Ada waktu 2 hari sebelum interview dengan sang CEO,Ervan, akan dilakukan. Sebuah waktu yang terlalu singkat sebetulnya karena ada beberapa persiapan yang harus Viona kerjakan.
Atas saran Bram, karena Viona sebelumnya dinyatakan sangat membutuhkan pekerjaan dengan alasan ekonomi, maka mau tidak mau Viona harus pindah dari tempat tinggalnya sekarang. Sebuah rumah super mewah di daerah prestisius yang menjadi rumahnya selama ini tentu tak mungkin ditempati oleh pencari kerja dengan gaji per bulan hanya tujuh angka. Sadar bajwa ini akan membongkar penyamaran, Viona harus kost di tempat lain dan Bambang rupanya telah mencarikan sebuah tempat untuk itu.
Saat tiba dan melihat rumah itu Viona jelas kurang begitu suka karena gaya hidup mewahnya harus ia tinggalkan. Entah berapa lama sebelum ia kembali ke rumahnya dimana hal itu hanya baru akan terjadi setelah ia sukses menuntaskan misinya yaitu menghancurkan kerajaan bisnis Ervan.
Rumah kost bernama Anyelir merupakan kost eksklusif. Kost itu terdiri dari beberapa kamar dimana bagian belakang merupakan paviliun yang digunakan pemilik kost. Adapun kamar-kamar kost eksklusif dilengkapi dengan selengkap mungkin dimana penghuni hanya cukup datang membawa kopor untuk masuk ke sana. Kopor dan uang tentu saja. Berada di lokasi strategis membuat beberapa penjual makanan mangkal di jalan di depan rumah kost.
Viona tiba sendiri di tempat itu dan menilai cukup bagus untuk ia tempati.
“Mbak beruntung, ini kamar terakhir yang tersisa,” kata Narto, pegawai pengelola kost yang mengantar Viona ke kamarnya.
Orang itu menunjukkan segala fasilitas yang ada dimana semuanya berfungsi baik. Kondisi kamar, ranjang, bufet, toilet, TV LED, router Wifi, AC diperiksa satu demi satu, Cuma ada satu masalah kecil saja. Saat Viona mengetes shower, air tiba-tiba mengucur deras dan menyembur tubuh Viona yang membuatnya terpekik kaget. Dengan sigap Narto menyodorkan sekotak tisyu untuk Viona mengeringkan diri. Namun kondisi basah kuyup membuat orang itu keluar untuk mencari handuk yang bisa digunakan Viona mengeringkan tubuh.
Ponsel Viona bergetar. Ada panggilan telpon masuk dari Bram.
“Gimana kostnya?”
“Not bad.”
“Kamu musti terbiasa dengan kondisi yang berkurang dari sebelumnya. Jangan terllau keliatan kamu sebagai sosialita, selebriti, jetset, atau apalah.”
“Ngerti.”
“Besok ditunggu di kantor Ervan jam sepuluh. ”
“Okay.”
“Tampil secerdas mungkin. Elegan. Bahasa Inggris kamu kan jago.”
“Iya.:”
“Tampil penuh pesona ya, Say.”
Viona geli. “Ihhh, mulai berani panggil Say nih.”
“Lho, untuk misi kamu lancar aku mau nembak kamu jadi pacarku. Take it or leave it.”
“Haa?”
“C’mon sexy girl. Aku sudah diijinin meremas dadamu, mencecap lezatnya air cintamu. Aku bukan laki-laki bodoh yang tidak ingin tidak menikmati lagi kenikmatan begitu.
Viona menghela nafas. Ia sadar bahwa ucapan Bram benar. Ia harus menerima ketika kini pria itu mengajukan dan sekaligus memaksa dirinya untuk jadi pacarnya. Percuma saja Viona berkelit karena Bram memang benar-benar sangat serius dengan keinginannya.
Merasa telah memegang kartu truf yang tak bisa ditolak Viona, wanita itu menyerah. Ia benar-benar tidak
berkutik sekalipun Bram bahkan sudah berkeluarga sebagaimana pengakuannya kemudian.
“Kamu udah berkeluarga dan masih ingin jadiin aku pacarmu?”
Bram ternyata tidak suka dengan ucapan itu. Ia lantas mengancam tidak lagi akan membantu Viona dan lagi-lagi ini meruntuhkan benteng pertahanan Viona. Viona bahkan harus membujuk agar Bram kembali berbaik-baik padanya.
Begitulah akhirnya. Ketika komunikasi berakhir, keduanya kini resmi berpacaran. Sebuah langkah pendekatan yang Viona pikir akan langsung diakhiri begitu rencananya berhasil. Mudah-mudahan tidak lama.
Sedetik kemudian Viona teringat ada satu urusan yang perlu ia tanyakan pada Michelle. Tak mau menunda lagi ia lantas meghubungi rekan seapartemen di Boston itu.
Tanpa perlu berbasa-basi ia langsung nyerocos ketika panggilan telponnya berhasil masuk dan diterima di ujung sana.
“Hey girlie, it’s me again. Sorry to disturb you but I have no other choice simply because…”
Viona mendadak berhenti berucap. Ia belum mendapat balasan ucapan apa-apa karena ucapan Michelle seperti janggal.
“Hello?”
Lamat-lamat Viona mendengar suara gumam tak jelas disertai decak-decik suara aneh.
“Are you busy and…”
Ucapan Viona terputus ketika terdengar suara erangan di ujung sana. Bulu kuduk Viona berdiri. Sepertinya ia tahu apa yang Michelle sedang lakukan.
“Michelle, are you… oh shit!”
Apa yang dilakukan Michelle tak sulit untuk diduga. Ini benar-benar memangkitkan birahi dalam diri Viona. Sialan. Ia merasa perlu mengakhiri telpon saja dulu. Urusan dengan Michelle nanti saja. Itu masih bisa ditunda.
Tok! Tok!
Viona menoleh dan melihat Narto datang sambil membawa handuk di tangannya. Saat Narto mendekat, pria itu terkaget. Jantungnya berdetak lebih kencang. Betapa tidak, akibat semburan air shower, Viona yang mengunjungi lokasi kost dengan hanya mengenakan hot pant jins ketat dan atasan t-shirt jadi nampak jauh lebih seksi. Wajah wanita itu juga merah, berkeringat, dan nafasnya sedikit tersengal.
Narto sibuk mencuri-curi pandang pada dua bongkah daging kenyal yang kini tercetak jelas akibat kondisi basah. Kejantanannya mengeras karena suguhan pemandangan tak terduga di depannya. Bukan hanya itu, dua puting di baliknya mencuat.
Sangat mancung, sangat keras.
*
*