Kegelapan dan Harapan di Tambang Kertojayan

Tambang Kertojayan. Tersembunyi jauh di lembah tandus utara desa Lawas, di lereng Pegunungan Kajejer, berdiri sebagai simbol penderitaan yang tak berujung. Dinding-dindingnya yang gelap dan kasar bagaikan rahang raksasa yang menelan setiap harapan. Kegelapan abadi menyelimuti lorong-lorong sempit yang berliku, seakan menahan cahaya sekaligus jiwa yang terperangkap di dalamnya.

Di bawah bayangan bebatuan yang kasar dan berlumut, para penambang bertahan hidup dengan sisa-sisa kekuatan yang semakin menipis. Waktu kehilangan makna di dalam sana, siang dan malam hanyalah ilusi. Satu-satunya penanda hari adalah rasa lapar yang semakin menggigit, haus yang tak kunjung terpuaskan, serta dingin yang merayap menembus tulang.

Mereka bukan lagi manusia, melainkan bayangan diri mereka sendiri. Mata cekung dan tubuh kurus kering menjadi saksi bisu dari keputusasaan yang merajalela.

Di dalam perut gua yang pengap, lorong-lorong sempit berdinding batu hitam menjalar bagaikan urat nadi yang mati. Permukaannya keras, kasar, dan dingin — seolah menyimpan amarah bumi yang bisu. Lorong-lorong itu menghubungkan rongga-rongga besar yang kini tak lagi menjadi ruang hidup, melainkan kuburan hidup bagi tujuh penambang yang tersisa.

Dari lima belas jiwa yang dulu berjuang bersama, delapan kini hanya tinggal nama. Tiga tewas mengenaskan saat mencoba meraih kebebasan, tubuh mereka terkapar di dekat pintu keluar sebelum sempat merasakan sinar matahari. Lima lainnya meregang nyawa perlahan, tubuh mereka dikalahkan kelaparan dan penyakit yang merayap diam-diam, merenggut napas terakhir dalam sunyi yang menyakitkan.

"Bagaimana dengan persediaan air kita?" suara seorang penambang lirih memecah keheningan yang begitu pekat, suaranya hampir tenggelam di tengah desahan napas lemah mereka yang tersisa.

"Tinggal empat kantung…" jawab yang lain, suaranya bergetar, nyaris seperti bisikan putus asa. Kata-kata itu seakan menggema di dinding-dinding batu yang dingin, seolah-olah tambang itu sendiri mengejek mereka yang bertahan di ambang hidup dan mati.

Di pojok gua yang basah dan gelap, Hartoko tergeletak tak berdaya. Tubuhnya gemetar kecil, napasnya pendek-pendek seperti api lilin yang nyaris padam. Wajahnya pucat, mata cekungnya setengah terbuka, menatap kosong ke langit-langit batu seakan mencari cahaya yang tak pernah ada.

Seorang penambang merangkak mendekat, tangannya gemetar saat menggenggam kantung air terakhir. Ia memiringkan kepala Hartoko perlahan, lalu meneteskan sedikit air ke bibir sahabatnya yang pecah-pecah dan membiru.

"Minumlah, Har…" bisiknya, suaranya serak, hampir tak terdengar. Ada keputusasaan dalam tatapannya, seolah tahu bahwa setetes air itu tak akan menyelamatkan Hartoko — mungkin hanya menunda kematian yang pasti datang. Matanya memerah menahan tangis yang tak berani ia lepaskan, karena air mata pun terasa terlalu berharga untuk terbuang.

Di sekeliling mereka, tambang tetap sunyi. Seolah-olah batu-batu itu menjadi saksi bisu penderitaan mereka, namun tak pernah menawarkan belas kasih.

Namun, situasi kian meredup, seakan-akan cahaya terakhir dari harapan pun enggan menyala. Di tengah gelapnya putus asa, seorang penambang bernama Suryadi tiba-tiba bangkit. Tubuhnya ringkih, pakaian lusuh membalut badannya yang tinggal tulang dan kulit. Nafasnya tersengal, tapi ia tak peduli.

