Di kota Boston, Michelle melongok layar ponselnya yang berdering. Ia tengah letih dan sebetulnya mau mengabaikan . tapi niat itu urung dikukan ketika tahu bahwa penelpon adalah Viona, sahabatnya.
Begitu telpon diangkat ia langsung mendamprat rekan satu apartemennya. “Selisih waktu kita belasan jam, damn it! Kamu menelpon saat di Jakarta masih jam satu pagi! Iya kan?”
Setengah mati, Viona berusaha membujuk. Ia memang membutuhkan saran saat itu juga. Tidak bisa ditunda lagi karena jika ditunda besok segalanya sudah akan terlambat dan keadaan tidak bisa diperbaiki.
Penjelasan itu meluluhkan hati Michelle. Pada akhirnya ia pun rela mendengarkan curahan hati Viona. Bagi Viona yang cerdas, ia hanya butuh waktu lima-enam menit menceritakan apa yang saat itu sedang dialami dan kerjakan. Ia menceritakan kronologi dari awal sampai akhir mengapa melakukan perbuatan nekad menyusup ke perusahaan saingannya. Menyaru sebagai sekretaris, untuk tujuan menghancurkan dari dalam sekalipun yang ia hadapi bukan hal kecil karena pemiliknya, kendati tampan, adalah seorang predator sex.
“So the biq guestin now is: what should I do?” Viona menutup penjelasan panjang lebarnya dengan satu pertanyaan.
“Masalah itu harus dihadapi, bukan dihindari.”
Uuuh, Viona benci dengan jawaban itu. “I hate that answer.”
“Kamu tahu itu artinya?”
“Tahu.”
“Coba sebut.”
Viona mendengus. “I need to… fuck him up.”
“Nah, kamu sudah tahu jawabannya. OK? Aku lanjutkan aktifitasku. Bye.”
“Wait!”
“Kamu menanyakan pertanyaan yang kamu sudah tahu jawabannya. Kamu sudah kasih handjob ke bossmu, berikutnya ya apalagi kalau bukan blowjob dan sexual intercourse. Kamu bisa saja pura-pura menikmati saat memberi handjob. Namun untuk blowjob dan intercourse tak bisa lagi. Ketika kamu pura-pura menikmati, ketahuan bohongnya.”
“Jadi untuk berikut aku harus serius bercinta?”.
“Begitulah. C’mon, it’s not your first time.”|
“Tapi kamu tahu kan… aku jijik kalau harus blowjob. Sulit membayangkan pennis keluar masuk mulutku dan kemudian muncrat memenuhi rongga mulutku.”
“Hhhhh… Viona, Viona. Menurutmu kenapa felatio harus dianggap menjijikkan kalau kamu saja suka di-cunnilingus? Pria dan wanita harus lakukan bagian masing-masing. Hancurkan egomu.”
“Jadi menurutmu aku egois?”
“Sangat egois. Kamu suka cunnilingus, berarti kamu juga harus suka felatio. Harus suka blowjob pasanganmu. Lakukanlah, Sayang. Kamu pasti suka. Malah bisa ketagihan.”
“Aku pasti akan suka dengan cipratan lendir pria? Cairan cement? Atau mani? Aduh, aromanya saja bikin mual.”
“Itu karena kamu anggap hal itu menjijikan. Ini soal mindset. Pola pikir. Impuls alam bawah sadar dari neuron otakmu harus berkorelasi dengan data otak cerebellum.”
“In English please.”
“Maksudku begini, kesukaan atau ketidaksukaan itu sifatnya subyektif. Itu tergantung dirimu, bukan lingkungan. Bukan orang lain. Dirimu yang harus punya mindset bahwa cairan cement atau semburan sperma bukan kejijikan. In fact, it’s a gift. It’s a reward.”
“Hadiah? Are you crazy?”
“Kamu mau telpon kita berakhir?”
“No, no, explain please.”
