Malam menurunkan selimutnya di Rawa Nawijem, membawa ketenangan yang tak sepenuhnya alami. Kabut tipis memeluk permukaan air yang tenang, membuat bayangan hutan nipah dan pandan tampak seperti siluet makhluk raksasa. Suara kodok yang bersahutan membentuk irama monoton yang tercampur dengan dengung nyamuk, menciptakan suasana yang hampir memabukkan. Kunang-kunang terbang rendah, cahayanya berkilauan seperti bintang kecil yang menyelip di antara tanaman liar, menerangi rawa yang dihiasi sinar bulan yang perlahan pudar.
Di dalam gubug sederhana itu, Solor duduk di ranjang akar pohon yang sudah mulai melunak, diselimuti kain hijau tua yang mulai lusuh. Meski udara malam terasa sejuk, pikirannya tidak bisa tenang. Lampu ublik kecil yang terletak di atas lemari kayu di samping ranjang memberikan cahaya lembut, namun tidak cukup untuk menenangkan kegelisahannya. Prasi yang ia temukan sore tadi terlintas di benaknya, berputar-putar seperti bayangan yang tak ingin hilang.
Ia menarik napas panjang, bangkit dari ranjang dengan langkah berat, lalu menuju ruang makan. Meja kayu akar di sudut ruangan tampak berantakan, piring-piring kotor berserakan di antara tumpukan buku yang berdebu dan lembaran lontar tadi, masih tergulung setengah terbuka seperti menantinya.
Tatapannya tertahan pada satu benda di atas meja. Sebuah buku bersampul hitam, warnanya mulai pudar, judulnya Alit Ananging Iso. Tangannya meraihnya tanpa sadar. Buku itu terasa lebih berat dari yang ia ingat, seolah membawa beban masa lalu yang enggan dilepaskan. Buku yang dulu menuntunnya pada pemahaman... dan kenangan yang seharusnya sudah terkubur bersama sisa-sisa kejayaan yang ia tinggalkan.
Solor keluar dari gubug, menuju teras, dan duduk di kursi rotan tuanya. Meja kecil yang ada di samping kursi dipenuhi debu dan tumpukan buku-buku yang tak teratur. Lampu ublik lain berdiri di meja, cahayanya remang-remang namun cukup untuk membaca. Solor menyandarkan punggungnya ke sandaran kursi, matanya menatap ke arah kandang kudanya, Wus-wus, yang tampak tenang. Kuda itu sedang mengunyah potongan daun, dan suara lembutnya seolah memberi ketenangan sejenak di tengah kegelisahan yang melanda.
Dengan tangan yang sedikit gemetar, Solor membuka lembaran-lembaran besar yang diikat tali kusam. Kertasnya sudah kasar dan berbau tanah lembap, seolah waktu sendiri ikut merongrong usianya. Setiap helai mengeluarkan desir halus, seperti bisikan masa lalu yang bangkit kembali.
Ia membaca perlahan, membiarkan aksara Jawa kuno itu meresap ke pikirannya. Tulisan-tulisan itu terasa berat, bukan hanya karena bahasa yang rumit, tapi juga karena makna yang tersembunyi di baliknya. Matanya berhenti pada sebuah deskripsi yang membuat napasnya tertahan — benda yang disebut dalam surat sore tadi. Benda yang seharusnya tak lagi muncul di dunia ini. Tulisan itu menyebutnya sebagai Akik Kumenteng, sebuah pusaka langka yang konon mampu melawan takdir alam...yang lahirnya unik berbeda dari yang lain.
Kalimat terakhir terasa menghantam dadanya:
"Ditempa dari serpihan Batin Pangikrar, Akik Kumenteng bukanlah pusaka yang dipahat oleh tangan manusia, melainkan luka dunia yang membatu"
"Akik Kumenteng… pusaka dari Batin Pangikrar,"Ia bergumam pelan. "Kata-kata itu terasa ganjil di mulutnya, seolah mengandung daya magis yang menariknya kembali ke masa lalu yang berusaha ia kubur. Namun entah kenapa, ia justru membacanya lagi, seakan suara itu bukan miliknya, melainkan gema dari kenangan yang enggan padam :
"Ia bersemayam dalam kegelapan, menyerap harapan dan penderitaan disetiap bebatuan perut bumi, hingga akhirnya ia bukanlah sekadar menjadi cincin, tapi saksi bisu dari dendam dan keajaiban yang tak seharusnya ada. Cahaya emasnya bukanlah kemuliaan, melainkan nyala samar dari api harapan yang belum padam."