Dengan langkah tertatih yang berakhir menjadi larian terhuyung, Suryadi menerobos lorong tambang yang pengap. Kakinya gemetar, lutut terasa ingin menyerah di tiap ayunan langkah. Namun, ia terus maju — seolah nyawanya sendiri tak lagi penting. Hanya satu yang terpatri dalam benaknya: keluar dari neraka ini, meminta pertolongan, dan menyelamatkan kawan-kawannya yang tersisa di dalam kegelapan.

Baginya, meski secercah harapan itu tipis bak benang, ia tetap lebih baik daripada diam menunggu mati.

—-------------------------

Sampai di mulut gua, Suryadi disambut bukan oleh cahaya kebebasan yang ia harapkan, melainkan kilatan dingin mata tombak dan pedang yang terhunus ke arahnya. Logam-logam tajam itu berkilat kejam di bawah sinar matahari yang begitu ia rindukan.

"Tolong kami! Kami kelaparan… banyak dari kami yang sakit… aku mohon, tolonglah!" suara Suryadi pecah, serak dan putus-putus, nyaris tenggelam dalam deru angin. Tangannya terangkat, melambai-lambai dengan sisa tenaga, bukan untuk melawan, tapi untuk memohon belas kasihan yang entah masih ada atau tidak di dunia ini.

Namun, prajurit yang berjaga tetap berdiri kaku bagai patung batu. Mata mereka kosong, seolah manusia di depan mereka tak lebih dari bayangan yang mengganggu. Salah satu dari mereka akhirnya bersuara, nadanya dingin dan tak berperasaan.

"Kembalilah ke dalam… atau kau akan kehilangan kepala."

Tangannya yang kokoh mencengkeram lengan Suryadi dengan kasar, menariknya kembali ke kegelapan gua. Seolah semua jeritan dan penderitaan yang ia bawa hanya angin lalu, tak berarti sama sekali.

"Aku hanya ingin mengambil makanan dan obat di desa! Aku akan kembali, aku bersumpah!" Suryadi meronta sekuat tenaga, meski tubuhnya nyaris tak lagi mampu melawan. Suaranya pecah, parau, terhimpit antara putus asa dan harapan yang nyaris padam.

Matanya menatap ke atas, menembus sinar mentari yang menusuk pelupuk matanya. Di sana, langit biru membentang luas, dihiasi awan-awan tipis yang melintas perlahan, begitu tenang, begitu damai.

Pemandangan yang sudah terlalu lama ia rindukan. Seolah dunia di luar sana masih indah, masih hangat, meski di dalam gua ia hanya mengenal gelap dan dingin. Ia mendongak setinggi mungkin, seakan-akan jika ia menatap cukup keras, langit itu akan menjatuhkan belas kasihan untuknya.

Namun, langit tetap diam. Birunya tak bergeming, awan-awan tipis terus melayang pelan, seolah tak peduli pada jeritan Suryadi. Sama diamnya dengan para prajurit yang berdiri tegak di hadapannya — mata mereka kosong, sedingin baja yang mereka genggam.

Dan di saat itu pula, harapan Suryadi hancur seketika.

Tanpa peringatan, sebilah pedang menembus punggung Suryadi, melesak keluar dari dadanya. Tubuhnya menegang sejenak, seperti tak percaya pada rasa sakit yang begitu tiba-tiba. Napasnya tercekat, bergetar lirih sebelum perlahan memudar. Kakinya goyah, lalu tubuh yang lemah dan dekil itu roboh pelan di tanah berbatu, tepat di ambang pintu dunia yang tak pernah berhasil ia gapai.

Matanya yang tadi menatap langit dengan penuh kerinduan mulai kabur. Langit biru yang begitu ia dambakan, yang seolah berbisik lembut menjanjikan kebebasan, kini hanya tampak seperti bayangan samar yang semakin menjauh.

Perlahan, kelopak matanya menutup… membawa serta harapan yang tak pernah sampai.

—-------------------------------------

Di dalam gua yang sempit dan menyesakkan, udara terasa berat dan pengap, seakan tiap tarikan napas adalah perjuangan.