“Aku ingat kasus dua tahun lalu. Saat itu kamu pernah bawa terasi dari negaramu untuk sarapan nasi goreng. Aku hampir muntah mencium aromanya, tapi bagimu itu sangat lezat. Paham? Jadi, apa bedanya dengan cement dan sperma? Rasa yang delicious atau disgusting, itu hanya masalah mindset. Untuk misimu sukses kamu harus memandang lendir pekat, kental dan berbau itu sebagai hadiah. Treat as delicious cream. Lagipula sperma mengandung protein, you know. It’s good for your health. “
Viona terkejut dengan penjelasan itu. “Aku… harus menganggap cairan itu sebagai kebutuhan?”
“Untuk kesehatan, vitalitas, kecantikan, Yes. Kuatkan mental, jangan musuhi. Kalau kamu gagal mengendalikan pikiranmu maka itu akan menyakitkan hati Irvan dan..”
“Ervan.”
“Akan menyakitkan hati Ervan. Wow, dia seorang CEO yang menurutmu tampan, kaya raya, dikelilingi banyak wanita cantik. Jadi kalau kamu menunjukkan sikap jijik, itu benar-benar akan menghancurkan egonya. Kegagalan memuaskan ejakulasi akan membuat pria melakukan tindakan balasan luar biasa yang menyakitkans. Tapi sebaliknya, dia akan berlutut mendamba cintamu. Intinya, you have to enjoy it.”
“E-enjoy. Menikmati lendir dari orang tak kusukai?”
“Aku malah menikmati dari orang yang tak kukenal,” Lichelle merujuk profesinya di tempat gloryhole.
“Bagaimana kalau aku biarkan masuk mulut tapi kemudian aku ludahkan kembali? .”
“Why is that?”
“Jijik.”
“Oh, poor Viona. Kenapa kamu masih mengira menelan sperma sebagai kejijikan. It’s a reward! Itu hadiah bagi seorang wanita karena berhasil memuaskan pasangannya.”
Penjelasan Michelle terasa masuk akal. Ia tidak ingin misinya gagal dan itu berarti ia harus melakukan apa yang Michelle sarankan.
“Can you teach me how?”
“Heloow, kamu di Jakarta dan aku di Boston. Kalau kamu di sini, detik ini juga aku antar kamu ke kamar gloryhole. Gadis-gadis Asia sedang naik daun. Semua jenis pria berbondong-bondong antri untuk menikmati kuluman dan hangatnya mulut mereka.”
*
Salah satu tugas rutin Narto di Anyelir Arcade adalah memeriksa lingkungan sekitar pada dini hari. Itu sebabnya keingintahuannya terusik ketika melihat bahwa lampu di unit kamar yang ditempati Viona dan rekannya Shirley – Narto menyebutnya Tante Shirley – masih menyala. Takut ada sesuatu yang buruk yang bisa terjadi, ia lalu memutuskan untuk memeriksa.
*
“Helo? Sudah mengerti penjelasanku?”
“Michelle, kau membawaku pada sudut pandang lain bahwa gloryhole ternyata menyenangkan. Aku…. Aku…. Masih merasa aneh. Memang apa hal lain yang membuat gloryhole begitu menarik?”
Pengakuan jujur itu diapresiasi Michelle. “Sensasi yang luar biasa. Bayangkan, kamu memasuki sebuah kamar ukuran kecil. Lantainya lengket di sana-sini dan ruangan kecil itu penuh aroma kepriaan. Selanjutnya, kamu hanya perlu berlutut dan… enjoy! Kamu tak bisa bayangkan nikmatnya saat sperma pria asing terciprat ke muka. Atau tersembur dalam rongga mulut. Atau saat seorang asing kamu izinkan mengirim jutaan benihnya ke rahimmu.”
“Awwww Michelle. You’re naughty… ” Viona terpekik. Mereka sudah mengobrol sekian lama dan harus diakui bahwa perlahan tapi pasti kewanitaannya membasah.
