Surat

Rawa Nawijem terhampar luas bak cermin hijau berkilauan, memantulkan langit jingga yang perlahan meredup di pelukan senja. Airnya tenang, nyaris tak bergerak, hanya sesekali bergetar halus ketika angin lembut berembus atau burung rawa melintas rendah di atas permukaannya.

Di sepanjang tepiannya, hutan nipah dan pandan tumbuh lebat, menjulang bagaikan tembok alami yang melindungi rawa dari dunia luar. Akar-akar menjuntai ke dalam air gelap yang sunyi, seolah menjadi jembatan rahasia bagi kehidupan liar yang bersembunyi di bawahnya — ikan gabus yang sesekali melesat, ular air yang melintas tanpa suara, dan udang rawa yang bersembunyi di sela-sela lumpur.

Suara kodok bersahutan dari kejauhan, membentuk irama alam yang tak pernah usai. Sesekali, suara burung belibis dan gagak rawa menyelip di antara nyanyian malam, menambah kesan hidup di tengah kesunyian. Rawa ini bukan sekadar hamparan air dan tumbuhan; ia adalah jiwa Nawijem, daerah sunyi yang jarang dikunjungi kecuali oleh mereka yang punya kepentingan, entah pedagang yang singgah sebentar, atau orang-orang yang mencari tempat untuk menghilang.

Di kejauhan, Pegunungan Lumut menjulang anggun di selatan, puncaknya samar-samar membayang di balik selimut kabut tipis yang melayang pelan, seperti napas bumi yang malas beranjak. Di utara, Pegunungan Kajejer berdiri kokoh, deretan tebing tajamnya menjulur liar bak gigi raksasa yang menganga, seakan hendak melahap daratan di bawahnya. Rawa Nawijem terhampar di antara keduanya, sunyi dan sepi, bagaikan dunia yang terjebak di ujung waktu di persimpangan antara kehidupan yang berjalan dan kenangan yang enggan pergi.

Di tepi rawa yang tenang, sebuah gubug sederhana berdiri menyatu dengan lanskap sekitarnya, seolah bukan bangunan buatan manusia, melainkan bagian dari alam yang tumbuh bersamanya. Dindingnya terbuat dari anyaman bambu kuning yang mulai memudar, memperlihatkan warna pucat yang digerogoti waktu dan kelembapan rawa. Atapnya dari ilalang tua melengkung rendah, tampak seperti punggung yang membungkuk lelah setelah menanggung beban bertahun-tahun.

Di tengah gubug itu, menjulang sebuah menara kecil dari kayu, cukup tinggi untuk mengintai rawa yang membentang luas. Menara itu tampak rapuh, namun tetap berdiri tegak, saksi bisu yang memandang dunia luar tanpa bergerak.

Teras kayunya menghadap langsung ke air, tempat di mana riak kecil berdesir lembut di bawahnya. Di sana, seorang pria duduk bersandar santai, meski sorot matanya berkata lain. Joran pancing tergenggam di tangannya, tali kail menjulur malas ke permukaan rawa. Ia memancing bukan untuk mencari ikan, tapi lebih untuk membiarkan pikirannya melayang bebas bersama air yang mengalir pelan.

Dahulu, ia berdiri di tengah gemerlap pujian, diapit para pemuka, kesatria, dan rakyat yang bersorak memuliakan setiap langkah kemenangannya. Ia adalah sosok yang dijunjung setinggi langit, simbol harapan yang dijunjung tinggi. Namun, seiring berjalannya waktu, kilauan sanjungan itu memudar, menyisakan kehampaan yang menyesakkan. Orang-orang yang dulu ia percaya mulai menampakkan wajah asli mereka, senyum yang semula tulus berubah menjadi topeng yang retak. Dukungan mereka ternyata tak lebih dari sekadar formalitas, balutan kata-kata manis yang menyelimuti kepentingan tersembunyi. Ia bukan lagi sahabat atau pahlawan di mata mereka, melainkan alat, trofi hidup yang dipajang demi menjaga citra dan kekuasaan.

Mereka mendukung kehebatannya hanya untuk membalut kesalahan-kesalahan yang tak pernah benar-benar ia lakukan. Ia, yang dulu pahlawan, kini merasa seperti pion dalam permainan para pemuka. Sayembara Tujuh Tahunan, yang dulunya dipercaya sebagai ujian para kesatria sejati untuk melahirkan sang pengembara agung yang ditakdirkan dapat memurnikan kembali Lingkaran kegelapan, kini hanya jadi hiburan megah untuk memuaskan mata para bangsawan dan pemimpin kota.

Ketika kesadaran itu datang, Solor memilih mundur. Bukan karena kalah, tapi karena ia tak ingin lagi menjadi bagian dari kepalsuan.

Selama puluhan tahun, ia hidup menyatu dengan rawa, menjadi bagian dari sunyinya yang abadi. Alam adalah satu-satunya teman yang tak pernah berkhianat. Burung-burung rawa terbang rendah, mengepakkan sayapnya sehalus desah angin, riak air berdesir pelan seakan membisikkan ketenangan, dan langit yang berganti warna tiap senja memeluknya dalam diam. Semua menjadi saksi bisu keteguhan seorang kesatria yang memilih mundur, bukan karena menyerah, tapi demi menjaga dunia yang pernah ia perjuangkan, meski kini ia bukan lagi sosok di barisan depan, melainkan penjaga dari bayang-bayang, yang mereka sebut sekarang "Solor, si Kroto Domble, sang pawang dari Nawijem".

