Di toilet wanita, Viona baru saja membersihkan diri. Sisa-sisa cairan kental kepriaan dari Ervan sudah lama terbuang bersama kucuran air dari wastafel. Jemari, telapak tangan, pergelangan tangan, blus, rok, sudah ia periksa baik-baik untuk memastikan mereka tidak tersisa setetespun.
Viona galau. Berbagai pikiran berkecamuk dalam benaknya.
Sudah berlebihankah apa yang ia lakukan?
Hingga seberapa jauh ia harus melangkah?
Perlukah ia berhenti dan melupakan upaya dendam?
Jika berlanjut terus tidakkah ia akan melangkah dalam kubangan dunia syahwat yang lebih mengerikan?
Bagaimana jika ia terciduk?
Jika ia terciduk apakah siap dengan somasi hukum?
Jika kalah di pengadilan, akankah itu berdampak pada bisnis keluarga yang ia sudah rintis? Bagaimana jika itu malah membawa perusahaannya, menuju akhir kehancuran usaha? Apakah itu berarti ia harus merintis usaha kembali? Dengan situasi zaman berbeda, bisakah ia survive?
Hening sesaat. Viona mengambil ponsel. Membaca lagi sebuah pesan WA yang tadi pagi baru saja masuk dan ia telah baca. Ia membaca lagi baik-baik pesan dari sang ibunda yang menyatakan bahwa ia harus menjual satu unit ruko lagi demi tuntutan kehidupan dan untuk memutar roda usaha mereka.
Kemarahan Viona menyeruak. Tekadnya timbul kembali untuk meneruskan rencana awal. Melakukan pembalasan dendam dengan menghancurkan bisnis Ervan apapun harganya. Tak peduli jika untuk itu ia harus nampak dan bertingkahlaku layaknya seorang pelacur!
Viona kembali berhias. Bersolek di depan kaca yang terpampang dekat wastafel. Mengembalikan kecantikannya kembali setelah sempat kacau akibat handjob panas setengah jam lalu. Denyut dan panasnya kepriaan Ervan masih terasa sangat nyata.
Viona mendegut ludah.
Tidak. Ia tidak mau fokus pada erotismenya. Fokusnya adalah pada satu hal yakni pembalasan dendam. Yang jelas, pemikiran yang tadi timbul itu kini jadi semakin kuat tertanam. Pemikiran berupa tekad bahwa ia takkan mundur. Kehanduran perusahaan Ervan harus terjadi dan ia akan terus melaksanakan sesuai rencana awal.
Ponsel Viona bergetar.
“Halo Bram,” katanya.
“Gimana interviewnya?” Bram to the point. Ingin tahu bagaimana hasilnya.
“Makasih ya. Sukses gue,” jawab Viona penuh semangat.
Nada bahagia terdengar dari suara Bram di ujung sana. “Cieeee, keren. Selamat. Berarti kita resmi satu kantor nih.”
“Begitulah. Gue kerja mulai besok lusa.”
“Jadi sekretaris jangan galak.”
Keduanya tertawa bersama.
“Gue baru dikasih tugas nih ke luar kota.”
“O ya?” Viona memindah ponsel ke tangan lain. Riasannya sudah selesai dan ia siap pergi meninggalkan tempat segera setelah dialog dengan Bram berakhir.
“Ke Papua.”
“Wuih, lama amat.”
“Begitulah. Satu bulan,” ujarnya jengkel. Bram menjadi sangat dan luar biasa jengkel lagi sebetulnya karena satu hal lagi. Viona sudah jadi pacarnya – tak peduli resmi atau tidak. Dengan berhasilnya ia memasuki perusahaan dan mendapatkan posisi yang ia mau, sebetulnya tidakkah itu berarti ia sudah bisa menikmati hasilnya yaitu: k e n c a n. Tadinya ia berpikir sudah bisa mengajaknya dinner. Atau juga menonton. Atau – jika ia sedikit beruntung - bisa juga langsung membawanya ke sebuah motel yang ia sudah persiapkan sehari sebelumnya untuk mereka habiskan malam bersama dengan cara yang indah. Sebuah hotel jam-jaman dimana di situ keduanya akan saling bertukar cairan dalam gelora erotisme yang dahsyat. Bram tadinya sudah merasa bahwa hari itu adalah rewarding day, hari pemberian hadiah. Bayangan tubuh molek milik Viona yang menggelinjang berkeringat dalam rengkuhan. Alangkah nikmat. Pasti nikmat sekali ketika puting gadis itu dilahap mulut rakusnya. Tapi, tapi…
Damned! Semua kini berantakan gara-gara perintah Ervan. Dan pekerjaan ini memang harus ia sendiri yang lakukan. Tak bisa dialihkan pada anak buahnya mengingat kompleksnya masalah yang ada.
“Jadi serius nih kamu ke Papua selama satu bulan?”
“Serius.”
Mata Viona membelalak. “Sadis banget?”
“Ya begitulah. Ini gue lagi di jalan. Lagi nyetir. Nanti gue telpon lu lagi. Bye.” Bram menutup pembicaraan.