Tak lama ia menangkup buah dada dengan satu tangannya yang menganggur. Saat itu ia hanya mengenakan piyama lingerie berbahan halus dan tipis. Michelle itu petutur handal. Pandai bercerita. Viona sudah dari tadi ‘basah’ mendengar ocehannya.
“Sepertinya aku telah membuatmu basah ya,” Michelle tertawa kecil. “Begini saja, aku akan kirim kamu link internet. Kamu pelajari video-video yang aku kirimkan. Pelajari baik-baik teorinya sebelum kamu praktekkan besok dengan Irvan.”.
“Ervan.”
“Whatever.”
Saat pembicaraan akan diakhiri, gantan Michelle yang mengajukan satu pertanyaan.
“Kamu sudah mengajukan banyak sekali pertanyaan – for which I thank you – karena menunjukan minat yang besar. Sekarang izinkan aku yang bertanya.”
Viona langsug menyetujui. “Yes please.”
Setelah menghela nafas sesaat, Michelle mulai berbicara dengan hati-hati. “Saat ini kamu tertarik mengenai dunia blowjob. Sesuatu yang sangat kamu hindari ketika kita masih sama-sama di Boston. Sekarang, setelah kamu mendapat semua info itu dariku, kurasa kamu sudah siap untuk melakukan BJ seperti saranku. Kamu juga tidak takut lagi. tidak jijik lagi. Am I correct?”
“Benar.”
“Nah, jadi ini pertanyaanku: .menurutmu apa yang harus kamu lakukan agar BJ bisa berlangsung sukses? Dalam arti bahwa aksi ini akan menguntungkan keduabelah pihak.”
Seperti sudah menyiapkan sejak lama, Viona langsung menyampaikan jawabannya. “Sexy outfit!”
“Kurang tepat. Itu perlu dilakukan tapi ada yang lebih penting dari sexy outfit. Apakah itu?”
“ Jawaban yang benar mungkin adalah mindset. Perubahan pola pikir. Iya kan?”
“Benar,” Michelle puas dengan jawaban itu. “Jadi tugasmu memastikan BJ dengan Ervan besok berlangsung sukses adalah dengan menggunakan midset baru yang 100% berbeda dari pola pikir kamu sebelumnya.”
Tidak terdengar jawaban langsung dari Viona. Michelle tidak merasa perlu mengejarnya karena tahu apa yang terjadi. Viona pasti sudah sangat terangsang atas saran-sarannya saat ini. Dan dugaan Michelle itu memang tepat karena bayangan tentang blowjob membuat Viona sibuk memilin-milin puting payudaranya.
“You will like it, Viona. Yes, you will like it!”
‘Aku pasti akan menyukainya?’ Viona membatin. ‘Benarkah?’
*
Narto happy.
Keberuntungan sepertinya banyak menghampiri dirinya selama 1-2 minggu ini. Tak sengaja melihat lampu di kamar Viona menyala ia langsung mendatangi dan secara tak terduga mendapat peep show alias pertunjukan mengintip yang panas ketika mengintip apa yang Viona lakukan di atas ranjang.
Narto seperti mengalami pengulangan kejadian. Kejadian hari pertama Viona di tempat itu, terulang lagi. Ia mendapati peristiwanya agak mirip. Viona pada dini hari itu sedang berbicara dengan seseorang, memakai bahasa Inggris campur-campur, dan kedapatan tengah terangsang. Bedanya, ia kali ini memergoki gadis itu mengobrol sambil meremas-remas buahdadanya.
Narto jadi berpikir-pikir bagaimana cara untuk bisa menikmati tubuh molek Viona.
*
*
Viona sepertinya kecele. Apa yang terjadi di kantor hari ini ternyata tidak seperti yang ia perkirakan. Pagi ini Ervan jadi datang ke kantor, beraktivitas, dan beberapa kali malah mereka berada sendirian di ruang kerja Ervan. Tapi apa yang Viona bayangan dimana Ervan akan menggumuli tubuhnya pada kesempatan pertama di ruang kerjanya ternyata tidak terjadi.
