Kegilaan Ervan berlanjut tanpa Viona bisa hentikan. Di tahap-tahap berikutnya ia sudah sukses meminta Viona untuk tampil setengah telanjang. Ia bahkan meminta – dan tanpa bisa ditolak – pada Viona untuk mulai meremas payudaranya sendiri.
“Kau menikmatinya, Viona?”
“Yes, honey.”
Viona kini menyebut nama bossnya dengan sebutan mesra. Ia memang kini diperbolehkan. Pun juga boleh menyebut nama Ervan secara langsung tanpa embel-enbel ‘pak’ di depannya. Tentu saja itu dilakukan ketika keduanya dalam ‘private mode on’ seperti sekarang.
“Sungguh?”
“Ya, aku sha-ngat men-menikmati.” Wajahnya memerah dengan titik air keringat membasahi kening.
“Tidak terpaksa?”
“Thi-dhak…,” katanya. Hidungnya kembang-kempis dengan mulut sedikit terbuka menandakan nafasnya yang mulai tersengal tak beraturan. Di saat yang sama matanya tertuju ke sebuah obyek yang hanya belasan centimeter dari posisinya berada sekarang. Obyek yang ada dalam genggamannya. Sebongkah daging alot, keras, berurat, yang mencuat.
Kejantanan Ervan.
“Kamu sudah nggak virgin dan … terlihat berpengalaman. Sshhh…” Kini ganti Ervan yang sulit berkata-kata. Begitu pun Viona.
Keduanya memaksa diri bicara pun tak terguna karena hanya akan keluar kata terputus-putus yang sulit dipahami. Mereka berada di sofa empuk, salah satu perabot interior yang memang tersedia di ruang kerja Ervan yang tertutup dan terkunci. Duduk berdekatan, di pojok sofa, Viona tengah sibuk melakukan tugasnya saat interview ini yakni melakukan handjob dimana ia harus membuktikan bahwa tangannya memang terampil. Selain terampil menari modern, ia juga memiliki tangan yang terampil mengetik di keyboard computer, atau terampil menyusun file. Tapi kali ini tangannya juga tengah diuji dalam keterampilan memberi kepuasan pada diri sang CEO. Lebih tepatnya pada kejantanan Ervan yang mencuat keluar dari celana panjangnya yang kini tengah dalam genggaman dan kocokannya. Organ khusus Ervan itu panjang, berdiameter tebal, hangat serta terasa keras kenyal dengan urat-urat kebiruan mengular di sana-sini. Bulu-bulu tipis pada skrotus serta bulu kemaluanya yang lebat terlihat basah oleh precum akibat lima menit berada dalam rengkuhan gemasnya tangan Viona..
Apa yang Viona lakukan sebetulnya adalah hal yang menurut wanita itu sangat keterlaluan. Menyentuh kejantanan pria tidaklah istimewa. Toh, ia memang sudah tidak virgin. Tapi melakukan handjob alias mengocok kejantanan seperti ini betul-betul terasa tidak pantas, mempermalukan diri, dan bahkan menjijikan.
Saat pertama kali diminta Ervan melakukannya pikiran Viona berputar keras. Ia sedang dalam misi tertentu yang rahasia dan pribadi. Jika ia ingin segalanya berjalan seperti yang ia rencanakan, mau tidak mau ia harus berpura-pura. Hanya dengan kepura-puraanlah Ervan bisa merasa puas. Dan rasa puas itu bisa berlanjut dengan diterimanya dia sebagai sekreearis. Dan posisi itu bisa membuatnya mengetahui rahasia kelemahan perusahaan. Jika itu terjadi, pembalasan dendam bisa diwujudkan. Tapi memang ada yang Viona rasa aneh. Jika ini adalah sebuah kepura-puraan, mengapa cairan pelumas alami kini keluar deras dari celah kewanitaannya? Tanpa perlu mengecek ia tahu pasti bahwa CDnya sudah sangat lepek.
Ervan tiba-tiba melenguh. Nampak jelas bahwa ia mulai tak tahan lagi. Kepalanya mendadak terdongak ke belakang. Satu tangannya berpegangan pada pinggir sofa sedangkan yang satu lagi sudah sejak tadi menangkup sebongkah buahdada Viona. Blazer, blus dan BH gadis itu berserakan di lantai karena dirinya topless sejak tadi.
Dalam kepura-purannya, dengan acting penuh laiknya pelacur professional, Viona menatap dengan penuh nafsu ketika kejantanan yang makin menghangat itu mulai erupsi. Viona terpekik. Dalam sepersekian detik ia lantas sadar bahwa bukan pekik seperti itu yang akan membuat Ervan bangga. Ia kemudian mengganti gaya ketika semburan kedua terjadi.
“Auch,” cetusnya manja dan terdengar penuh nafsu.
Semburan kedua adalah yang paling deras. Menyemprot sangat keras hingga mengenai blusnya. “Oh, honeeyy…. “
Mendengar erangan manja, Ervan memilin dan lantas ncubit keras puting Viona. Tiga kedutan masih terjadi. Menyemburkan cairan sperma hangat yang kini membasahi telapak dan jari-jemari Viona yang masih tetap bergerilya. Viona melihat dengan takjub seolah anak kecil yang baru pertama kali mendapat mainan baru.
