Dendam

Sebulan sebelumnya.

Malam bergerak makin larut. Di ruang kerja di dalam rumah besarnya, Viona galau. Sudah dua jam ini ia menekuni puluhan lembar catatan, jurnal, laptop, lembar tagihan dan yang lainnya dan output yang didapatkan membuat dirinya kecil hati.

Matanya lemas melihati deretan angka terpanjang di layar laptop. Hingga kwartal ketiga tahun ini, perusahaannya rugi lebih dari seratus milyar. Ia tidak mungkin salah hitung. Angka itu malah mengkonfirmasi temuan audit eksternal. Ia memijit keningnya yang mendadak pening.

Sialan.

Ia merebahkan badan. Bersandar di sofá dengan mata menerawang langit-langit rumah. Mencoba untuk menenangkan pikiran, hal itu malah membuat dirinya makin galau. Betapa tidak, langit-langit rumah menunjukkan betapa rumah tempat dia dan ibunya tinggal – setelah ayahnya wafat setahun lalu – butuh banyak perbaikan. Ini menambah daftar biaya yang sudah ada sebelumnya. Biaya pengobatan sang ibunda, perbaikan saluran air, taman, kendaraan, dan entah apa lagi. Itu belum termasuk hutang-hutang yang sebentar lagi jatuh tempo. Hutang-hutang warisan ayahnya atas nama PT. Golden Enterprise, perusahaan yang kini dalam kendalinya. Perusahaan yang sempat jaya raya namun kini diambang keterpurukan karena sengkarut bisnis dengan perusahaan lain. Sebuah perusahaan saingan, perusahaan jasa ekspor-impor Mintarja Grup, yang sempat menjadi mitra sebelum kemudian berbalik menusuk perusahaan ayahnya.

Viona semakin membaringkan diri dalam sofá. Bayangan masa lalu kini menghias benak. Masih teringat jelas betapa hebatnya GE di masa lalu. Sebuah perusahaan jasa pergudangan, angkutan ekspor-impor dengan seratusan armada truk container. Di masa itu, GE adalah perusahaan logistik yang cukup disegani. Ia benar-benar di puncak kedigdayaan dengan hanya segelintir perusahaan pesaing. Masa depan terasa begitu cerah karena sang ayah segera meneruskan tongkat estafet kepemimpinan kepada dirinya sebagai anak tunggal, segera setelah ia menamatkan pendidikan Manajemen di Boston University, Amerika Serikat.

Di usia ke-25, menjelang kepulangannya, musibah terjadi. Dua tahun sebelum Viona pulang kembali ke Indonesia, sang ayah rupanya bekerjasama dengan perusahaan lain yakni Mintarja Grup. Bersama-sama mereka kemudian mengajukan penawaran pada sebuah proyek pemerintah dengan valuasi 14 digit. Setelah serangkaian proses berbelit dan melelahkan, kolaborasi kedua perusahaan dinyatakan memenangi tender.

Namun belum lagi setahun berjalan, kerjasama dua perusahaan berakhir akibat praktek kecurangan yang dilakukan Mintarja Grup. Sang CEO, Mintarja, menelikung dari belakang sehingga membuat order pemerintah lebih banyak ditangani oleh mereka. Mereka meninggalkan GE dan mencari mitra baru. Tak pelak hal ini menimbulkan kerugian puluhan miliar dan menjadi penyebab GE terlilit kredit macet. Satu demi satu aset perusahaan berkurang, bahkan lenyap.

Bersama dengan sang ayah, Viona berusaha melakukan penyelamatan. Tapi kondisi memang sudah sangat terlambat. Kondisi sudah begitu parah. Ayah yang memiliki masalah dengan jantung, jadi terpicu lebih dalam lagi kondisi kesehatannya.

Sampai akhirnya Mintarja Grup kembali menelikung GE. Membuat perusahaan yang puluhan tahun dirintis ayah Viona, KO seketika. Mereka memutus kontrak sama sekali dengan GE dan menjadikan perusahaan itu tak lebih perusahaan gurem karena sudah terlalu banyak berdarah-darah akibat banyaknya aset yang lenyap.

Ini yang membuat ayah Viona tak lagi mampu bertahan. Ia collapse. Dibawa ke rumah sakit sebelum kemudian meninggal seminggu setelah dirawat. Dunia Viona seolah runtuh. Kondisi berat ini pada akhirnya menggoncang ekonomi dan juga menjalar pada kesehatan ibunya. Membuat wanita itu kini harus rutin mengantar ibunya ke rumah sakit.

Dengan segala kepahitan yang terjadi, wajar kalau kemudian timbul amarah dalam diri Viona.