Semakin dalam ia membaca, semakin banyak detil yang mengusik perasaannya. Semakin banyak pertanyaan yang muncul dalam benaknya, namun semakin kuat pula perasaan tidak nyaman yang menggelayutinya. Tiba-tiba, suasana di sekelilingnya berubah drastis. Udara yang semula sejuk dan menyegarkan kini terasa gerah, lembap, seolah rawa di sekitarnya memancarkan hawa yang menekan tubuhnya. Solor mendekap buku itu erat, mencoba menenangkan diri.
Cahaya bulan perlahan memudar, seolah enggan menyinari dunia yang mendadak terasa asing. Bayangan pekat merayap pelan dari sudut-sudut gubug, melata seperti makhluk hidup yang bangkit dari kegelapan. Satu per satu, cahaya di sekitarnya ditelan, hingga hanya tersisa kelam yang membungkus semuanya.
Kabut tipis yang tadinya melayang tenang di atas rawa kini menebal, merayap menyelimuti tanah. Udara berubah semakin berat, setiap tarikan napas terasa seperti menelan batu. Aroma besi yang tajam menusuk hidung, bercampur bau tanah basah dan kelembapan tua yang seakan meresap sampai ke tulang. Sesuatu yang jauh lebih tua… lebih gelap… seakan tengah bangkit dari kedalaman yang tak terjangkau
Seketika, Solor merasa kakinya tidak lagi berpijak di atas lantai bambu gubug. Ia menoleh ke bawah dan menyadari bahwa kini ia berdiri di atas batu kasar yang lembap. Tempat yang familiar kini lenyap, digantikan oleh gua tambang yang suram. Dinding-dinding batu yang dingin menggantikan bambu kuning, kilau redup mineral yang tertanam di dinding gua menyinari sekelilingnya dengan cahaya yang tidak menyenangkan.
"Dari mana…?" gumamnya, suaranya hampir tak terdengar di antara gema langkahnya yang berderak di batu.
Suara baru mulai terdengar, pelan namun jelas. Dengungan beliung besi menghantam batu tambang bergema keras di telinganya, menambah kegelisahan di dada Solor. Hantaman itu semakin lama semakin kuat, namun saat ia berusaha mencari sumber suara, tiba-tiba semuanya menjadi sunyi. Suasana mencekam, menelan suara dunia sekitarnya, hanya ada gema langkahnya sendiri yang mengisi ruang yang gelap dan sepi itu.
Solor menggenggam buku hitam itu lebih erat, matanya berpindah-pindah, mencari sesuatu yang nyata, sesuatu yang membawanya kembali pada kenyataan. Ia tahu bahwa ini bukan pengalaman biasa. Pusaka itu—Akik Kumenteng—memiliki kekuatan yang jauh lebih besar dari yang bisa ia pahami. Ada sesuatu yang lebih besar sedang menunggu di balik bayang-bayang itu, dan Solor merasa bahwa ia tak bisa menghindarinya.
Namun, sebelum ia sempat berpikir lebih jauh, sebuah suara pelan, hampir seperti bisikan, memanggil namanya.
"Solor…"
Ia membeku. Matanya membelalak, wajahnya pucat. Suara itu datang dari kegelapan, dan meskipun ia tidak melihat siapa yang mengucapkannya, Solor merasakan ketakutan yang belum pernah ia alami sebelumnya. Suara itu seolah menggema di dalam dirinya, merasuk hingga ke tulang.
"Siapa?" bisiknya, suaranya serak.
Namun, jawabannya hanya datang dalam bentuk hening yang semakin mencekam.