Menaklukkan Diri, Melintasi Lataran Wijo

Senja mulai merambat ketika mereka meninggalkan gua kecil itu.

Langit berubah warna perlahan jingga memeluk biru pucat dan desir angin pegunungan mulai menggeser keheningan menjadi kehampaan.

Tak banyak kata terucap. Sejak dari dalam gua, sesuatu berubah di antara mereka. Bukan hanya rasa takut… tapi perasaan yang lebih dalam. Pertanyaan-pertanyaan yang belum sempat dicerna.

Di sebuah lereng landai dengan batu-batu berserakan, mereka berhenti untuk beristirahat. Di sanalah semuanya meletup.

"Aku rasa kita tidak seharusnya tadi masuk ke sana," ucap Handoko tiba-tiba, suaranya dingin tapi tegas.

Joko mendongak dari duduknya. "Kenapa? Karena kita nemuin retakan aneh itu? Atau karena kamu ngerasa takut?"

"Bukan soal takut, Jo. Tapi kamu terlalu gampang anggap semua ini main-main."

Agniran yang duduk di tengah mereka hanya menunduk, meremas-remas rumput kering di genggamannya.

"Kamu sok tahu, Han. Dari awal kamu pikir kamu paling benar?," balas Joko cepat.

"Dan kamu terlalu banyak bicara," tukas Handoko, berdiri.

Udara berubah tegang.

Mereka tak saling serang secara fisik. Tapi kata-kata tajam menyelinap di antara aliran angin gunung. Luka-luka kecil dari hari-hari sebelumnya, perbedaan pendapat, kebiasaan yang saling mengganggu, ketidakcocokan yang selama ini tertahan, tumpah satu demi satu.

Dan di sinilah pertarungan sesungguhnya terjadi: melawan diri mereka sendiri.

Agniran berdiri. Matanya memandangi keduanya, lalu berkata pelan, "Kita semua salah. Kita bawa ego kita masing-masing ke perjalanan ini. Seolah kita tahu arah… padahal bahkan jalan ke depan pun belum jelas."

Senja turun sepenuhnya. Lalu sesuatu terjadi. Kabut tipis muncul, dan angin membawa aroma wangi yang aneh, segar… seperti rumput basah yang baru tersentuh hujan.

Agniran menoleh, lalu menunjuk ke sebuah bukit di seberang lembah.

Dari balik kabut samar, terlihat hamparan hijau yang luas, membentang sejauh mata memandang. 

"Selanjutnya kita kearah sana. Jalur Lataran Wijo." ucap Agniran sedih melihat mereka berdua tampak marahan

Savana terbuka, padang yang seakan tak memiliki ujung. Seperti dunia yang membuka dirinya, tanpa batas terlihat di kejauhan dari balik perbukitan.

Mereka bertiga terdiam.

Langkah mereka menuju Lataran Wijo bukan karena kebutuhan untuk melanjutkan perjalanan, tapi karena keinginan untuk diam sejenak dari pertikaian batin, untuk membiarkan alam membimbing mereka, dan angin padang menjadi cermin bagi hati yang belum selesai belajar saling menerima.