Pintu lift terbuka. Saat Viona keluar bahunya sempat bertabrakan dengan bahu seorang wanita yang masuk ke dalam. Viona mengaduh tapi tidak mau mengomel. Ia hanya sempat melihat bahwa wanita itu cantik. Berkulit putih dengan rambut dicat pirang, tinggi tubuhnya sepantar, dengan mata yang sembab. Keduanya sempat beberapa detik bertatap mata sebelum kemudian pintu lift menutup kembali.
Ini hari interview yang harus dijalani Viona. Bram sudah menginformasikan apa hal-hal penting yang perlu ia lakukan dan tidak boleh lakukan saat akan diwawancara sang CEO. Begitu pun soal outfit yang dikenakan. Adalah Bram yang menyarankan untuk mengenakan atasan satin serta jas blazer dengan high heels. Viona tidak tahu mengapa Bram sampai ikut campur dalam menentukan penampilannya. Adalah Bram juga yang menyarankan agar potongan rambut pendeknya pun di atur sedemikian rupa agar sedikit terangkat demi semakin memperlihatkan leher jenjangnya.
Waktu interview pun tibalah. Viona melangkah ke ruang sang CEO. Melangkah pasti, tanpa ragu, dengan percaya diri yang besar. Dalam mendapatkan posisi ini sebetulnya tidak semua pendidikan dan pengalaman yang dimiliki akan ia gunakan. Gelar dari perguruan tinggi di Amerika pun ia singkirkan. Ia merasa tak perlu menyertakan bukti sertifikatnya. Sebaliknya Viona hanya menggunakan diploma kelulusan dari semacam kursus yang ia pernah miliki. Kalau tujuan Ervan merekrut sekretaris dengan kemampuan berbahasa Inggris dan analisa yang handal, lampiran CV dan sertifikat plus pengalaman berorganisasi yang dimiliki Viona rasanya lebih dari cukup.
Desir angin AC menyapa wajah ketika Viona melangkah memasuki ruang kerja sang CEO dengan diantar seorang staf kantor. Orang yang akan mewawancarainya, pimpinan tertinggi Mintarja Grup, kini berada di depannya. Duduk di bangku ergonomis berbahan kulit sambil menekuni selembar kertas di depannya yaitu CV atas nama Viona.
Setelah ditinggal staf, Viona canggung karena ada sekitar lima menit ia berdiri tanpa dipersilahkan duduk atau ditanyai sesuatu. Suasana hening. Namun tidak dengan apa yang ada dalam benak pikiran Viona. Perasaan Viona campur aduk. Orang di depan dirinya adalah orang yang ingin ia hancurkan hidupnya karena telah terlebih dulu menghancurkan bisnis keluarga. Ia adalah orang yang secara langsung atau tidak telah membuat ayahnya almarhum mengalami fase penderitaan sebelum maut menjemput. Orang itu juga adalah penghancur bisnis keluarga yang telah puluhan tahun dirintis. Seorang yang sangat tidak sabar untuk ia balik menghabisi. Viona dalam pergulatan batin yang besar. Namun ia sadar bahwa ia perlu menghendalikan emosinya. Dan ia telah belajar untuk berakting demi mendapatkan perhatian pria itu. Ini bukan hal mudah terlebih karena Ervan juga ternyata bukan orang yang enak untuk diajak bicara.
Tak ada jabat tangan atau bentuk ucapan sambutan. Pertemuan antara mereka berdua berjalan kaku dan dingin. Detik-detik yang ada dimanfaatkan Viona untuk secara sekilas melihat calon atasannya, sang CEO perusahaan logistic dan forwarder dengan lingkup bisnis super besar.
Mengenakan hem berwarna biru gelap, Viona harus jujur mengakui bahwa pria itu tidak jelek. Okay… maksudnya: tampan. Tatap matanya tajam berserta hidung mancung, kedua alis tebal, rahang yang kuat, kulit kecoklatan, dan rambut berombak. Semuanya terpasang sempurna dalam tubuh tegapnya. Dari balik lengan kemeja yang ujungnya terlipat, terpampang lengan-lengan kokoh dengan bulu-bulu halus kehitaman. Pendek kata, jika tak menjadi pria tajir sang CEO ini pasti dengan mudah bisa menemukan lowongan sebagai bintang sinetron.
Dan setelah sekian lama menunggu, orang itu akhirnya bicara juga.
“Aku sebetulnya sudah menutup lowongan ini sampai ada seorang idiot yang memintaku memberi kesempatan interview untuk satu orang lagi.”
“Aku capabable untuk tugas ini. Please, gimme a chance. Aku pasti bisa melakukan karena pengalaman yang ada.”
Ervan menatap tajam. Viona balik menatap. OMG, pikirnya, pria yang ia benci itu memang rupawan.
“Itu tindakan membuang waktu. Sebentar lagi aku pergi. Apa yang membuatmu berpikir aku harus memberi waktu dan kesempatan interview buatmu kalau kandidat sebelumnya sudah memenuhi semua kriteria yang kumau?”
“Aku pasti lebih baik,” jawab Viona lugas.
“Omong kosong.” Ervan bangkit dari bangku, melangkah mendekati Viona.”Perusahaan. GE ini baru berdiri sepuluh tahun dan kami langsung menduduki peringkat lima besar dibanding pendahulu-pendahulu kami yang 30an tahun lebih lama, modal lebih besar, tenaga lebh berpengalaman. Kamu tahu penyebabnya?”
Otak Viona yang cerdas menjawab cepat. “Efisiensi, Inovasi, Kreatifitas. Itu yang membuat GE melejit seperti sekarang dan akan…”
Ervan kini berada di belakang Viona. “Omong kosong. Kamu terlalu naif. GE maju bukan karena itu. Dia maju karena satu modal penting. Kau tahu karena apa itu?”
“Karenaaa, mmm… apa ya?”
Viona kaget ketika sepasang lengan Ervan mendadak menangkup bukit kembar miliknya dari belakang.
“Karena ini, Viona,” Ervan berteriak. “Karena ini!!”
*