Akal Bulus

Viona terdiam. Sedih sesaat mengingat kehadirannya di pemakaman tak lama setelah dua hari ia mendarat di Jakarta.

“Aku juga baru beli bunga. tapi dari toko lain. Nih dia?” Bram mengerling. Menunjuk seonggok buket bunga yang ada di bangku belakang.

Viona melihat juga dan merasa tersanjung karena ada orang yang begitu perhatian pada almarhum papa yang ia sangat cintai.

“Berarti kita mau sama-sama ke pemakaman dong?”

“Begitulah. Dan karena mobilmu kempes, kenapa gak ikut aku aja. kan satu tujuan.”

Mendadak terdengar klakson mobil dari belakang mobil yang dikendarai Bram.

“Tuh udah diklaksonin. Ayo masuk, kita berangkat sama-sama.”

Tak perlu berpikir panjang, Viona lantas masuk ke dalam mobil, di samping Bram. Mobil bergerak lagi.

“Kamu koq bisa tau papa meninggal? Kan kamu udah nggak di GE lagi.”

“Aku dapet pekerjaan di Golden Entrprise kan karena dia. Papamu. Orang yang hebat. Luar biasa. Aku kagum. Aku banyak berhutangbudi. Tanpa dia, aku gak akan jadi pakar ekspor impor seperti sekarang. Di pemakaman aku hampir pingsan. Gak kuat menahan kesedihan atas kepergiannya.”

“Emang almarhum papa bikin apa?”

“Dia itu mentor, guru, sahabat. Sifatnya sabar, gigih, nggak pelit ilmu. Ilmu mengenai ekspor impor dia ajarin ke aku. Aku betul-betul kehilangan. Orang-orang lain juga bilang gitu.” Wajah Bram terlihat sangat sedih..

“Aku juga, Bram.”

Mobil melaju lebih cepat. “Kamu mustinya bangga punya papa yang hebat. Dia banyak cerita soal kamu karena kami emang akrab banget. Perjuangan kamu, keseriusan menempuh pendidikan, gigihnya kamu, kesabaran beradaptasi di lingkungan baru di Amrik.”

Pujian bertubi-tubi pada orang yang Viona hormati membuat dirinya langsung simpati dan mengambil respek setinggi langit pula pada Bram.

“Dia cerita selengkap itu?”

“Kan dah kubilang, kami tu akrab. Dia direktur tapi humble banget. Mau negur, nyapa, cerita, ke aku yang cuma supervisor.”

“Kamu cocok ya kerja dengan papa.”

“Bukan cocok lagi. Jangan ge-er ya. Gara-gara akrab banget itulah papamu juga sering muji-muji kamu. Tunjukin foto-foto kamu.”

Mata Viona berbinar. “Serius?”

“Ya.”

“Dia bangga degnan bilang anaknya cantik. Sexy karena lagi doyan jadi K-pop girl.”

Viona tertawa. “Ihh, papa koq bisa gitu.”

“Lho, emang bener koq. Aku gak bantah karena waktu masih kerja di GE, beberapa kali ketemu kamu kalo pas kamu ke kantor pusat akibat dibawa papamu. Kamu emang cantik. sih. Hari ini, malah ketemu kamu yang baru pulang dari Amrik ternyata makin cantik.”

“Itu kesanmu?” Viona lupa menanyakan pertanyaan penting kemana Bram setelah keluar dari GE.

“Yap. Cantik, pintar, sexy.”

Viona mendengus pelan. “Aku mau ke pemakaman pake pakaian resmi. Sexynya dimana?”

“Sex appeal kamu kuat, Vio. Saya yakin banyak yang naksir kamu di Amrik.”

“Lebay.”

“Nggak. Nih aku buktin ya. Coba kamu liat di kaca spion dalam mobil.”

Viona menurut. Saat melihat kaca spion dalam, ia bertanya. “Ada apa emangnya?”

Bram menjawab sewibawa mungkin. “Ada seorang gadis di situ. Tak hanya muda, cantik, sexy, dia juga respek orangtua, ambisius, cerdas, dan segera jadi milyuner pebisnis andal,“

“Koq jadi merayu sih?” bentaknya.

Bram hanya tertawa. Viona tentu saja tidak benar-benar marah. Dia hanya pura-pura karena sebetulnya ia bahagia. Bahagia atas pujian Bram pada ayahnya dan juga atas pujian kelebihan fisik dan kecerdasaran yang Viona miliki. Entah orang itu bermaksud merayu atau tidak, Viona tersanjung.

Diam-diam, selama dalam perjalanan, Viona jadi sesekali mencuri pandang pada orang itu. Bram tidak terlalu tampan. Tapi badannya tegap, tinggi besar, dengan otot-otot lengan yang besar dan kuat. Jemarinya pun besar-besar. Sepertinya, wanita yang jatuh dalam rengkuhannya kecil kemungkinan bisa lolos. Ia akan diam, terperangkap, tak berkutik, pasrah, sampai kemudian sang pejantan menancap sengat cintanya.

Sayangnya, pikiran Viona salah.

Tak terbersit setitikpun dalam diri Viona bahwa sebetulnya Bram telah mengatur pertemuan ini. Ban mobil Viona yang kempes, adalah awal dari rencananya. Bunga yang sudah disiapkan dalam mobil juga demikian. Bram telah mencari dan menggali banyak info mengenai Viona yang baru ia lihat kembali setelah sekian tahun terpisah, di lokasi pemakaman ayahnya.

Bram benar-benar terpana saat itu. Sekembalinya dari Amerika, Viona jadi tampak jauh lebih menarik. Gadis itu makin penuh pesona. Kulitnya semakin mulus. Wajahnya makin cantik dengan rambut yang kini dipotong pendek di atas bahu sehingga menampilkan lehernya yang jenjang. Kendati mengenakan pakaian duka, Bram berani bertaruh bahwa di baliknya pasti tersimpan tubuh sintal Viona yang kaya akan lekukan. Mungkin 96-84-100, pikirnya asal saja.

Alam seolah turut mendukung sehingga semua rencana Bram demi menarik simpati Viona berjalan seperti yang diharapkan. Bram sudah tau tentang kedatangan Vonny kembali ke Indonesia dan ia memanfaatkannya.

Lalu, apa rencana Bram terhadap Viona?

*