Bagi Viona, wanita itu tipe MILF yang sempurna. Takkan ada lelaki normal yang menolak jika ia menyediakan diri jatuh dalam pelukannya.
Setelah setengah jam mengobrol, barulah mereka menyadari bahwa mereka memiliki chemistry yang sama. Mereka tak juga mau segera pergi selepas bicara kesana-kemari dimana mayoritas tentu saja membicarakan tentang pekerjaan sekretaris dari seorang CEO muda nan ambisius, Ervan Aditya Mintarja.
Entah karena kesal atau faktor alcohol dalam red wine yang kali ini mereka konsumsi, Shirley mudah saja mencerocos. Menceritakan bahwa dirinya adalah sekretaris untuk all-in-all. Sebuah istilah yang Viona langsung paham apa maknanya. Sayang, dirinya jatuh dalam ketamakan yang membuat dirinya menggelapkan uang perusahaan. Walau besarannya seperti luar biasa, nilai rupiah yang maksud ‘hanya’ dua ratusan juta rupiah yang – sialnya – dirampok suaminya.
Shirley memang sudah menikah tapi belum dikaruniai anak. Ia memiliki suami yang sudah menganggur tiga tahun terakhir ini. Konflik rutin membuat keduanya kini pisah ranjang dan suaminya terkadang pergi berhari-hari entah kemana. Situasi rumah yang panas seperti ini membuat Shirley enggan berlama-lama di rumah. Tapi dengan status pengangguran yang sudah di tangan, mungkin ia harus terbiasa dengan kondisi itu.
Bagi Viona pertemuan dengan Shirley adalah sebuah kebetulan yang luar biasa. Ia bekerja di Mintarja Grup bukan untuk uang. Secara rahasia ia melamar adalah untuk membongkar skandal keuangan yang mungkin dilakukannya. Untuk itu ia sangat membutuhkan informasi dimana hal itu ada pada diri wanita di depannya. Bagi Viona akan sangat mudah mengorek info tentang kondisi perusahaan jika Shirley bersedia tinggal di tempat kostnya yang baru. Segala biaya hidup akan menjadi tanggungan Viona. Dan layaknya sebuah simbiosis mutualisma, gayung bersambut. Shirley menerima tawaran itu.
“Gue hargai kebaikan lu,” katanya yang mulai sedikit mabuk.
Menyadari bahwa ia masih akan mengendarai kendaraan, Viona hanya minum hingga batas secukupnya. Tidak berlebih.
“Kita bersulang karena kita sekamar,” kata Shirley lagi. Viona mengikuti.
Dan saat dua gelas mereka berdenting, pikiran Viona langsung tertuju pada Michelle. Situasi ini jadi mirip keadaan ketika dia dan Michelle berbagi kamar di sebuah apartemen di Boston.
Sebuah pikiran muncul sekelebat. Sebuah potongan mozaik masa lalu ketika dia dan Michelle di satu ranjang yang sama diterangi cahaya seadanya.
Dalam geliat tubuh-tubuh mulus nan berkeringat. Bergerak-gerak liar dalam ritmik gelora syahwat beraroma larutan asmara. Saling pangku. Saling peluk. Saling pagut bak dua ular kobra tengah berkelahi. Sebuah pergulatan menuju klimaks yang berakhir dengan lenguhan dan kepuasan orgasmic dua sosok sejenis.
Viona terpekur sejenak. Mungkinkah hal itu terjadi lagi?
*
Rokib yang melihat kejadian dimana Narto habis diomeli Clarice gara-gara salah siram tanaman mendatangi rekannya sambil terkekeh. Tak cuma meledek ia juga kini mengomeli Narto.
“Dasar bego lu. Masa’ nyirem kembang aja gak bisa?”
Sama halnya dengan Clarice, ada bermenit-menit sendiri Rokib mengomeli Narto. Tapi Rokib akhirnya berhenti mengomeli setelah melihat rekannya justeru tersenyum-senyum tanpa menunjukkan rasa bersalah.
“Gue nggak bego. Kan ada lu yang ngajarin supaya gue pinter saat berhadapan dengan cewek.”
“Maksud lu?” Rokib tidak paham.
“Itu tadi gue sengaja, tauk. Cipratan airnya juga ngebasahin bagian dada.”
“Gak sengaja gimana?”
Narto tersenyum licik penuh kemenangan. “Selama dia ngomel, gue menang banyak, Kib. Di depan gue terpampang toket seukuran kelapa mateng di pu’un… yang cuma ketutupan kaos basah warna putih.”
Rokib mendegut ludah ketika Narto menggambarkan ukuran buah dada Clarice dengan kedua telapak tangannya.
“Gue malah bisa lihat warna pentilnya. Merah muda, Kib. Apa nggak menang banyak gue?”
[Yang kepingin tahu lanjutan kisah Rokib – Narto menghadapi kebinalan Clarice bisa nyimak di ‘ABG Bule Pacarku’ karya penulis yang sama].
*
Viona dan Shirley tiba di tempat kost eksklusif mereka, Anyelir Arcade namanya. Sementara Viona menemui pemilik kost untuk ijin memasukkan satu orang lagi di unit yang ditempati, Shirley melihat-lihat kondisi kamar dan lingkungan sekitar.
“Gue ke yang punya dulu,” katanya saat pamit meninggalkan Shirley sendirian di kamar.
