaya Darminto menyuruhnya menikah dengan Broto.

Darminto belum sempat bertanya kepada Sinta, bagaimana dia bisa berhubungan badan dengan Broto, tapi sudah buru-buru pergi meninggalkan Darminto.

Darminto dan Sinta tidak lagi bertegur sapa dan bila rindu mereka tiba maka Darminto akan datang ke Pasar Rebo menyaksikan Sinta nyinden di sana.

Darminto memakai jaket tebal juga topi serta menutup wajahnya dengan penutup wajah agar dirinya tidak dikenali.

Hingga tiga bulan lamanya Darminto bertahan sampai suatu ketika Darminto mendengar bahwa Broto akan menikah dengan Lasmini anak saudagar kaya karena Lasmini pun hamil.

Darminto geram, dia mendatangi Sinta untuk mengajak Sinta menemui Broto dan meminta pertanggungjawaban.

Namun saat Darminto datang kerumah Sinta betapa terkejutnya dia saat melihat rumah Sinta sudah dipenuhi banyak orang, ada bendera putih di depan rumahnya.

"Siapa yang meninggal?" tanya Darminto.

"Sinta, bunuh diri karena dia hamil," papar tetangga Sinta panjang lebar.

Tubuh Darminto sangat lemas, kakinya bergetar, bayangan wajah cantik Sinta menari-nari di pelupuk matanya

Darminto mendekati rumah itu, mengucap salam dan terduduk di depan mayat Sinta.

Darminto menatap wajah pucat itu, ada rasa bersalah di dalam hatinya.

Seandainya saja Darminto punya waktu untuk mendengarkan keluh kesah Sinta, mungkin c

Sinta tidak akan pernah bunuh diri.

Andai saja Darminto bisa sedikit bersabar pasti keadaannya tidak seperti ini.

Hingga seseorang menyentuh pundak Darminto, membuat Darminto merasa terkejut.

"Kamu Minto, teman Sinta, kan?" tanya

perempuan itu membuat Darminto mengangguk.

"Ini, surat dari Sinta."

Perempuan itu memberikan sepucuk surat pada Darminto dan langsung diterima oleh Darminto.

Darminto meletakkan surat itu di saku celananya kemudian dia ikut larut dalam gerakan orang-orang yang hendak membawa Sinta menuju makam.

Darminto kian tergetar hatinya, dia ikut mengangkat keranda Sinta menuju pemakaman, tempat peristirahatan Sinta yang terakhir. Air mata Darminto tetiba menetes, hatinya mendadak hampa.