Pria itu sibuk melakukan aktivitas. Kesibukannya pun sangat luar biasa seolah ia baru pulang setelah terdampar di sebuah pulau terpencil selama berbulan-bulan. Tentu saja ia mengobrol dengan Viona dan memberi perintah, tapi memang hanya itu yang terjadi. Viona merasa malu sendiri. Kecele karena Ervan ternyata bukan tipikal predator yang memangsa kapan pun dan di mana pun ada kesempatan. Tidak, Ervan tidak seperti itu.
Dalam beberapa kesempatan malah Viona merasa seolah disingkirkan. Diduakan. Diabaikan. Yaitu ketika Ervan malah lebih banyak berbincang atau malah bercanda dengan staf wanita lain.
Selama ini Viona berpikir bahwa dirinya adalah wanita yang pasti memenuhi ekspektasi laki-laki manapun, termasuk CEO seperti Ervan. Dirinya cantik – sangat cantik malah – dan memiliki kemolekan tubuh yang bisa disandingkan dengan wanita sekelas model Victoria Secret. Tapi alangkah menyakitkan pada apa yang terjadi hari ini. Ia harus menyadari satu kenyataan pahit saat di hadapan Ervan.
Bahwa dirinya ‘tidak laku.’
Mintarja Group adalah perusahaan Ervan yang sekilas sepertinya lebih cocok disebut sebagai perusahaan produksi sinetron daripada perusahaan logistic. Di sana pegawai pria tidak sebanyak yang wanita. Datang dari berbagai ras, pendidikan, skill, atau umur, wanita-wanita cantik bertebaran di mana-mana. Mereka yang sangat berpengalaman pun, seperti posisi manajer dan bahkan direktur junior tidak sedikit yang rupawan.
Kondisi itu lambat-laun membuat Viona sadar bahwa dirinya bukanlah wanita tercantik di perusahaan. Bukan pula wanita tersexy. No, it’s a big mistake kalau berpandangan begitu. Tidak heran jika situasi ini menjungkirbalikkan pemahamannya.
Viona kini malah larut dalam rasa cemburu. Cemburu karena Ervan sepertinya kurang memperhatikan dirinya dan lebih fokus pada wanita lain.
Keadaan ini berlangsung berlarut. Dari pagi ke siang, siang ke sore, sore ke malam. Viona benar-benar terabaikan. Ia jadi malu sendiri bahwa di hadapan Ervan dirinya itu … nothing. Tak ada pujian atau apresiasi atau ungkap kekaguman yang terpancar pada mata Ervan saat menatap dirinya seperti dulu saat ia di-interview. Pria itu seolah mendadak jadi mati rasa padanya. Cuwek. Tapi tidak pada para staf wanita lain. Melihat kedekatan mereka malah membangkitkan rasa cemburu dalam diri Viona. Mengapa Ervan bisa akrab dengan mereka tapi tidak dengannya?
Seolah tak puas, esoknya Ervan melakukan yang sama.
Besoknya lagi.
Lagi.
Dan besoknya lagi.
Betapa berbedanya Ervan dengan Bram. Antara Viona dengan Bram di Papua sana komunikasi jadi makin intens. Sejak beberapa hari lalu, atas inisiatif Bram tentu saja, keduanya mulai ber-videocall.
Dan bagi seorang pria yang terkucil di tempat sepi, Viona sangat tahu apa yang ‘pacar baru’ itu minta. Ia memenuhi saja ketika Bram mulai meminta dirinya topless. Di vidcall berikut dan berikut lagi situasi menjadi semakin hot dan membara. Pada vidcall terakhir, yang keempat, Bram sukses membujuk dirinya untuk, dalam keadaan nudis, mengangkang di depan kamera dengan dirinya membuka lebar-lebar labia kanan-kiri. Menampilkan merah dan basahnya organ terintim miliknya saat itu. Hal gila yang dilakukan lagi dan lagi sampai keduanya mencapai kulminasi ekstasi bersma-sama.