Menurut Shirley tempat itu memang sangat nyaman. Teduh, bersirkulasi baik, tidak bising, privasi yang terjaga, dan dekat ke mana-mana.
Saat melihat ke arah taman kecil dekat jendela di bagian luar, Shirley melihat ada sosok di sana. Sosok Narto yang merapikan taman dalam keadaan topless akibat suhu panas siang itu. Shirley sempat menoleh ke arah lain. tapi sesaat kemudian matanya mengerling kembali. Mengagumi tubuh six pack pria yang ia yakin adalah pegawai yang mengurus tempat itu.
Saat berpikir mengenai pria, entah muncul dari mana, sebuah pikiran hadir begitu saja di benaknya. Pikiran ketika ia terlibat dalam orgy. Pesta sex yang diadakan klien perusahaan demi keuntungan milyaran buat Ervan, tapi nol besar buat dirinya.
Ia merasa marah dan terhina luar biasa.
Humiliated. Dipermalukan. Hanya itu yang ia rasa ketika tubuhnya diperlakukan tak lebih dengan toilet ketika pria-pria yang ada menyemburkan cairan demi cairan kejantanan ke sekujur tubuhnya. Atau ke dalam rahimnya.
Perasaan dipermalukan itu pula yang membuatnya mau membantu Viona yang saat di café tadi memintanya untuk menyelidiki aib perusahaan Mintarja Group yang pasti – dan memang – ada. Sama halnya dirinya, ia baru tahu bahwa Viona juga menyimpan dendam pada orang yang sama. Gadis itu sama bencinya seperti halnya dirinya. Jadi mereka berdua memang klop. Sama-sama saling membutuhkan dan siap bekerjasama demi kehancuran Ervan. Tidak, mereka tidak tertarik membunuh. Bangkrutnya perusahaan Ervan itulah tujuan utama. Tak ada yang lain.
Shirley melangkah ke lokasi lain. Dan ia baru menyadari bahwa tempat kost itu ternyata bisa ditempati pria maupun wanita. Buktinya ada juga kamar yang ditempati sepasang pria-wanita. Shirley agak meragukan bahwa keduanya merupakan pasangan suami isteri mengingat dari percakapan keduanya ia berkesimpulan seperti itu. Mereka beda umur cukup jauh, beda secara rasial, dan beda bahasa. Dilihat dari logat, si wanita sepertinya dari Manado sedangkan si pria yang tidak bisa berbahasa Indonesia berasal dari Jepang. Apakah mereka adalah expatriate dengan simpanannya atau memang suami isteri, Shirley tidak ambil pusing. Ia tidak mau menilai terlebih karena keduanya tergolong ramah dengan tadi sempat menyapa dirinya terlebih dulu.
Perkenalan singkat terjadi. Setelah saling memperkenalkan diri, berbagi sedikit info tentang latar belakang, dan lain sebagainya, Shirley diberikan kartu nama dari pria Jepang itu.
Kenji Kayama, recruiter agent, Playboy X Entertainment, PO Box H343, Osaka, Japan. Demikian keterangan di kartu nama, berikut nama jalan, nomor telpon dan alamat email.
Atas perkenalan itu, entah mengapa Shirley merasa ada sesuatu yang aneh. Yang tersembunyi. Entah apa. Ia belum bisa mengira.
*
Viona tahu diri. Ia sadar bahwa menambah satu orang rekan, seharusnya akan menambah biaya sewa. Dan kalaupun ia harus mengeluarkan biaya tambahan hal itu bukan masalah besar baginya. Bagi Viona, Shirley adalah asset yang harus dijaga.
Mr. Van Den Buijk, sang pemilik kost, tidak ada di tempat. Viona jadinya hanya menemui Clarice yang sore itu sibuk menari-nari K-Pop sambil duduk-duduk di bangku sofa. Dengan headset di kepalanya ia tidak sadar bahwa ada orang yang sedang menunggunya untuk berbicara. Sebuah tepukan kecil di bahu membuat Clarice berhenti menari dan menoleh ke arah Viona.
“Papa ada?”
“Ada. Capi, harus cunggu dulu sekicar… mmm… 30 menit.”
Viona berpikir-pikir. Menunggu 30 menit terasa cukup lama baginya. Tak mau repot balik ke kamar ia lalu mengganti topik.
“Kamu suka nari?”
Clarice mengangguk sambil melepas headset.
“Saya juga. Nama saya Viona. Wanna dance with me?”
Mata Clarice membulat. “Saya Clarice. Sebeculnya saya bisa menari capi… kurang.”
“Jangan sok merendah. Ayo K-Poper, kita goyang sama-sama. Udah lama nggak nari nih,” bujuk Viona riang.
“Saya cuma bisa sacu lagu. Bisa menari Do You Like That?”
“Sure. Kebetulan saya hafal gerakannya. Let’s do it together, Lisa” Viona tertawa sambil mulai menarik tangan Clarice untuk bersiap melantai.
Lisa adalah salah satu personel Blackpink yang merilis lagu tadi. Menyebut Clarice sebagai Lisa membuat gadis itu bersemangat. Viona melepas tas yang dibawa dan mengambil posisi siap menari. Ini membuat gadis bule itu semakin bersemangat lagi.
“Okay,” katanya. Ia lalu mengklak-klik ponselnya serta memperbesar speaker.
Dan keduanya pun mulai asyik menari, sekaligus menjalin pertemanan di antara mereka.
*