“Tidak perlu dendam,” kata ibunya saat Viona curhat di meja makan.

“Mama terlalu baik. Viona gak mungkin diem setelah apa yang pak Mintarja lakukan.”

“Alam itu nggak diem. Tuh buktinya, orang itu juga saat ini terpapar di rumah sakit.”

Viona kaget namun senang mendengar kabar itu. “Masa? Mama tau dari mana?”

“Mama punya teman di mana-mana termasuk dokter di rumah sakit dimana dia dirawat. Sakit misterius, Vio. Mama lupa namanya. Susah diingat sih.”

“Kapan mati?”

“Hush!”

Viona terkekeh. Sinis.

“Dia udah seminggu koma.”

Viona menyeruput lemon juicenya dengan sisa amarah. “Rasain. Karma tuh.”

Tak peduli komentar puterinya, ibu melanjutkan. “Perusahaannya goyang juga tuh. Ini kritis karena udah ada kasus dan bisa jadi bahanya karena penggantinya juga orang baru yang belum pengalaman.”

“Dirutnya orang baru?”

“Anaknya sendiri. Namanya Ervan. Dia jadi orang nomor satu sekarang.”

‘Hmmm. Perusahaan guncang, sedang krisis, orang baru,’ pikiran Viona kini menerawang. Berpikir keras.

Ketiga hal itu membuat dirinya tiba di sebuah pemikiran. Mintarja grup adalah perusahaan pecundang yang menimbulkan keterpurukan pada perusahaannya dan bahkan secara tidak langsung merenggut sang ayah dari sisinya.

Rasanya, ini adalah sebuah kesempatan untuk melakukan pembalasan dendam siapapun pemimpinnya saat ini.

“Kamu sendiri bagaimana?” ibu memecah keheningan yang sempat tercipta sesaat.

“Maksud Mama?”

“Udah 3 bulan di sini, kamu belum kenalin pacarmu yang di Boston.”

Viona mengebas rambut pendeknya. “Michigan kali.”

“Ah, mama inget pacarmu orang Boston. Satu kampus kan? Itu katamu waktu itu.”

“O itu,” pikirannya melayang pada seorang pria Boston yang baik di awal namun ternyata menuntut menjalin hubungan sex di minggu kedua. “Udah putus setelah sebulan kami jadian.”

“Habis itu? Kamu nggak cari yang lain?”

Viona menggeleng. Untung juga ibunya tidak mengejar. Ia malah berkeluhkesah seolah mengerti alasan puterinya yang tetap menjomblo.

“Zaman sekarang emang susah ya mencari cinta. Di Amrik pun sama aja. Susah.”

Mama kemudian pergi meninggalkan Viona yang pikirannya kini sibuk mencerna dalam-dalam ucapan sang ibu.

Bagi Viona, ucapan itu ada benar, namun ada salahnya juga. Jika yang dimaksud dengan cinta adalah definisi kasih sayang, belas kasihan, perhatian. Itu benar. Tapi cinta dalam pengertian lust atau hawa nafsu, sama sekali tidak sulit.

Pikiran Viona langsung terbayang pada setahun sebelumnya ketika bersama teman satu apartemennya, Michelle. Gadis itu tidak pernah kesulitan untuk mendapatkan cinta berbalut nafsu. Seingat Viona, dirinya pernah tiga kali tidak bisa masuk apartemen karena Michelle tengah berkencan dengan kekasihnya. Lebih tepatnya, berkencan dengan kekasih-kekasihnya. Ya, ini karena tiga kali terciduk, ketiganya ternyata pria yang berbeda. Ada yang dari ras Hispanik, Kaukasian dan bahkan juga Afro-Amerika. Terhadap yang terakhir Viona benar-benar tidak habis pikir karena Michelle itu orang Asia sama seperti dirinya. Putih, mulus, bertubuh tergolong mungil. Gadis Filipina itu koq bisa-bisanya memiliki pacar kulit hitam, bertato dan dengan tindik di telinga dan hidungnya.

Masih terekam jelas dialog mereka berdua.

“Brian is the best,” pujinya. “We’ve been together for more than a year. You know what, it’s a new record for me.”

Viona sedikit pening dengan cara berpikir itu. “Well… you know…”

Bahasa Inggris Viona tiba-tiba kacau. Tak tahu apa yang mau ia katakan.

“Maksudku begini,” Viona memperjelas. “Seperti halnya diriku, kamu itu kan… you know… mungil. Sedangkan Brian…. Dia besar…. And… you know….”

“Aku mengerti maksudmu.” Michelle terpekik geli mendengar cara berpikir Viona yang lugu.

