Give Me The Show

“Kamu harus tunduk demi untuk sejalan dengan prinsip perusahaan, prinsip AKU!” Ervan mendengus. “Apakah kamu tahu bahwa tunduk adalah syarat pertama menjadi sekretarisku?”

Lagi, Viona hanya mengangguk.

“Sekretarisku harus menemani aku di perjalanan dalam dan luar negeri. Dia nggak boleh jutek pada klien istimewa. Tidak boleh mengecewakan seburuk apapun penampilan mereka. Jangan banyak tanya, jangan banyak cingcong. Penuhi apa yang mereka mau.”

Sampai di situ Viona berpikir apa makna ucapan itu? Memenuhi apa yang mereka mau. Memangnya mereka mau apa?

“Tampillah cerdas namun juga elegan, cantik, penuh pesona kewanitaan yang kuat karena dia akan menjadi representasi perusahaanku.”

Ada setitik rasa bangga ketika Viona mendengar ucapan tadi. Bagi seorang CEO tampan, kaya raya, dan pasti sehari-hari dikelilingi banyak wanita cantik, jika ia dikatakan cantik maka itu benar dalam arti sebenar-benarnya. Kendati begitu ada rasa galau dalam dirinya yang belum sepenuhnya sirna karena tak tahu apa yang akan terjadi selanjutnya. Tapi perasaan itu hanya berlangsung sesaat ketika terasa olehnya kedua tangan Ervan kini berada di kedua pundaknya.

“Kamu memiliki semua itu.”

Viona menganggap itu sebagai pujian. “Terima kasih.”

“Kamu juga seksi.”

Diam. Ia memutuskan untuk tidak bersuara walau ia ingin sekali berteriak. Ruangan dimana mereka bekerja masih terus menyemburkan hawa dingin. Namun itu tak berasa bagi Viona. Ia hanya melihat ke arah dinding kaca dimana krei terlihat tidak tertutup sempurna. Kantor berada di sebuah gedung pada lantai 11. Di baliknya, terhalang krei setengah terbuka, ada gedung bertingkat lain. Viona berharap tidak ada orang di gedung sebelah yang menyaksikan adegan pemancing syahwat di ruang kerja CEO gila ini.

“Kamu seharusnya bangga.”

Diam. Viona tak memahami maksudnya.

“Bangga memiliki tubuh sempurna. Ya. Karena itu seharusnya tubuh ini sangat layak dipertontonkan. Show more skin.”

Hidung Viona terasa berkembang-kempis lebih cepat. Entah kenapa area kewanitaannya semakin terasa lembab.

“Tapi buka

n hanya kamu, semua calon sekretaris memang harus begitu kan? Cantik, molek, seksi, pintar. Tapi yang aku inginkan bukan hanya itu. Dia juga harus memiliki… lust.”

Sedetik kemudian desau angin dingin dari AC seketika menghunjam Viona ketika blazernya terlepas dan jatuh ke atas lantai. Viona terkesiap. Ini di luar yang ia duga. Kendati terkaget ia tetap bergeming. Diam tak bergerak. Hanya gemuruh gairah syahwat dalam tubuhnya yang ia terdengar. Keringat makin banyak keluar. Tubuhnya panas. Heran, ia membenci pria itu. Ia ingin menghancurkan. Tapi kenapa tubuhnya, terlebih area kewanitaan terintim itu, malah mengkhianati dengan malah lembab menjadi-jadi?

“Apakah kamu memilikinya? Memiliki gairah membara seperti itu?”

Uh, ditanya begitu sangat sulit bagi Viona untuk berbohong. Pria di depannya adalah sosok yang sangat pengalaman dengan perasaaan wanita sepertinya. Itu pasti.

“Y-ya,” jawab Viona cepat dengan kepala mengangguk-angguk. Ia heran, bahkan anggukan saja malah membuatnya semakin basah.

“Mau tunduk?” aroma parfum musk terhirup dalam penciuman Viona yang makin terengah karena apa yang terjadi. Saat itu tiba-tiba saja ia merasa bahwa Ervan mempermainkannya.

Ervan seharusnya mulai menjamah tubuhnya, tapi kenyataannya ketika tidak dilakukan maka hal itu terasa menyiksa!

“Mau kan?” ulangnya.

“P-pasti.”

“Good. Very good. Sejauh ini kamu benar-benar memenuhi ekspektasiku.”

“Terima kasih.”

“Kamu berterimakasih terlalu cepat.” Ervan menjawab cepat.