Ia tahu, meskipun tubuhnya tak lagi berdiri di tengah mereka, jiwanya tetaplah seorang kesatria. Kesatria sejati tak membutuhkan panggung megah atau sorak-sorai yang memuja. Kehormatan sejati tak diukur dari tepuk tangan, melainkan dari kesetiaan pada tanggung jawab, meski tak seorang pun melihat, meski dunia memilih melupakan.

Senja merayap perlahan di Rawa Nawijem, meninggalkan semburat merah tembaga yang membias di permukaan air yang diam. Kabut tipis mulai muncul, melayang pelan di atas rawa, seolah menjadi selimut bagi dunia yang enggan terjaga. Suara gemercik air beradu dengan nyanyian kodok di kejauhan, membentuk simfoni alam yang tak pernah usang.

Di tepi rawa, di atas gubug tua yang berdiri menyatu dengan lanskap, Solor duduk bersandar. Tubuhnya masih tegap meski rambutnya mulai dihiasi uban halus. Joran pancing tergenggam malas di tangannya, seakan memancing lebih untuk mengisi waktu daripada berharap ikan menyambar umpannya. Matanya kosong, menatap jauh, lebih dalam dari hamparan rawa itu sendiri — seakan menatap ke masa lalu yang enggan melepaskannya.

Tiba-tiba, suara kepakan sayap memecah ketenangan.

"Wusshhh!"

Seekor burung jambul melintas cepat dari arah selatan, bulunya hitam legam dengan ujung ekor merah menyala. Ia terbang rendah, melesat di atas kepala Solor sebelum sesuatu jatuh dari cakarnya dan menghantam kepalanya.

"Aww!"

Solor tersentak, tangannya spontan meraba kepalanya. Pandangannya jatuh pada benda kecil yang kini tergelincir di sisi pahanya, gulungan cokelat kusam, seperti lembaran daun lontar yang menua. Ia menatapnya sejenak, napasnya pelan namun berat.

Ia meraih gulungan itu dengan hati-hati. Permukaannya kasar dan terasa kering, seperti telah menempuh perjalanan panjang melintasi angin dan hujan. Tali tipis yang melilitnya tampak hampir putus. Entah kenapa, ada sesuatu yang membuat Solor enggan membukanya.

"Samiranah... mengirim surat lagi?" gumamnya setengah berbisik, meski nalurinya berkata ini bukan dari sahabat lamanya. Ada rasa asing yang menjalari jemarinya saat memegang gulungan itu — rasa yang mengusik.

Ia menarik napas panjang, lalu membuka ikatan dengan perlahan. Gulungan itu terurai pelan, lebih ringan dari dugaannya. Lontar itu perlahan terbuka, memperlihatkan serat-seratnya yang kasar dan kecokelatan, seolah membawa jejak usia yang jauh lebih tua dari yang pernah dilihat Solor. Aromanya samar, campuran daun kering dan debu perjalanan panjang, seperti saksi bisu yang menyimpan rahasia dari masa lalu yang nyaris terlupakan.

Memperlihatkan goresan tulisan merah tua yang tampak seperti tinta, meski Solor tahu itu bukan tinta biasa.

"Ngalam Suro telah tiba. Sayembara Tujuh Tahunan akan segera dimulai."

Kalimat itu terasa dingin meski hanya terbaca oleh matanya. Namun, yang membuat napasnya tertahan bukanlah kalimat itu. Di bawahnya, terukir sebuah gambar.

Ia menatapnya lama.

Gambar itu terlalu jelas untuk sebuah kebetulan, permukaan tinta yang mengoles kasar, sesuatu yang pernah dilihatnya dulu, bertahun-tahun lalu, dalam perjalanan yang ia pernah harapkan menemukan. Sebuah benda berukir rumit, bercorak melingkar bagai ular yang melilit dirinya sendiri. Benda itu bukan sekadar benda biasa.

"Tidak mungkin..." bisik Solor.

Ia mengingatnya. Benda terlarang yang seharusnya terkubur dalam ingatan kelam dunia. Namanya hanya bergaung dalam bisikan ketakutan, seakan udara pun enggan membawanya lebih jauh. Ia tahu pasti, hukumannya tak memberi ruang belas kasih, mati seketika bagi siapa pun yang berani menggunakan kekuatannya.

Namun kini, benda yang seharusnya dilenyapkan, yang seharusnya dikubur bersama rahasia kelam para leluhur, justru dijadikan hadiah utama dalam Sayembara Tujuh Tahunan?

Dadanya terasa sesak. Dunia seolah menjadi lebih sunyi dari sebelumnya. Angin rawa yang tadinya hangat kini terasa menggigit kulit. Solor menatap lontar itu lagi, berharap matanya salah melihat. Tapi gambar itu tetap di sana, menatap balik padanya seolah menantang.

Apa yang sebenarnya terjadi? Siapa yang berani menjadikan pusaka terlarang sebagai hadiah? Siapa pengirim surat ini? Dan yang lebih menghantuinya, kenapa sekarang?

Mata Solor beralih ke cakrawala. Senja di atas rawa tampak lebih merah dari biasanya, seolah langit pun menumpahkan pertanda yang tak mampu disembunyikan. Rawa Nawijem yang biasanya terasa sunyi kini seperti menahan napas.… sesuatu yang besar sedang bergerak di luar sana. Sesuatu yang mungkin tak bisa ia abaikan.