“Kamu lugu amat sih,” katanya dalam bahasa Inggris berlogat Filipina yang medok. “Penis besar itu yang bikin nikmat. Dan Brian-ku dia memiliki ketebalan dan panjang yang hebat.”

Viona ternganga ketika rekan satu apartemen itu menyebut diameter dan panjangnya.

“Oh shit! T-tidak bikin dirimu kesakitan?”

“Hanya di awal. Selanjutnya… amazing.”

Viona mendegut ludah. Dirinya memang sudah tidak virgin lagi. Tapi ia masih sulit mencerna bagaimana mungkin alat vital super besar bisa dianggap menyenangkan oleh gadis semungil Michelle? Dan Michelle menyatakan bahwa sakitnya hanya di awal?

Sempat mengira Michelle berbohong, akhirnya Viona tersadar sesuatu hal. Ketika ia kehilangan keperawanannya bukankah ia juga mengalami nyeri? Dan nyerti itu memudar, hilang, berganti rasa nikmat ketika pacar masa SMA-nya menidurinya beberapa kali sebelum kemudian mereka terpisah.

“Kau tak akan pernah membayangkan sensasinya memiliki pacar seperti Brian,” katanya memuji pria yang menurut Viona sangat hitam keling.

“Sensasi apa?” Viona bertanya sangat lugu yang membuat Michelle terbahak. “Kalian sangat berbeda. Kalian… beda ras.”

Michelle terbahak lagi. “Poor Viona, itulah yang namanya interracial. Percintaan paling mengasyikkan adalah ketika pasanganmu beda ras.”

Michelle mengucap kalimat itu santai. Sebaliknya Viona membelalak. “Tanpa sadar satu tangan menutup mulutnya yang ternganga lebar.

“Interacial?”

“Ya.”

“Lalu, bagaimana kalian bisa bertemu?”

“Viona, ini Boston. Amerika Serikat. Tak sulit bagi wanita cantik dari Asia seperti kita mendapatkan cinta. Pria-pria lajang atau berkeluarga di luar apartemen ini mengincar kita. Mereka juga mengincarmu. Beberapa kali ketika kita ke superstore aku tahu beberapa pria melirikmu. Memperhatikan lekuk tubuhmu.”

Untuk kesekiankalinya Viona terkaget. Dan untuk kesekiankalinya pula Michelle tertawa.

“Ya, ya, ya. Kalau aku mengajakmu keluar dengan outfit sedikit terbuka, tujuannya memang untuk itu. Come on. Show off sedikit. Pamerkan sedikit kulitmu yang terbuka.”

“Oh?”

“Untuk berikutnya, aku mau mengajakmu ke klub malam. Kau mau?”

Masih ada setitik norma dalam diri Viona ketika ia menolak ajakan gila itu. Ia masih belum berani melangkah lebih jauh. Cukuplah sampai tahap tanya-tanya begini saja. Tak lebih. Pikirnya, jika ia mengikuti saran Michelle ke klub malam, apa yang akan terjadi di sana? Bisa jadi gadis Filipina itu akan mengajaknya ke ruang klub yang lebih eksklusif lagi. Michelle menyebutnya gloryhole. Tempat dimana wanita manapun bisa mendapatkan kemudahan seks secara instan.

Viona bergidik. Takut. Tapi ia sadar, dan heran kenapa área kewanitaanya sudah sejak tadi melembab.

*

Pagi itu Ervan jengkel luar biasa. Saat hendak menandatangani sebuah dokumen penting untuk bagian procurement, ia lantas menunda. Matanya yang tajam segera menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan laporan itu.

Setelah mencermati beberapa saat ia tahu apa yang perlu dibenahi. Dengan cepat ia menekan tombol intercom untuk memanggil sekretarisnya untuk masuk.

Sekali, dua kali, tak dijawab.

Karena tak sabar ia keluar ruangan dan menemui seorang anak buahnya di meja kerjanya.

“Mana Shirley?”

“Kurang tahu, boss.” Si pegawai mengangkat bahu. “Tapi setengah jam lalu dia di pantry, bikin kopi.”

“Bikin kopi sampe setengah jam?”

Tak mau menunda lama-lama Ervan langsung melangkah cepat ke pantry. Ia tak mau menunggu karena kritikalnya masalah yang sedang dihadapi.

Saat membuka pintu pantry, ia melihat orang yang dimaksud. Gadis itu hanya sendirian di sana. Tak melakukan apa-apa kecuali menari-nari sesuai dengan musik dan gerakan-gerakan yang ditunjukkan di layar ponselnya. Gadis itu sedang Tik Tok-an.

Ervan geram.

‘Sekretaris pemalas ini harus diganti,’ pikirnya.

*