“Aku mengerti maksudmu.” Michelle terpekik geli mendengar cara berpikir Viona yang lugu.
“Kamu lugu amat sih,” katanya dalam bahasa Inggris berlogat Filipina yang medok. “Penis besar itu yang bikin nikmat. Dan Brian-ku dia memiliki ketebalan dan panjang yang hebat.”
Viona ternganga ketika rekan satu apartemen itu menyebut diameter dan panjangnya.
“Oh shit! T-tidak bikin dirimu kesakitan?”
“Hanya di awal. Selanjutnya… amazing.”
Viona mendegut ludah. Dirinya memang sudah tidak virgin lagi. Tapi ia masih sulit mencerna bagaimana mungkin alat vital super besar bisa dianggap menyenangkan oleh gadis semungil Michelle? Dan Michelle menyatakan bahwa sakitnya hanya di awal?
Sempat mengira Michelle berbohong, akhirnya Viona tersadar sesuatu hal. Ketika ia kehilangan keperawanannya bukankah ia juga mengalami nyeri? Dan nyerti itu memudar, hilang, berganti rasa nikmat ketika pacar masa SMA-nya menidurinya beberapa kali sebelum kemudian mereka terpisah.
“Kau tak akan pernah membayangkan sensasinya memiliki pacar seperti Brian,” katanya memuji pria yang menurut Viona sangat hitam keling.
“Sensasi apa?” Viona bertanya sangat lugu yang membuat Michelle terbahak. “Kalian sangat berbeda. Kalian… beda ras.”
Michelle terbahak lagi. “Poor Viona, itulah yang namanya interracial. Percintaan paling mengasyikkan adalah ketika pasanganmu beda ras.”
Michelle mengucap kalimat itu santai. Sebaliknya Viona membelalak. “Tanpa sadar satu tangan menutup mulutnya yang ternganga lebar.
“Interacial?”
“Ya.”
“Lalu, bagaimana kalian bisa bertemu?”
“Viona, ini Boston. Amerika Serikat. Tak sulit bagi wanita cantik dari Asia seperti kita mendapatkan cinta. Pria-pria lajang atau berkeluarga di luar apartemen ini mengincar kita. Mereka juga mengincarmu. Beberapa kali ketika kita ke superstore aku tahu beberapa pria melirikmu. Memperhatikan lekuk tubuhmu.”
Untuk kesekiankalinya Viona terkaget. Dan untuk kesekiankalinya pula Michelle tertawa.
“Ya, ya, ya. Kalau aku mengajakmu keluar dengan outfit sedikit terbuka, tujuannya memang untuk itu. Come on. Show off sedikit. Pamerkan sedikit kulitmu yang terbuka.”
“Oh?”
“Untuk berikutnya, aku mau mengajakmu ke klub malam. Kau mau?”
Masih ada setitik norma dalam diri Viona ketika ia menolak ajakan gila itu. Ia masih belum berani melangkah lebih jauh. Cukuplah sampai tahap tanya-tanya begini saja. Tak lebih. Pikirnya, jika ia mengikuti saran Michelle ke klub malam, apa yang akan terjadi di sana? Bisa jadi gadis Filipina itu akan mengajaknya ke ruang klub yang lebih eksklusif lagi. Michelle menyebutnya gloryhole. Tempat dimana wanita manapun bisa mendapatkan kemudahan seks secara instan.
Viona bergidik. Takut. Tapi ia sadar, dan heran kenapa área kewanitaanya sudah sejak tadi melembab.
*
Pagi itu Ervan jengkel luar biasa. Saat hendak menandatangani sebuah dokumen penting untuk bagian procurement, ia lantas menunda. Matanya yang tajam segera menyadari bahwa ada sesuatu yang salah dengan laporan itu.
Setelah mencermati beberapa saat ia tahu apa yang perlu dibenahi. Dengan cepat ia menekan tombol intercom untuk memanggil sekretarisnya untuk masuk.
Sekali, dua kali, tak dijawab.
Karena tak sabar ia keluar ruangan dan menemui seorang anak buahnya di meja kerjanya.
“Mana Shirley?”
“Kurang tahu, boss.” Si pegawai mengangkat bahu. “Tapi setengah jam lalu dia di pantry, bikin kopi.”
“Bikin kopi sampe setengah jam?”
Tak mau menunda lama-lama Ervan langsung melangkah cepat ke pantry. Ia tak mau menunggu karena kritikalnya masalah yang sedang dihadapi.
Saat membuka pintu pantry, ia melihat orang yang dimaksud. Gadis itu hanya sendirian di sana. Tak melakukan apa-apa kecuali menari-nari sesuai dengan musik dan gerakan-gerakan yang ditunjukkan di layar ponselnya. Gadis itu sedang Tik Tok-an.
Ervan geram.
‘Sekretaris pemalas ini harus diganti,’ pikirnya.
*
‘Viona baru saja keluar dari toko bunga. Sebuah buket bunga cantik berada di tangannya. Saat ia akan membuka pintu mobil, ia tiba-tiba tersadar bahwa ban mobil di sisi kiri depan dalam keadaan kempes.
Ia merutuk. Menyesali mengapa dunia seolah tak berpihak pada dirinya. Begitu banyak kesialan terjadi. Bahkan untuk sebuah ban mobil yang kempes mendadak.
Tapi tunggu dulu. Ia berpikir kuat. Berbarengan dengan kesialan sepertinya keberuntungan – walau sedikit – ternyata turut menyertai Viona. Ternyata ada bantuan dari seorang malaikat penolong yang Viona tidak duga. Sebuah mobil muncul di sampingnya..
“Viona?.“
Viona menoleh dan terkaget melihat seseorang yang dikenalinya. “Pak Bramantyo?”
Orang itu spontan protes. “Panggil Bram aja! Kamu kenap….”
Ia tak melanjut ucapan ketika melihat kondisi ban. “Oh ban mobil kempes?”
Viona mengibas rambut. “Nanya sendiri, jawab sendiri.”
Bram tertawa. Malu karena kebodohan pertanyaannya. “Kamu dari mana?”
Viona menunjukan buket bunga yang baru ia beli. “Habis beli bunga nih.”
“Untuk pemakaman papamu?”
“Kamu tau?”
“Aku pernah kerja dengan papamu. Dan, aku lihat kamu juga waktu di pemakaman, cuma nggak mau ganggu aja.”