*
Clarice itu supel. Dan itu merupakan keuntungan yang besar bagi siapa pun yang mendekatinya walau itu hanya sampai pada batas pertemanan saja. Mudah bagi Narto untuk mengajaknya bicara dan berakrab-akrab karena kebetulan dirinya memang bekerja untuk keluarga Van Der Buijk. Bagi Rokib, dia hanya bisa menonton dari kejauhan. Dari balik pagar ketika Narto memberi bantuan saat gadis pirang itu menyirami tanaman.
Narto yang mengerti isi pikiran Rokib bukannya tidak menyadari. Bahkan sebetulnya Narto beberapa kali menyebut nama Rokib dalam dialog dengan harapan Clarice tak keberatan orang itu bergabung.
“Si Rokib ngerti loh soal tanaman.”
“Saya punya teman yang lebih jago ngurus beginian. Itu tuh si Rokib.”
“Kalo soal pupuk, Rokib jagonya.”
Tapi Clarice tidak begitu menangkap pesan tersirat itu. Dia tetap sibuk menyirami tanaman, mencabuti rumput liar, serta memberi pupuk.
“Yang ini perlu disiram juga?” Narto pura-pura bodoh dengan menunjuk barisan pot berisi aglonema.
“Yes, cencu. Icu juga harus… apa itu namanya… siram siram,” jawabnya dalam lidah pelo yang parah.
Narto menurut apa yang diminta. Saat itu Clarice memang benar-benar merupakan seorang gadis yang sangat sempurna mengisi dahaga jiwanya. Gadis itu luar biasa. Dilihat dari sudut manapun ia sangat menggairahkan dan ini membuat Narto agak sulit berkonsentrasi.
Ketika Clarice menabur pupuk NPK, Narto menggunakan kesempatan itu untuk melihat dari arah belakang. Ia mendegut ludah menyaksikan betapa pendeknya hotpant hijau yang ia kenakan. Hotpant itu begitu pendek sehingga menampilkan sebagian CD. Pikiran Narto jadi nakal. Dan karena itu jugalah ia yang tengah memegang selang untuk melakukan penyiraman jadi kurang berkonsentrasi sehingga membuat Clarice terkena air di bagian lengan.
Clarice terpekik. Narto tersadar karena pekikan itu dan ia buru-buru meminta maaf.
“Narco, kamu kenapa cherobohhh?” Clarice protes. Ia membalik badan dan terlihat tidak nyaman dengan kaos putihnya yang kini basah.
“Kamu icu becul-becul ceroboh. Seharusnya kamu berhaci-haci.”
Narto diam saja membiarkan diri diomeli. Pun diam ketika Clarice menuding-nuding wajahnya. Di sela omelannya ia sekuat tenaga meminta maaf. Clarice baru pergi ketika ia puas selama lima menit mengomeli Narto.
*
Viona tidak langsung pulang. Sehabis keluar dari lift yang membawanya turun dari kantor ia singgah lebih dulu ke sebuah café. Rasanya secangkir macha latte bisa semakin menyegarkan diri dan pikirannya setelah panasnya bara api asmara yang sesaat dialaminya sejam lalu di kantor Ervan.
Baru saja ia memesan, sebuah suara di samping membuatnya menoleh.
“Dari kantor Mintarja Grup, mbak?”
Viona terkaget. Pertanyaan itu datang dari wanita yang tadi ditemuinya di lift saat dirinya baru saja tiba.
Ragu, ia mengangguk. “Masih inget ya?”
“Inget lah. Baru satu jam.”
“O iya,” Viona menepuk kening. “Pertanyaan bodoh.”
Cangkir kopi yang dipesan wanita itu sudah kosong. Wajar, pikir Viona, karena jika dilihat dari rentang waktu ia memang sudah sejam di sana.
Wanita itu mengeluarkan sebungkus rokok dari Berrybenka yang dipakainya. Dengan santun ia menawarkan pada Viona. Tanpa keberatan ia menerima sehingga keduanya kini mengobrol dalam suasana lebih asyik di tengah kepulan asap tembakau. Mereka berada di smoking room sehingga memang diizinkan untuk merokok kendati itu merupakan ruangan tertutup.
Dalam obrolan yang makin panjang, Viona baru tahu bahwa wanita itu adalah mantan sekretaris yang kini jabatannya di tangan Viona. Wanita itu, Shirley, bermata indah, hidung mancung, rambut panjang dan agak ikal hitam kelam sampai di bawah bahu. Tak ada kerut, atau cacat pada kulitnya yang putih dan terawat. Umurnya 15 tahun di atas dirinya yang di awal tahun ini mencapai genap 24 tahun. Namun usia terpaut jauh itu justeru membuat kecantikannya makin matang. Tak perlu banyak dideskripsikan mengenai tubuhnya. Viona melihat tak ada cacat atau kekurangan apapun. Semua ukuran tubuh proporsional dan kaya akan lekukan di sana-sini. Viona agak jealous untuk yang satu ini.