“Gilaaa. B-banyak amat semburannya?”
Ervan tersenyum. Itu adalah komplimentari yang mirip yang ia terima dari Shirley ketika di dalam mobil beberapa hari lalu. Bedanya ini hanya di tangan. Ia melihati mulut gadis itu yang setengah terbuka. Bibir padat penuh dengan lipstick pink tipis itu segera, ya sangat segera, akan ia isi dengan kejantanannya.
“Suka?”
Sadar bahwa ia harus terus berpura-pura, Viona terus melanjutkan aktingnya. Ia mendengus pelan, melepas cengkraman pada kejantanan Ervan yang mulai layu dan tersenyum manis. Cairan kejantanan Ervan membasahi jari, telapak, hingga pergelangan tangan dan mengenai rok dan blusnya. Viona tidak berlebihan kalau dikatakan bahwa semburan Ervan banyak sekali karena buktinya cairan tadi mulai tumpah dan makin menetesi sofa.
“This is the last interview,” bisik Ervan, terengah dan serak, sambil membelai sayang pada rambut pendeknya. “You’re hired. Welcome to Mintarja Group.”
Viona tersenyum semanis dan seseksi mungkin. Ia melihati cairan kental dalam tangkupan tangannya sekali lagi.
“Thank you, Boss.”
*
Bram mengomel. Pesan chat dari bossnya, Ervan sang CEO, sudah terkirim sejak pagi tadi. Namun kelalaian membuatnya baru membaca siang itu.
Ervan memintanya bersiap besoknya untuk berangkat ke Merauke dan Jayapura, Papua untuk urusan pembukaan kantor cabang di sana. Perintah ini dilakukan mengingat orang yang disiapkan jauh hari mendadak collapse dan harus dirawat ke rumah sakit sedangkan proses di dua kota itu tak boleh tertunda seharipun.
Seolah tidak cukup, Bram mendapat info lebih lanjut yaitu bahwa kemungkinan ia akan satu bulan di sana. Perjalanan bisnis satu bulan ini benar-benar menjadi rekor tersendiri dalam hal lamanya perjalanan yang harus dikerjakan. Percuma saja ia berkelit. Walau berbicara dengan sangat halus pun tetap saja Ervan memintanya untuk pergi menyelesaikan urusan yang ada.
“Urusan di sana berat, Bram.”
“Ngerti sih. Tapi…. satu bulan?”
“Kurang lama?” tanya Ervan dengan suara dingin.
Ditanya balik seperti itu membuat Bram terdiam. Ia memang tak punya pilihan lain selain mengikuti kemauannya.
“Saya akan persiapkam semua, Boss.”
“Good. Mengenai data teknis semua sudah di-enkripsi dalam winzip. Nanti diemail.”
Bram setuju dan pembicaraan berakhir.
“Sucks.”
Ucapan kejengkelan itu terdengar Waluyo, sopir pribadi yang pada pagi menjelang siang itu menyetir Bentley mobil dinasnya.
“Kesal kenapa boss?”
Ervan mengibas tangan. “Bukan apa-apa. Cuma soal anak buah yang membandel.”
Kendaraan limo yang dikemudikan Waluyo menyusur tol, mengarah ke Marina, Ancol. Di salah satu yacht yang tertambat di dermaga sana, ada pertemuan bisnis sang CEO dengan seorang pejabat tinggi pemerintah
“Ngomong-ngomong soal anak buah, pengganti bu Shirley udah ada?”
Ervan mengiyakan. “Besok dia mulai bekerja.”
“Besok?”
“Besok lusa tepatnya.”
“Cantik?”
“So pasti.”
“Sama cantik dengan bu Shirley atau sama cantiknya?”
Ervan suka dengan pertanyaan yang dirasanya nakal itu. Antara dirinya dan orang itu memang memiliki chemistry yang sama. Itu sebabnya omongan antara keduanya menjadi sangat informal. Santai. Sama sekali tidak mencerminkan hubungan boss dan anak buah yang hanya sopir.
“Sama-sama cantik. Sekretaris yang baru ini tpikal wanita bisnis banget. What a businesswoman. Sedangkan Shirley kan tipikal beda, MILF.”
Waluyo tersenyum lucu. “Jaga diri aja, Bro. Too much love can kill you.”
Ervan tertawa.
“Secepatnya akhiri petualangan cintamu. Pilih dan nikahi gadis yang nanti akan menjadi isterimu. Bikin banyak anak, pensiunlah dengan jauh lebih kaya,” ujar Waluyo serius sambil tetap mengemudikan mobil yang kini mulai memasuki kawasan Ancol.
Kali ini tak ada respon dari Ervan. Ia malah menekan sebuah tombol dan sebuah panel kemudian timbul. Menutup dan memisahkan kabin antara posisi pengemudi dan penumpang. Nasehat itu mungkin baik. Tapi ia sedang tidak pada posisi ingin diceramahi.
*