Mendengar suara Ervan yang begitu dekat, Viona jadi tahu bahwa pria itu berbicara dekat dengan telinganya. Suara itu makin jelas sehingga kini hanya berbisik berbicara di telinganya. Begitu dekat sehingga ia bisa merasakan dengus nafas Ervan menyentuh tengkuk lehernya yang jenjang.

“Sekarang, aku uji satu lagi.”

“Say it, please. Say it,” Viona tak sabar.

“Aku ingin minta pembuktian,” bisik Ervan lagi. “Lepaskan atasanmu, bajumu.”

Viona terkaget. Mulutnya ternganga. “Wh-at?”

“Kamu dengar aku kan?”

Dengan ragu Viona mengangguk dan mengikuti kemauan gila orang itu.

“Lepaskan bra sialanmu.”

Viona makin terkaget.

“Terakhir… remas dua bongkah daging montok itu buatku.”

Tubuh Viona bergetar.

Ervan melangkah lagi sehingga mereka berhadapan. “Kamu tau maksudku.”

Viona sangat galau. Juga malu. Perlukah ia melangkah sejauh ini? Masih perlukah ia membalas dendam yang diawali dengan cara yang ia anggap memalukan ini?

“Give me the show, please.”

*

Rokib yang suka usil dipanggil si Rokib Jelek, akhirnya kasihan juga melihat nasib Narto. Narto itu orang sekampung dengan dirinya di daerah transmigrasi Lampung. Anak itu benar-benar menyesali kebodohannya. Bodoh karena melewatkan peluang di depan mata ketika seorang wanita secara tersirat mendambakan jamahan dirinya. Wanita itu pun bukan orang sembarangan melainkan seorang wanita yang tak hanya cantik, putih, dada membusung, dengan lekuk tubuh kewanitaan yang sempurna. Tambahan lagi, ia juga seorang wanita karier yang sangat eksklusif. Bukan gadis panggilan yang biasa terlihat di keremangan malam.

“Ya udah lain kali lu musti siap,” Rokib menghibur. “Kan yang lu kejar-kejar selama ini juga bukan dia.”

Narto mengerti apa yang dimaksud. Dirinya memang selama ini lama mengincar puteri pemilik kost.

Namanya Clarice Van Der Buijk, gadis indo keturunan Belanda. Darah asing dari ibunya rupanya mengalir sangat kuat sehingga membuat dirinya sangat bertipe Eropa. Dengan dia bersekolah di sebuah SMA internasional, cadel berbahasa Indonesia, kulit putih mulus tanpa cacat, dan tubuh tinggi semampai serta kaki jenjang bak jerapah, ia benar-benar tidak terlihat sebagai orang Indonesia.

O ya, wajahnya pun agak berbintik-bintik laiknya gadis Eropa. Namun dalam hal kemolekan tubuh, gadis remaja itu benar-benar sempurna. Rambut pirangnya melewati bahu, dengan hidung mancung bangir, dan wajah bulat lonjong. Pendeknya, ia bisa mengisi khayalan semua pria dalam mengisi jam-jam tidurnya.

Selain mengurus selusin kamar kost Narto juga merangkap sebagai salah satu dari tiga pembantu keluarga. Ia juga menyetir mobil mulai dari mengantar-jemput anggota keluarga, membeli kebutuhan barang sekaligus untuk satu minggu, membeli bergalon air mineral, mengurus pembayaran air, listrik, internet, telpon. Dari sekian banyak tugas, tentu saja ia lebih suka mengantar jemput Clarice pergi ke dan pulang dari sekolah.

Upayanya menarik perhatian Clarice sepertinya menurutnya mulai sedikit membuahkan hasil. Terbukti dari gadis remaja pirang itu yang makin sering menyapa, tersenyum manis, atau sekedar mau diajak mengobrol. Hal ini sebetulnya tidak begitu mengherankan karena Narto sendiri sebetulnya tidak jelek. Ia tampan yang dibuktikan dengan atribut hidung, mata, mulut, wajah, dan lainnya yang di atas standar.

Gadis yang mereka bicarakan mendadak muncul. Ia keluar dari sebuah ruangan dan mulai menyirami beberapa pot bunga di sekitarnya. Mengenakan hotpant dan atasan kaos, ia santai saja g menyirami tanaman tanpa sadar sedang dilihati dua orang tadi.

Narto bertanya mendadak. “Gak salah nih?”

Pertanyaan Narto tidak segera dijawab karena yang ditanya masih menujukan pandangan ke obyek yang berjarak dua puluhan meter di depan mereka.

“Nggak,” jawab Rokib beberapa lama kemudian. Ia mengerti maksud pertanyaan tadi. “Ckckck. Emang dia nggak pake BH.”

*