Pengalaman Narto saat kemarin bertemu Viona untuk pertama kalinya, langsung jadi topik pembicaraan hangat antara dirinya dengan Rokib, sahabat sekaligus penjual mie tektek yang setia mangkal di depan rumah. Lokasi yang cukup ramai memang telah membuat Rokib menjadikan tempat itu sebagai lokasi permanen dirinya berjualan mulai dari menjelang jam makan siang hingga malam pukul delapan.
Narto bercerita dengan penuh semangat tentang apa yang ia lihat. Bayangan gunung kembar milik Viona dengan kedua pucuk yang mencuat nyaris menembus kaos t-shirt tipis yang dikenakan, membuatnya tak bisa tidur malam itu. Ia ragu apa penyebab keanehan itu.
“Bego lu,” tegur Rokib di tengah kesibukan menyiapkan gerobak dagangannya. “Kalo ada cewek lagi begitu, mungkin juga dia lagi terangsang, Nar.”
“Haaa? Lu yakin, Kib? Emang apa alasan dia jadi mendadak terangsang gitu?”
“Sebelum itu dia ngapain?”
Narto berpikir sesaat. “Liatin isi kamar.”
“Mungkin dia liat ada gambar yang hot di situ. Mungkin kalender gambar cewek pake bikini atau lagi nungging di ranjang.”
“Hush… di kamar ga ada gambar begitu. Beda lah dengan isi kamar kost lu. Gambar tiga X aja ada.”
Narto yang memang pernah dua-tiga kali bermain ke tempat Rokib terkekeh. Ini membuat Rokib yang digodai jadi jengkel.
“Awas ya berani ngeledek gue sekali lagi, gue jitak lu pake hp lu yang belum lunas itu.”
Saat mendengar kata ‘hp’ Narto jadi teringat sesuatu.
“O iya, dia nelpon temennya. Gua sempat denger. Tapi pake bahasa Inggris, gue gak paham.”
Seusai mengucap begitu, Narto terdiam. Ia teringat sesuatu yang lain. Suara lenguhan, desah, menggeram, decak-decik yang keluar dari speaker smartphone gadis itu. Bagai mendapat pencerahan, matanya kini melotot.
“Gue sekarang tau, Kib. Tau kenapa cewek itu mendadak jadi kepanasan gitu,” kata Narto mantap sambil menjentik jari. “Dia emang lagi terangsang dengerin temennya sedang wikwikwik.”
Narto kemudian menceritakan ulang apa yang ia lihat dan dengar. Penjelasan itu dianggap benar oleh Rokib.
“Wuihhh… sebetulnya itu peluang lu, Nar. Kenapa lu lewatin mumpung dia lagi terangsang gitu. Ah, bego lu.”
“Gak mungkin. Gue sama dia beda segala-galanya. Gak mungkin dia mau sama gue.”
“Lu tuh lugu atau bego sih? Cewek itu kalo udah terangsang dia nggak mikir soal perbedaan. Kalo lu berani, dapet tuh. Kalo cuma sekedar remas tetek pasti lah dia kasih.”
Narto menyesali peluang yang terlewat akibat keluguannya.
*
Sambil tetap berdiri di tempatnya semula, Viona berdiam diri. Buat saat ini ia memutuskan saja untuk menjadi pendengar Ervan yang baik terlebih dulu. Selain itu ia juga memutuskan untuk tidak membetulkan pakaian atasannya setelah sempat kusut akibat ulah Ervan yang sempat meraba-raba buahdadanya. Ada rasa terhina, sebal, dan galau yang begitu kuat. Tapi Viona sadar bahwa ia tak punya banyak pilihan.
Yang ia inginkan adalah menendang selangkangan atau tulang kering orang itu atas kekurangajaran yang dilakukan. Atau malah menempeleng. Tapi tidak bisa. Jangankan menempeleng wajahnya, menunjukkan sikap tidak suka pun dirinya tahu akan membuyarkan semua rencana. Saat pria itu tadi melakuan pelecehan ia hanya diam membisu. Pria itu hanya melakukan sekali sebelum kemudian mulai menceramahi dengan nada marah dan penuh ambisi, sambil berjalan-jalan memutari sekeliling Viona.
Ervan kini melihat Viona dari depan. Matanya menatam wajah itu tajam. “Menjalankan bisnis di era sekarang nggak lagi sekedar dijalankan pola lama. Harus out of the box. Perusahaan ini besar setelah kami dapat klien penting, customer penting, pejabat penting, yang didapat, disogok atau apalah istilahnya, dengan cara sex entertainment. Entertain di night club, private hostel, pool party, karaoke room. Intinya kami melakukan segala cara untuk jadi besar walau itu berkesan kotor.”
Bulu kuduk Viona meremang. Nampaknya sex menjadi bagian tak terpisahkan pria itu. Terbukti dengan tangannya yang kini kembali mulai meraba-raba lagi. Tapi secara misterius pula, jujur, kewanitaan jadi mulai melembab.
“Aku tidak pusing dengan moral,” Ervan menyentuh kancing teratas blazer yang Viola kenakan. “Jadi kalau kau mau bawa pesan-pesan moral, kau itu menyedihkan. Percuma saja karena kami nggak butuh. Jangan sekali-kali bicara soal murah di depanku. Kamu paham?”
Viona mengangguk sambil menelan ludah susah payah.
“Karyawan yang tidak sejalan kami akan PHK…”
Dada Viona terasa bergemuruh sementara Ervan terus berbicara.
“Dan kami melakukannya…”
Ervan memegangi kancing blazer pertama.
“Satu…” Pria itu melepas kancing pertama.
“Demi…” Dan kancing kedua.
“Satu…” Juga kancing ketiga, yang terakhir.
Viona terkesiap karena saat mengucap tiga kata terakhir secara pelan Ervan pun satu per satu melepas tiga kancing blazer.
Viona hanya mendengar langkah sepatu Ervan ketika pria itu kini kembali berada di belakangnya. Aroma parfum musk merambati syarat penciuman. “Karena sadar akan pentingnya keberadaan orang-orang seperti mereka, kami tidak segan mendisiplin karyawan yang tidak sejalan dengan kami. Kamu tahu apa itu artinya untuk orang dengan posisi sekretaris sepertimu?”
Dengan ragu-ragu, Viona menggeleng.