Hartoko membuka matanya perlahan. Pandangannya buram, Hanya bayangan kelam dari dinding batu yang tersapu cahaya redup ublik lusuh, berkelip hampir padam, seolah ikut kehabisan harapan.

Napasnya berat, tersengal seperti asap tipis yang kian memudar. Wajahnya pucat pasi, keringat dingin membasahi pelipisnya, dan bibirnya yang pecah-pecah bergetar pelan.

Di sampingnya, Aryo penyangga kelompok itu sekaligus yang paling bertahan di antara mereka, duduk dengan punggung membungkuk, matanya merah dan cekung karena kurang tidur. Ia menatap sahabatnya yang sekarat dengan pandangan yang sulit dijelaskan, campuran kepedihan dan ketidakberdayaan.

"Hartoko, minumlah sedikit lagi," ucap Aryo lirih, suaranya serak namun lembut. Ia menyodorkan kantung air yang hampir kosong, menahan getaran tangannya agar tidak tumpah. "Kau harus bertahan, kawan... sebentar lagi saja."

Ada harapan tipis dalam suaranya, meski mereka berdua tahu... harapan itu sudah hampir mati.

Hartoko menggeleng pelan, matanya yang redup menatap Aryo dengan sisa-sisa tenaga yang hampir habis. "Waktuku… tidak banyak lagi…" suaranya terdengar serak, hampir tenggelam di antara keheningan gua. "Aku ingin kalian semua selamat… keluarlah dari tambang ini."

Aryo menunduk, rahangnya mengatup menahan sesak di dada. Air mata menggenang di pelupuk matanya, berusaha ia tahan, tapi sia-sia. "Kami akan bertahan, Har. Kita akan coba menggali ke atas, mencari jalan keluar," ucap Aryo, suaranya bergetar.

Hartoko tersenyum samar, senyum yang terasa lebih menyakitkan ketimbang menenangkan. "Aryo… sebelum aku pergi, aku ingin kau tahu sesuatu. Di belakang leherku… ada susuk yang dipasang ayahku waktu aku masih remaja."

Penambang lain yang mendengar kalimat itu menoleh dengan tatapan terkejut dan bingung.

"Susuk itu…" Hartoko melanjutkan, suaranya semakin lirih, "bisa digunakan. Meski aku tak tahu bagaimana caranya. Ayahku bilang… ada sesuatu di dalamnya. Sesuatu yang mungkin bisa membantu kalian keluar dari tempat ini. Ketika aku mati… susuk itu akan keluar dengan sendirinya."

Aryo menatap Hartoko lekat-lekat, seakan takut kehilangan setiap kata yang keluar dari bibir sahabatnya itu. "Susuk? Kenapa ayahmu memasangnya, Har?" tanyanya, berusaha memahami di tengah kepalanya yang terasa sesak.

Hartoko menggeleng lemah. "Aku tak tahu… Ibuku hanya bilang… susuk itu punya kekuatan besar."

Hening sejenak. Udara terasa makin berat di dada Aryo. Ia ingin berkata sesuatu, tapi kata-katanya tersangkut di tenggorokan.

"Baiklah, Har… Tapi bertahanlah. Kami belum siap kehilanganmu," suara Aryo terdengar putus asa, seperti memohon pada takdir yang tak mau berbelas kasih.

Hartoko tersenyum — kali ini lebih lemah, hampir tak terlihat. Matanya mulai sayu. "Terima kasih…" bisiknya pelan. Lalu, satu tarikan napas panjang keluar dari dadanya… diikuti keheningan yang begitu menyayat.

Tubuhnya terkulai, matanya terpejam damai.

Aryo hanya bisa duduk di sana, tangannya gemetar, menatap sahabatnya yang kini tak lagi bernafas. Dan di tengah keheningan ,yang mematikan itu, tangisnya pecah — samar, teredam oleh gelap yang tak berujung.

