Dengan dikendarai Waluyo, mobil yang membawa Ervan dan Viona mulai bergerak maju. Menggelinding di jalan ibukota yang mulai dipadati kendaraan.
“Akhirnya, selesai juga,” cetus Ervan riang sambil melepas dasi yang ia pakai. “Thanks sudah membantu, Viona.”
“Terima kasih apa?”
“Kamu menyediakan dokumen tepat waktu, disusun rapi, membuat surat pengantar yang profesional. Itu harus aku syukuri karena menjadi bagian kesuksesan urusanku.”
Dengan kelembutan yang tinggi Ervan membelai rambut Viona. “Maaf kalau aku terkadang bersikap dingin, acuh, marah padamu. Aku sungguh bodoh telah mengabaikanmu. Tapi sejujurnya, aku tidak bermaksud seperti itu. Aku menghargaimu, Viona.”
Ucapan lembut itu benar-benar menimbulkan ketentraman di hati Viona. Ia diam dalam haru. Membiarkan belaian dari Ervan terus terjadi. Dua telapak tangan Ervan kini memegangi wajahnya sehingga keduanya kini bertatapan sangat lekat.
“Mau maafkan aku? Aku bodoh, tapi aku mau lebih banyak bersamamu.”