Keheningan menjalar pelan, menusuk hingga ke relung hati terdalam. Udara terasa lebih berat, seakan tambang itu sendiri merasakan kehilangan. Api kecil dari ublik yang hampir padam bergetar samar, seperti turut berduka.

Para penambang menunduk dalam diam. Tak ada suara. Hanya isak tertahan dan napas yang bergetar. Aryo menatap wajah Hartoko yang kini tampak begitu damai — terlalu damai untuk seseorang yang seharusnya masih hidup dan berjuang bersama mereka.

"Selamat jalan, Hartoko…" bisiknya parau, suaranya nyaris putus di tenggorokan. Mata Aryo memerah, air mata menggenang namun tak sanggup tumpah. Satu per satu, yang lain mengikuti, suara mereka lirih, patah-patah, seolah setiap kata yang keluar mencabik dada mereka lebih dalam.

Tak ada lagi Hartoko yang selalu tersenyum menenangkan mereka di saat-saat paling berat. Yang tersisa kini hanyalah jasad sahabat mereka yang terbaring kaku, dan ruang tambang yang terasa lebih gelap, lebih sunyi, lebih kejam dari sebelumnya.

Mereka ingin menangis keras, ingin berteriak memaki dunia, tapi suara mereka terkunci di tenggorokan yang kering dan perih. Dalam hati, mereka tahu — bukan hanya Hartoko yang pergi. Sebagian dari diri mereka juga ikut mati bersamanya.

Tiba-tiba, keheningan yang mencekik pecah oleh suara letusan kecil dari arah leher Hartoko. Para penambang tersentak, menoleh dengan mata lebar dipenuhi keterkejutan dan ketakutan. Dari lehernya yang telah membeku dalam kematian, sesuatu meluncur pelan — sebuah benda berbentuk cincin, berwarna kuning keemasan, jatuh dengan dentingan lirih ke tanah yang keras.

Cincin itu bergetar halus, memancarkan sinar redup yang berdenyut seperti jantung yang masih berusaha berdetak. Cahaya keemasan itu membias samar, melawan gelap pekat tambang. Di sekeliling tempat cincin itu jatuh, tanah merekah, membentuk retakan-retakan hitam mengerikan seolah bumi sendiri menahan jeritan.

Para penambang saling berpandangan, ngeri bercampur harapan yang tak berani mereka akui. Apa yang baru saja mereka saksikan bukan sekadar keajaiban — tapi sesuatu yang terasa lebih besar, lebih dalam, dan entah kenapa… lebih menakutkan.

Dengan tangan gemetar, Aryo meraih cincin itu perlahan, seakan takut sentuhannya akan memecah keheningan yang mencekam. Bentuknya sederhana — polos tanpa permata, namun ada sesuatu yang terasa ganjil. Cincin itu terasa lebih berat dari seharusnya, seolah membawa beban yang tak terlihat.

"Inikah… susuk yang kau maksud, Hartoko?" bisiknya nyaris tak terdengar, suaranya bergetar. Matanya menatap cincin itu dengan campuran rasa ingin tahu, harapan, dan ketakutan yang tak mampu ia jelaskan. Di benaknya, ia bertanya-tanya — apakah ini anugerah, atau kutukan yang ditinggalkan sahabatnya?

Semua penambang memandangi cincin di tangan Aryo dengan tatapan gamang — harapan dan ketakutan berbaur dalam sorot mata mereka yang lelah. Aryo memutar cincin itu perlahan, jemarinya gemetar saat meraba permukaannya yang dingin dan berat. Seakan benda kecil itu menyimpan rahasia besar yang tak seharusnya mereka ketahui.

Di tengah sunyi yang merayap, pikiran mereka dipenuhi pertanyaan yang enggan terucap. Apakah cincin ini adalah jalan keluar yang selama ini mereka nantikan? Atau justru pemantik takdir yang lebih kejam dari kematian yang sudah mengintai di kegelapan tambang?

Tak ada yang tahu. Hanya waktu yang berhak menjawab, meski entah jawaban seperti apa yang menanti di ujung penantian mereka.

—----------------CHANDRAKLANA—---------------------------------

 " Pengembara Bulan Sabit "